Label:

City Block merupakan mainan kayu berupa balok-balok kayu berbentuk persegi panjang,kotak dan setengah lingkaran. Mungkin sudah banyak orangtua yang menyediakan mainan ini di rumah,ya?

Awalnya anak saya tidak tertarik untuk menggunakannya. sekitar 5 bulan mainan ini tak diberdayakan. Aku, ibunya, hanya bisa menyediakan tapi tak bisa memberi contoh, gak punya ide mau menyusunnya menjadi apa. Jadinya anakku juga tak termotivasi.

Setelah anakku masuk sekolah TK, dia mengenal city block di sekolahnya, di area rancang bangun. Dari tahap mengamati, anakku jadi tertarik juga untuk mencoba menyusun balok-balok tersebut.

Kuamati hasilnya makin memukau, dari mulai rumah sederhana, sampai istana, dari mulai mobil sederhana sampai buldozer. Yang lebih menggembirakan, anakku yang usianya 1,5 th, jadi termotivasi juga untuk ikut menyusun balok-balok tersebut.

Ternyata adanya model memang sangat mendukung perkembangan anak. So, ciptakanlah model sebanyak-banyaknya di sekitar anak kita. Jika kita merasa tidak bisa menjadi model untuk aspek kreatifitas, carilah model yang lain, bisa anak tetangga, teman di sekolah, gurunya, atau siapa saja.

Label:

Dengan adanya pemberitaan dan edukasi mengenai dampak negatif dari televisi, sedikit banyak orangtua yang mungkin mulai menyadari untuk membuat hiburan alternatif untuk anak. Termasuk saya,ibu dari 2 orang balita (1,5 & 4,5th). Selama ini media hiburan alternatif yang saya gunakan adalah buku & VCD edutainment. Cukup efektif untuk meredam keinginan anak mengakses televisi.

Ada satu alternatif yang awalnya saya enggan untuk memulai, karena merasa tidak cukup kreatif menciptakan cerita, yaitu mendongeng. Mendongeng bagi orangtua lain mungkin sederhana, tapi buat saya kok rasanya sulit, lebih mudah membaca buku, gak perlu banyak berpikir:)

Tapi entahlah apa yang ada dalam pikiran saya, walau saya enggan mendongeng, ketika ada yang menawarkan boneka tangan untuk mendongeng, saya tertarik juga. 1 set boneka profesi (polisi,pilot,dkk), dan 1 set boneka mio, sali dan saliha. Akhirnya sih boneka tersebut lebih menjadi pajangan belaka, tak pernah saya gunakan untuk mendongeng. Sampai-sampai suami dan anak saya mempertanyakan untuk apa membeli boneka-boneka itu. Yah, dalam hati, saya bilang "suatu saat akan digunakan untuk mendongeng".

Mendongeng sangat dianjurkan. Mendongeng mengandung banyak dampak positif pada anak. Yap, saya tahu, tapi saya merasa tidak bisa. Saya jadinya merasa mubadzir juga, telah membeli boneka-boneka itu, tapi tidak pernah menggunakannya untuk mendongeng. Akhirnya saya coba untuk mendongeng. Ceritanya sederhana saja, tentang dua anak bersaudara yang berkunjung ke rumah kakek dan neneknya, naik pesawat bersama pilot, pada saat menuju ke rumah kakek dan neneknya, dua anak ini tersesat, ditolong polisi dengan menggunakan mobilnya, mobil polisinya mogok, kemudia tukang bengkel datang membantu, sampai di desa bertemu pak tani yang memberi hadiah jagung manis, jagung manis tersebut kemudian di bakar oleh seorang koki menjadi jagung bakar yang lezat. Akhirnya sampailah dua anak tersebut di rumah kakek dan neneknya.

Setelah uji coba pertama, saya sendiri jadi semakin menikmatinya. Akhirnya mendongeng bisa menggunakan media apa saja, toh dunia fantasi anak sedang memuncak. Saya pikir sih cerita-ceritanya terlalu sederhana, tapi ternyata anak-anak saya seneng banget. Minta diulang-ulang tuh dongengnya:). Sukses juga ternyata. Lumayanlah buat alternatif hiburan mereka.

Label:

Book Review: Mendidik Anak Bersama Nabi

Judul: Mendidik Anak Bersama nabi

Panduan Lengkap Pendidikan Anak Disertai Teladan Kehidupan Para Salaf

Penulis: Muhammad Suwaid

Penerjemah: Salafudin Abu Sayyid

Penerbit: Pustaka Arafah, Solo

Pada saat sebuah generasi tumbuh dengan kondisi yang memprihatinkan, menghabiskan waktu di mall-mall, berpakaian sangat minim , berbahasa seenaknya, bahkan mungkin berinteraksi dengan dugem, minuman dan obat-obatan yang memabukkan, siapa yang pertama kali akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT? Anak atau orangtuanya?

Rasululullah SAW bersabda: "Tiada seorang bayi pun yang lahir melainkan ia dilahirkan di atas fitrah. Lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Majusi, atau Nasrani" (HR Bukhari)

Imam Ghazali mengatakan: Anak merupakan amanah bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan mutiara yang masih polos tanpa ukiran dan gambar. Ia siap diukir dan cenderung pada apa saja yang mempengaruhinya. Jika ia dibiasakan dan diajarkan untuk berbuat kebaikan, ia akan tumbuh menjadi anak yang baik. Dengan begitu,kedua orangtuanya akan berbahagia di dunia dan akhirat. Demikian juga guru dan pendidiknya. Sedangkan apabila ia dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja seperti binatang ternak, maka ia akan sengsara dan binasa. Dosanyapun akan dipikul oleh orang yang bertanggungjawab untuk mengurusnya dan walinya.

Allah SWT telah memerintahkan orangtua untuk mendidik anak-anak mereka, mendorong untuk itu dan memikulkan tanggungjawab kepada mereka. Allah SWT berfirman:

"Hai orang beriman,peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu,s edangkan para penjaganya adalah malaikat yang kasar dan keras,serta tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (At Tahrim:6)

Allah telah meletakkan amanah dan tanggungjawab mendidik anak kepada orangtua. Lantas apa yang perlu dilakukan oleh orangtua agar mampu menjalankan amanah tersebut?

Buku Mendidik Anak Bersama Nabi yang terdiri dari " 600 halaman ini, sangat lengkap menjawab pertanyaan di atas. Langkah-langkah menuju orangtua yang efektif berdasarkan sunnah Nabi dipaparkan dari sejak masa pra nikah (masa persiapan menjadi orangtua), masa konsepsi, anak usia 0-2 th, sampai dengan pendidikan anak pra dewasa. Materi pendidikan yang diuraikan buku ini juga sangat lengkap, dari mulai aturan-aturan fiqh seperti do'a pada saat jima', fiqh nikah, dan aqiqah, hingga penguraian aspek-aspek pembinaan (pembinaan aqidah, ibadah,kemasyarakatan,moral,perasaan,jasmani, intelektual,kesehatan,seksual), sedangkan mengenai bagaimana mengajarkan anak untuk berbakti pada orangtua dipaparkan dalam bab tersendiri secara lengkap dan detil. Metode dan prinsip pendidikan yang dicontohkan Nabi SAW juga dipaparkan secara detil dan jelas.

Membaca dan mengkaji sebuah buku yang sarat dengan nash-nash yang shahih, selalu menciptakan kenyamanan tersendiri pada saat kita membacanya. Rasanya kita sedang mendengarkan dan melihat langsung pesan-pesan dan perilaku yang dicontohkan Rasululullah SAW. Hal inilah yang dapat dirasakan pada saat membaca buku Mendidik Anak Bersama Nabi ini.

Buku ini sangat berharga karena riset (penelusuran hadits) mengenai pendidikan anak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW masih sangat terbatas. Apalagi penelusuran tersebut dilakukan sampai hal yang sifatnya teknis. Misalnya saja dalam bab mengenai pembinaan perasaan. Penulis menguraikan bahwa Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana membina/mengasah perasaan (emosi) anak. Berdasarkan uraian penulis, orangtua dapat mengetahui bahwa untuk membina perasaan anak yang harus dilakukan adalah:

1. Memberi kecupan dan kasih sayang kepada anak
2. Bermain dan bercanda dengan anak
3. Memberi hadiah dan bonus kepada anak
4. Membelai kepala anak
5. Menyambut anak dengan baik
6. Mencari tahu keadaan anak dan menanyakannya
7. Memberi perhatian khusus kepada anak perempuan dan anak yatim
8. Adil dalam mencintai anak, tidak lebih, tidak kurang

Delapan langkah di atas diuraikan satu persatu dan dilengkapi dengan pencantuman dan penjelasan nash yang menjelaskan bagaimana Rasulullah SAW telah mencontohkannya.

Kelebihan buku ini tidak saja pada paparan nash-nash yang shahih tetapi juga pada kemampuan penulis menjelaskan nash tersebut. Pemahaman penulis mengenai psikologi anak juga sangat terasa mewarnai penulisan buku ini.

Demikian lengkapnya isi buku ini sehingga dapat menjadi panduan sehari-hari bagi orangtua dalam mendidik dan mengasuh buah hati tercinta.

Label:

Hari sabtu lalu, saya sebagai orangtua murid sebuah TKIT di depok, mendapat undangan untuk menghadiri pertemuan orangtua yang biasa dikenal sebagai kegiatan POMG. Tidak ada agenda yang terlalu serius memang, hanya pemberitahuan tentang aktivitas-aktivitas anak yang akan diselenggarakan, dan sebuah ceramah parenting mengenai dampak televisi pada perilaku anak.

Awalnya sebagai orangtua malas juga menghadiri acara tersebut. Inginnya sih jalan-jalan saja dengan suami dan anak-anak. Refreshing. Tapi dipikir-pikir, acara ini sebenarnya salah satu bentuk komitmen sekolah untuk menjalin komunikasi dengan orangtua. Sebagai orangtua harusnya menyambut komitmen ini,kan?

Tapi rasa malas itu begitu kuat, saya putuskan jalan-jalan saja dengan anak-anak. Baru saja kami sekeluarga keluar dari kompleks perumahan, tiba-tiba saja perasaan bersalah tidak mengikuti acara tersebut muncul. "hai….hai bukankah dirimu ingin melakukan advokasi kepada orangtua untuk tidak melepas tanggung jawab mendidik ke pihak sekolah, tapi kok...". Euh! Akhirnya memantapkan niat juga untuk memutar arah menjadi menuju ke sekolah.

Sampai di sana, acara sudah dimulai. Sedikit sekali orangtua yang hadir. Ceramah yang bernarasumberkan psikolog itu menjadi berjalan sangat lambat. Walau di coba untuk dibuat interaktif, orangtua tampaknya adem-adem saja.

Setelah acara selesai, saya kok merasa miris ya. Ke mana para orangtua? Dari total +/- 150 murid hanya 15 orang ibu yang datang, dan 1 orang ayah. Berarti 90% berhalangan hadir, Kalau berhalangan hadir misalnya karena sakit, atau harus menghadiri acara walimah, apakah sampai sebanyak itu ya persentasenya. Menandakan apa fenomena ini?

Dengan konsep Full Day School/ Boarding School, telah dibentuk one stop education di sekolah. Semua materi dapat dikatakan lengkap diberikan pada anak. Perkembangannya orangtua merasa cukup dengan memilih sekolah yang berkualitas (yang kadang dipilih hanya berdasarkan mahalnya), setelah itu menyerahkan semua tanggung jawab pendidikan pada pihak sekolah. Bahkan saat ini fenomena menunjukkan bahwa penyerahan tanggung jawab pendidikan tersebut dilakukan sejak dini, yaitu sejak masa emas perkembangan anak (0-5 th).

Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika orangtua menyadari bahwa sesungguhnya tanggungjawab pendidikan ada pada orangtua.

Rasululullah SAW bersabda: "Tiada seorang bayi pun yang lahir melainkan ia dilahirkan di atas fitrah. Lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Majusi, atau Nasrani" (HR Bukhari)

Imam Ghazali mengatakan: Anak merupakan amanah bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan mutiara yang masih polos tanpa ukiran dan gambar. Ia siap diukir dan cenderung pada apa saja yang mempengaruhinya. Jika ia dibiasakan dan diajarkan untuk berbuat kebaikan, ia akan tumbuh menjadi anak yang baik. Dengan begitu,kedua orangtuanya akan berbahagia di dunia dan akhirat. Demikian juga guru dan pendidiknya. Sedangkan apabila ia dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja seperti binatang ternak, maka ia akan sengsara dan binasa. Dosanyapun akan dipikul oleh orang yang bertanggungjawab untuk mengurusnya dan walinya.

Allah SWT telah memerintahkan orangtua untuk mendidik anak-anak mereka, mendorong untuk itu dan memikulkan tanggungjawab kepada mereka. Allah SWT berfirman:

"Hai orang beriman,peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu,s edangkan para penjaganya adalah malaikat yang kasar dan keras,serta tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (At Tahrim:6)

Oleh karenanya, orangtua lah yang seharusnya merencanakan dan menerapkan konsep pendidikan anaknya dari sejak dalam kandungan. Sekolah sebenarnya hanya berada dalam posisi sebagai mitra orangtua dalam mendidik anak. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka orangtua hanya akan memilih sekolah yang benar-benar sesuai dengan konsep pendidikan yang mereka rencanakan. Orangtua juga tidak akan berhenti berpikir dan berperan sebagai pendidik setelah anaknya masuk sekolah. Mereka akan terus memantau apakah pendidikan di sekolah sejalan dengan pendidikan di rumah, sehingga komunikasi intensif antara orangtua dan pihak sekolah akan terus dilakukan.

Pemahaman orangtua sebagai mitra saat ini semakin tergeser menjadi sekolah lah yang memiliki tanggung jawab penuh akan pendidikan anak Pemahaman orangtua sebagai penanggungjawab pendidikan anak telah semakin bergeser pada tanggung jawab mencari nafkah untuk biaya pendidikan. Konsentrasi orangtua sekarang lebih tersedot pada biaya pendidikan dari pada masalah perannya sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Pergi dini hari, pulang larut malam. Tak sempat berinteraksi dengan anak, apalagi menstimulasi/ mendidik anak. Banyak orangtua yang sudah tidak punya cukup energi dan kemampuan lagi untuk berpikir dan berperan langsung dalam proses pendidikan anak. Gayung bersambut, ketika semakin banyak orang yang memberikan penawaran one stop education dalam konsep full day school dan boarding school.

Keberhasilan sekolah-sekolah dalam mendidik anak ternyata juga memiliki dampak pada kepercayaan diri orangtua dalam mendidik anak. Sedikit saja ada masalah perkembangan anak, orangtua akan segera mencari pihak di luar dirinya untuk mendidik anak. Les-les dan kursus-kursus sangat menjamur saat ini, bahkan anak usia 2 th sudah masuk les membaca. Hal yang sangat tidak diperlukan oleh anak tersebut.

Lantas apa yang salah dengan fenomena tersebut? Bukankah hal yang sinergis jika orangtua yang mencari biaya pendidikan, sekolah yang mendidik anak? Jika relasi orangtua dan sekolah adalah demikian, maka akan ada yang hal yang hilang dalam proses pendidikan dan pengasuhan anak. Hal yang sangat penting dan akan sangat berguna bagi anak kelak, yaitu kualitas interaksi orangtua dan anak. Sangat mungkin antara anak dan orangtua tidak terbentuk relasi yang positif, tidak terbentuk ikatan batin dan kasih sayang antara orangtua dan anak. Anak akan menjadi kering emosinya, ia menjadi asing dengan yang namanya mengekspresikan cinta dan kasih sayang. Apakah hal ini tidak akan ia dapat di sekolah? Sangat sulit, atau katakanlah tidak ideal, karena pendekatan di sekolah adalah pendekatan klasikal. Adakah guru yang sempat mencium dan membelai anak satu persatu. Sebagian besar guru saat ini lebih berkonsentrasi pada masalah akademik dan pendekatan intelektual daripada pendekatan emosional. Bukan berarti guru tidak peduli, tapi memang sangat terbatas waktunya jika guru harus mendekati secara personal anak, satu persatu.

Hausnya anak terhadap kasih sayang orangtua, menyebabkan anak mencari-cari kasih sayang tersebut di lingkungan luar rumah. Jika saja lingkungan luar rumah tersebut steril dari hal-hal yang merusak anak, mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Tetapi saat ini bukankah kita para orangtua sangat tahu bagaimana kondisi lingkungan luar rumah saat ini. Banyak anak pecandu narkoba atau pelaku seks bebas yang diawali dari kehausan mereka akan kasih sayang. Terpenuhinya kebutuhan kasih sayang dari relasi dengan teman sebayanya menggiring mereka pada narkoba dan seks bebas tersebut.

So, marilah kita sebagai orangtua kembali memposisikan diri menjadi pendidik yang utama dan pertama bagi anak. Tidak perlu risau karena keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan masalah akademik misalnya, karena banyak "materi" pendidikan lain yang hanya orangtuanyalah yang dapat mengajarkannya, yang tidak kalah pentingnya dengan materi akademik. Satu lagi yang terpenting janganlah berhenti belajar menjadi orangtua! Karena kitalah guru yang utama bagi anak-anak kita. Tetap Semangat! :)

Label:



Kini Anakku Akmal berusia 4 tahun 9 bulan 13 hari, bagaimana ia kini? Hmmh berbeda dengan pada saat ia berusia 2-3 tahun, 80% perilakunya tidak manis lagi. Kalo boleh kubilang, ia adalah remaja kecilku.

Kenapa ia kusebut remaja kecil? Coba deh kalo kita amati bersama, dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali ada saja letupan-letupan emosi yang terjadi. Ada saja masalah yang dimunculkan. Hari ini saja ia marah atau bersikap bermusuhan pada semua orang yang ia temui, mulai dari adiknya, teteh (pengasuh), aku_ibunya, sepupunya, ayahnya…….he3 borong nih mas.

Kadang aku sebagai ibunya tersenyum geli melihat polah tingkahnya, tapi yang lebih sering terjadi sih aku terpancing emosiJ. Jurus jitu memeluk dan menciumnya masih menjadi andalan.

Luluhlah hatinya kalau sudah kucium dan kupeluk. Tapi ketika perilaku bermasalahnya itu terjadi secara intensif, berulang dan berulang lagi dalam satu hari, wah lelah juga ya….membujuknya…kadang merasa bosan!

Ah, remaja kecilku, aku tahu, perilakumu itu hanya perilaku sementara, kalau aku terus secara konsisten menerapkan jurus-jurus jitu untuk menanganinya. Biar aku nggak bosan…..nggak lupa….dan ecara konsisten menerapkan jurus jitu, kutulis saja jurus jitunya ya….

1. Perhatikan apakah ia merasa lapar, atau terlalu lelah. Bangun tidur, segera siapkan susu dan makanan pembuka di pagi hari….maklum dia selalu bangun subuh, perutnya pasti lapar. Kalao tidak segera di tangani, bakal rame deh rumah dengan rengekan dia, dan kalau ada stimulannya bisa temper juga.

2. Berbicaralah dengan lemah lembut, dan hindari kata bernada perintah. Olah kalimat sehingga terdengar enak olehnya. Maklumlah dia lagi puncak egosentris. Semua yang ada di dunia harus tunduk padanya….he3 ….raja kecil….raja kecil.

3. Kalau terlanjur mengamuk, peluk dan ciumlah. Tapi jika ngambek atau mengamuk terjadi berulang-ulang dalam satu hari, terkadang aku diamkan dulu sesaat, tidak langsung kurespon, siapa tahu dia cuman caper (cari perhatian), kalo bentuk respon ku selalu sama, mencium dan memeluknya, nanti ngambek dan ngamuknya itu bisa jadi senjata untuk mencari perhatian.

4. Sering-seringlah membelainya, memeluknya, menciumnya, berbicara dari hati ke hati. Intinya sih berinteraksilah secara intensif dengannya plus sertai dengan hati yang bersih dan ikhlas. Nah itu tuh yang suka terlupa…..keikhlasan

Label:

Hari ini, apa saja yang kulakukan bersama permata hatiku?

Pagi-pagi ku stel VCD Lagu-lagu taman kanak-kanak……..supaya setelah bangun tidur, anak-anak segera ceria. Setelah mereka bosan, sambil mempersiapkan aktivitas menjelang Akmal sekolah. Ku stel VCD pendidikan sesuai pilihan mereka, kali ini yang dipilih adalah VCD Rahasia Seputar Sholat.

Pulang sekolah setelah, makan siang, kuajak Akmal dan Hanif membaca buku. Kali ini buku yang dibaca adalah buku Ensiklopedi Bocah Muslim yang berjudul mamalia. Seru juga karena hanif sudah bisa menunjuk dan meminta bagian mana yang ingin dibaca, jadi rebutan deh sama kakaknya.

Bangun tidur siang, karena mereka tidur hanya sebentar masih sempat beraktivitas sebelum mandi. Kali ini mereka menggambar dan mewarnai.

Setelah mandi seperti biasa mereka bermain bebas. Seperti biasa, ujung-ujung bermain bebas ada latihan untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak…bertengkar dengan sepupu dan diakhiri dengan saling mema’afkan.

Kali ini tidak ada membaca sebelum tidur malam, karena mereka kelelahan, jadi langsung tertidur.

Pffh. Nikmatnya jadi ibu………Alhamdulillah

Label:

Alhamdulillah, buku saya yang pertama akhirnya terbit juga. Bagus loh, boleh kan berpromosi.

Berikut reviewnya:

Dear Parents,

Sebuah pertanyaan kerap kali muncul dalam hati kita, sudah optimalkah tumbuh kembang buah hati kita?
"Anak saya, umur sekian, harusnya sudah bisa apa ya?"
" Anak saya, umur sekian, belum bisa A, B,C, wajar nggak sih?
" Anak saya tumbuh kembangnya optimal nggak ya?
Pertanyaan ini sebenarnya cukup terjawab jika kita mencermati keterampilan-keterampilan baru yang dikuasai buah hati kita. Sesuai atau tidakkah keterampilan-keterampilan baru tersebut dengan perkembangan usianya

Adalah suatu kebahagian tersendiri melihat bagaimana buah hati kita menguasai keterampilan-keterampilan barunya.
Celoteh pertamanya........
Senyum pertamanya.......
Tengkurap.......
Berguling.......
Duduk.......
Merangkak........
Berdiri.......
Berjalan.......
Kata pertamanya........
dan masih banyak lagi keterampilan pertamanya yang lain

Kabar gembira buat ayah bunda semua, penerbit Read! parents' Guide (Mizan Group), telah menerbitkan buku:

Judul :Diary Tumbuh Kembang Anak Usia 0-6 tahun
Penulis : Lita Edia, Fitri Ariyanti, Khamsha Noory

Buku ini terbagi menjadi dua bagian
Bagian pertama: beberapa prinsip utama mengenai smart parenting
Anakku Harapanku
Mendidik anak adalah seni
Memahami Kebutuhan Anak
Mungkinkah memenuhi semua kebutuhan Anak
Memahami Anak sebagai Individu yang Berbeda
Komunikasi jembatan Orangtua dan Anak
Hukuman: Perlukah?
Kunci Penegak Kedisiplinan

Bagian kedua: Diary Tumbuh Kembang Anak Usia 0-6 th
Aspek Perkembangan Anak, menjelaskan aspek perkembangan apa saja yang perlu dicermati oleh orangtua serta pengertian-pengertian setiap aspek tersebut.
Prinsip perkembangan Anak, menjelaskan enam prinsip perkembangan yang perlu diketahui oleh orangtua.

Menu Utama yaitu Diary Tumbuh Kembang Anak, terbagi menjadi 6 bagian yaitu:
usia 0 -1 th
usia 1 - 2 th
usia 2 - 3 th
usia 3 - 4 th
usia 4 - 5 th
usia 5 - 6 th
di setiap usianya dijelaskan karakteristik umum yang biasa dialami anak usia tersebut, lalu perkembangan setiap aspek secara umum, kemudian terdapat daftar keterampilan-keterampilan setiap aspek yang perlu dikuasai pada usia tersebut, disertai kolom pencatatan tanggal pencapaiannya,serta cara menstimulasi agar tumbuh kembang optimal.

Buku ini dapat diperoleh di toko buku terdekat sepeti Gramedia, Gunung Agung, dsb
Keterangan lebih lanjut bisa menghubungi saya pribadi sebagai salah satu penulis, atau:

Mizan Media Utama (MMU)
Jl Cinambo (cisaranten wetan) No 146
Ujung Berung, Bandung 40294
TLp (022) 7815500
e-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
Perwakilan Jakarta: (021) 7661724
Surabaya: (031) 69950079,8286195
Makasar: (0411) 440706




Label:

Dari sebuah milis yang saya ikuti,sering muncul pertanyaan:
"kapan sih anak mulai sekolah?"
"anak saya 7 bulan, mau sekolah,di mana ya yang bagus?"

Bayi bersekolah, sekarang menjadi tren, sekolahnya di Txxxxx Txx, dan Gyxxxxx. Sekolah franchise, dengan pengantar bahasa asing. Wow.

Usia sekolah menurut para ahli psikologi dan pendidikan adalah usia anak sekolah dasar. Usia sebelumnya dikategorikan pada usia pra sekolah. Usia pra sekolah sebenarnya merupakan masa persiapan untuk masuk sekolah.

Kesadaran orangtua dan pendidik akan pentingnya masa persiapan untuk masuk sekolah, menciptakan sekolah bagi anak usia dini yaitu taman kanak-kanak. Di taman kanak-kanak, anak dipersiapkan kematangan motorik halusnya agar nanti siap belajar menulis, dipersiapkan kematangan kognisinya agar nanti siap membaca dan menghitung, anak dipersiapkan daya konsentrasinya agar mampu menyimak pelajaran di sekolah, dan lain sebagainya, anak juga belajar secara bertahap untuk menjalankan rutinitas pergi sekolah dan berpisah dari orangtuanya pada saat ia sekolah, anak juga belajar bersosialisasi dengan lingkungan selain lingkungan keluarganya.

Setelah menyadari pentingnya masa persiapan sebelum masuk sekolah dasar. Kini para orangtua juga meyakini pendapat ahli yang menyatakan bahwa masa perkembangan anak usia dini merupakan masa emas (golden age). Orangtua menjadi tidak mau kehilangan kesempatan untuk mendidik anak sejak dini. Akhirnya berkembanglah kelompok bermain, sekolah bagi anak usia 2-3 tahun. Bahkan berkembang pula sekolah bagi bayi (6 bulan-2 tahun).


Perkembangan terakhir inilah yang menimbulkan kebingungan di antara para orangtua. Apakah anaknya perlu mengikuti kelompok bermain. Apakah anaknya perlu mengikuti sekolah untuk para bayi?

Pada dasarnya sekolah pada anak usia dini adalah upaya untuk menstimulasi anak sejak dini. Namun sebenarnya stimulasi ini sangat bisa dilakukan oleh para orangtua di rumah. Menstimulasi anak bukanlah hal rumit yang sulit, jika orangtua memiliki target yang wajar bagi tumbuh kembang si Kecil, Namun menjadi rumit dan sulit, jika orangtua memiliki target di atas wajar. Misalnya saja menguasai bahasa asing sejak dini. Menurut mereka inilah masa emas, semakin dini diajarkan semakin optimallah masa emas si kecil. Maka karena orangtua merasa kurang menguasai bahasa asing, dipilihlah sekolah bayi dan kelompok bermain dengan pengantar bahasa asing.


Pengejaran target di atas rata-rata,.menyebabkan orangtua tidak percaya diri untuk mendidik anak di rumah. Orangtua merasa tidak mampu mengajarkan anak agar bisa membaca di usia 3 tahun.

Orangtua merasa tidak mampu mengajarkan bahasa asing pada anak agar di usia 4 tahun bisa cas cis cus seperti orang asing. Apalagi ditambah istilah –istilah yang asing di telinga orangtua, namun dipahami sebagai hal yang penting untuk masa depan mereka, seperti EQ, SQ, Multiple Intellegence, dan lain sebagainya. Bagaimana mengajarkan hal itu semua pada anak? Akhirnya orangtua mencari pihak lain yang kabarnya mampu, yaitu sekolah.


Jika target orangtua adalah wajar, yaitu tumbuh kembang optimal,maka rumahlah tempat idealnya untuk belajar. Bayi adalah masa dimana ia memerlukan lingkungan yang aman, dalam arti memenuhi kebutuhannya secara cepat. Rumahlah adalah lingkungan paling aman baginya. Orangtuanyalah yang sangat memahami siapa anaknya, apa kebutuhannya saat ini. Bayi belum memerlukan stimulasi sosialisasi yang rumit. Ia hanya perlu belajar bertemu dengan orang asing dan kemudian menyapanya. Hal yang lebih baik dilakukan dengan lingkungan terdekat seperti tetangga. Anak belajar berinteraksi dengan lingkungan terdekatnya. Kalau semua anak belajar dari sejak dini bergaul dengan lingkungan terjauh darinya, tak heran individualisme di masyarakat semakin meningkat.


Demikian pula untuk anak usia 2-3 tahun,yang mulai banyak mengikuti kelompok bermain. Rumah masih menjadi tempat ideal mereka untuk belajar. Karena perbandingan anak dan guru untuk belajar di usia ini adalah 1:1. Adakah kelompok belajar yang perbandingan gurunya 1:1? Daya konsentrasi anak usia ini menyebabkan anak masih memerlukan pendekatan individual. Sosialisasi bisa dilakukan dengan para tetangga. Ajaklah anak tetangga bermain di rumah, atau bermain di rumah tetangga atau lingkungan sekitar rumah. Anak hanya perlu belajar berbagi dan bermain bersama. Namun jika memang tidak punya tetangga, masuk kelompok bermain bisa menjadi alternatif pengasahan sosialisasi anak. Tapi jangan lantas menyerahkan pendidikan anak ke kelompok bermain, anak akan lebih pesat perkembangannya dengan stimulasi di rumah (karena perbandingan 1:1 nya tea)

Mengapa rumah tetap menjadi ideal bagi anak usia dini, karena masa inilah saat kita membangun ikatan anak dan orangtua (attachment & bonding). Hal yang tidak bisa dibangun di masa selanjutnya. Hal yang tidak bisa tergantikan oleh pihak lain. Kita gagal membangunnya di masa ini, gagallah selamanya. Menstimulasi anak sambil bermain adalah sarana orangtua untuk membangun kehangatan,kebersamaan, sehingga menciptakan ikatan tersebut.

Label:

Hari ini Akmal mulai sekolah. Hari ini juga saya liat dia begitu riang.

"Bu, hari ini Akmal sekolah?"
"Ya, nanti Akmal mandi lebih pagi ya"
"Iya, aku mau mandi shubuh"
"Iya, Akmal mandi jam 6" (kalimat untuk menghindari perdebatan, karena dia pasti ngotot shubuh)
"Memangnya jam 6 shubuh"

He3, memang sulit ya menghindari perdebatan, anak-anak sekarang lebih kritis
Alhamdulillah, dia langsung mau masuk kelas, dan mau saya tinggalkan.
Walau penasaran dia belajar apa hari ini,dan apakah dia bisa beradaptasi dengan baik, saya memutuskan untuk pulang. Soalnya biasanya anak dan ibu kan ada kontak batin, saya pulang supaya tenang, saya tenang anak insyaa Allah tenang.

Sementara itu banyak juga anak lain yang menangis. Beberapa guru sibuk menenangkan. Sedikit terdengar bujukan kepala sekolah "Sudah ya jangan menangis. Anak laki-laki tidak boleh menangis. Hmh, tidak begitu tepat bujukannya. Anak laki-laki dan perempuan bukan tidak bleh menangis, tapi perlu belajar mengolah emosinya, supaya menangisnya tidak terlalu berlarut-larut. Yah kepala sekolah juga manusia. Mungkin sudah lelah jadi agak kesulitan mengolah kata.

Lalu saya menjemputnya. Saya khawatir juga pas mengintip kelas, ternyata cuman gurunya aja yang rame, anak-anak hanya terdiam. Mereka tidak nyaman, pikir saya. Apa yang dipikirkan Akmal, ya. Jangan-jangan dia kapok sekolah.

"Gimana Akmal, cape gak?"
"Gak!" (padahal keringetan, kepanasan.
"Senang sekolah?"
"Senang, kapan sekolah lagi bu"
"Besok."
"Besok bu? Asyik"

Pfuuh, lega....sampe siang ia tak hentinya dia cerita tentang sekolah, tentang lagu, tentang teman,sampe mimpi sekolah (ngalindur).

Apa yang saya alami, mengingatkan pada konsep homeshooling. Ada satu komunitas yang dengan berbagai faktor menyebabkan lebih memilih homeschooling pada anaknya. Ada alasan yang saya tidak begitu sepakat, yaitu karena tak ada sekolah yang benar-benar bagus.

Saya pikir kita ubek-ubek seluruh dunia, tidak akan ada sekolah yang benar-benar sempurna. Kenapa? Karena sekolah bukanlah orangtua mereka. Memang hanya orangtua yang sebenarnya benar-benar memahami siapa anaknya, apa gaya belajarnya, apa minatnya, apa perasaannya saat ini. Biaya operasional juga menghambat perbandingan guru dan murid. Dan berbagai faktor penyebab lain.

Menurut saya tidak ada sekolah yang benar-benar bagus adalah fakta yang tidak bisa dijadikan alasan menghomeshoolingkan anak. Tidak masalah sekolah tidak sempurna. Karena memang pendidikan bukan 100% menjadi tanggungjawab sekolah.

Jika tidak ada alasan lain, homeschooling bukan pilihan, anak mendapat banyak manfaat dengan sekolah, terutama sosialisasi dan adaptasi dengan lingkungan lain selain rumah. Betapapun begitu banyak penjelasan tentang sosialisasi anak homeschooling, tetap lebih baik menguji sosialisasi anak di sekolah. Karena di sekolah ada waktu yang panjang untuk bersosialisasi, berbeda dengan klub anak, kursus, dan lain sebagainya. Proses-proses di sekolah seperti kegiatan belajar mengajar, evaluasi yang diberikan orang lain, juga menguji daya adaptasi dan daya lentur anak menghadapi berbagai masalah dengan orang lain.

Sosialisasi tidak sama dengan hanya bergaul. Kalau bergaul bisa dilakukan di mana saja. Sosialisasi termasuk juga bagaimana ia menghadapi masalah-masalah yang terjadi pada saat ia bergaul. Dunia banyak masalah,anak harus terbiasa menghadapi masalah, bukan meninggalkan masalah.

Di bawah ini salah satu alasan-alasan yang tidak saya setujui, menurut saya dengan adanya masalah di sekolah justru menjadi tugas kita untuk membimbing agar anak memiliki problem solving yang bagus, memliki daya adaptasi dan daya lentur terhadap masalah. Menghadapi masalah, bukan meninggalkan masalah.

MENDAPATKAN pendidikan yang baik untuk anak adalah keinginan setiap orangtua. Bermacam-macam jenis sekolah tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Semua mengiklankan diri sebagai sekolah dengan beragam nilai plus agar dipilih orangtua bagi anaknya. Ada yang memakai bahasa asing, menyediakan beragam aktivitas di luar kelas, menggunakan gedung bertingkat dengan ruangan ber-AC, hingga sekolah yang mengklaim diri menggabungkan kurikulum luar negeri dan kurikulum berbasis kompetensi dari Departemen Pendidikan Nasional.

Apa pun yang ditawarkan sekolah-sekolah itu, ternyata tidak bisa memenuhi keinginan semua orangtua. Sampai saat ini masih banyak kritik yang terlontar tidak saja dari orangtua, tetapi juga masyarakat, pemerhati pendidikan, hingga pemilik lapangan pekerjaan. Namun, semua kritik itu seperti angin, berlalu begitu saja. Tidak ada perubahan berarti. Sebagian orangtua lalu mencari alternatif pendidikan. Salah satunya dengan bersekolah di rumah (homeschooling).

"Saya termasuk orangtua yang tidak puas dengan sistem pendidikan kita. Sudah berapa banyak sekolah yang saya datangi, hingga yang internasional, ternyata tidak memuaskan juga. Akhirnya saya putuskan untuk mengajar sendiri anak-anak saya," kata Wanti Wowor (39), ibu empat anak.

Wanti memiliki banyak alasan memutuskan mengeluarkan anak-anak dari sekolah umum.

Pertama, dia merasa sistem pendidikan di sekolah hanya mengejar nilai rapor. Sedangkan keterampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan
yang didapat, bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak (atau orangtua) mencontek dan membeli ijazah palsu. Kondisi ini yang justru menjadi tantangan anak dan orangtua untuk tidak terbawa arus mengikuti tren hanya mengejar nilai raport kemudian mencontek apalagi membeli ijazah palsu. Saya sedang mengingat-ingat pesan orangtua yang membuat saya tidak mencontek selama sekolah sampe kuliah. Untuk disampaikan lagi pada anak-anak saya kelak.

Kedua, dalam hal pergaulan banyak murid yang mencari identitas dari teman, bukan pada diri sendiri. "Banyak murid yang terjebak, dia harus mempunyai barang yang sama dengan temannya agar diterima pergaulan, atau biar dibilang keren oleh teman. Ini kan tidak benar. Identitas
kok ditentukan teman, bukan diri sendiri. Ini baru barang, bagaimana dengan narkoba," ujar Wanti. Kondisi sebenarnya adalah dampak perkembangan psikologis. Mau sekolah di manapun, hal ini merupakan keniscayaan, anak SD memang akan mengidentikkan dirinya pada teman. Makanya kalau musim PS, niscaya akan minta PS. Sekali lagi ini tantangan anak dan orangtua untuk berlatih tidak mengikuti tren, supaya nanti ia pun berani berkata Tidak pada Narkoba. Hal ini menjadi moment untuk orangtua mengajarkanbagaimana memilih lingkungan dan teman.

Dia juga melihat orang belajar karena kebiasaan masyarakat, bukan keinginan atau kesadaran dari diri. Misalnya, sehabis SD harus dilanjutkan SMP, lalu SMA, terus kuliah. Banyak orangtua yang sudah menyadari kelebihan anaknya, namun anak tetap harus menempuh semua jenjang pendidikan formal. Sedangkan eksplorasi pada kelebihan anak agak diabaikan karena memandang pendidikan formal lebih penting. Akibatnya, anak tidak merasa senang bersekolah karena dia tidak tahu tujuan belajar di sekolah.

Memupuk anak untuk memiliki minat belajar adalah orangtua, selanjutnya kita dapat memilih sekolah yang cukup kondusif untuk minat belajar anak. Saya kira sekolah seperti ini masih ada dan banyak. Untuk akademik, bisa jadi anak homeschooler lebih baik, karena dia bisa menyusun kurikulum sendiri, sehingga lebih cepat. Namun anak juga perlu belajar mengikuti rule di dalam masyarakat. Eksplorasi anak bisa dipenuhi di rumah setelah ia sekolah. Karena itu kalo saya pribadi, karena menyadari sekolah masih jauh dari sempurna, masih mencari sekolah yang tidak fullday, terutama untuk sekolah dasar. Karena usia sekolah dasar masih merupakan termasuk usia dasar untuk menamkan banyak hal pada anak. Usia sekolah dasar juga merupakan usia persiapan masa remaja, anak perlu ditanamkan keterikatannya kepada rumah. Supaya kelak kalu ia menghadapi masalah di masa remaja,ia akan kembali ke rumah, bukan ke lingkungan lainnya. Saya cukup prihatin sekarang anak sekolah dasar, waktunya lebih banyak untuk belajar di sekolah daripada di rumah.

Namun saya juga memahami alasan-alasan lain untuk homseschooling, seperti kebutuhan yang mendesak untuk pendekatan individual (anak berkebutuhan khusus). Lingkungan sekolah yang sangat tidak kondusif bagi pembentukan akidah anak (bagi yang tinggal di LN atau daerah lain yang minoritas muslim). Anak berbakat (misal berbakat di bidang olahraga, sering mengikuti event, sehingga sulit mengikuti sekolah formal).

Wallahu'alam