Label:

Mba Dea sudah beranjak menuju usia 35th, berbagai proses ta'aruf sudah ia tempuh. Namun jodoh tak kunjung datang. Padahal ia sudah banyak 'mengalah'. Maksudnya ketika calon jodoh itu adalah tingkat pendidikannya di bawah dirinya, ketika usianya lebih muda darinya, atau ketika secara fisik kurang menarik dari dirinya. Ia bersedia berta'aruf. Tapi apa mau di kata jodoh itu tak kunjung datang, dengan dibumbui alasan-alasan yang sering menyesakkan hatinya, apakah itu permintaan kesediaan poligami yang ditolak mba Dea (ampun deh menikah aja belum dah ditanya kesediaan poligami), apakah fisiknya yang katanya kurang menarik, pendidikan dan karirnya yang terlalu bagus, dan ada juga yang mengkhawatirkan usia mba Dea yang sepertinya tak bisa memberikan keturunan dalam jumlah besar. Apapun kondisi dirinya seperti salah saja, kurang saja di mata sang ikhwan.

Mba Dea bersabar, dengan penantian yang panjang, ia sering menarik nafas panjang, kadang sesak, kadang getir, kadang...ah bercampur aduk perasaanya setiap proses ta'aruf itu berakhir begitu saja. Dalam sujud ia sering menangis, berdialog dengan Nya, bertanya pada Nya, tentang skenario hidup apa sesungguhnya yang digariskan Nya. Ketika Iman melemah, kadang ia pun menggugat Nya. Sampai hidayah itu datang, kala Ramadhan, dimana Iman kembali meningkat, ia menyerahkan semuanya .... semuanya....harapannya...keinginannya...pada yang Maha Mengatur. Plong sekali rasanya. Tenang sekali.

Tak lama setelah penyerahan diri itu, ia kembali tertegun, menatap biodata seorang ikhwan. Berat rasanya untuk memulai. Kekhawatiran ini menyelusup ke dalam hatinya. Hmmh, akankah ia mampu menjalani lagi proses untuk kesekian kalinya.

Pelan-pelan ia baca biodata itu, tak ada yang mengganjal, semua biodata ikhwan tersebut kali ini sesuai dengan kondisi dirinya. Namun kali ini ia sudah merasa tenang sekali. Ia sudah menyerahkan semuanya pada yang Maha Pengatur.

"Sah....sah....sah" suara itu menggema di masjid dekat rumah mba Dea. Suara itupun menggema di hati mba Dea. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar. Penantian panjang itu berakhir, kini ia sah menjadi istri. Kado terindah yang ia nantikan selama bertahun-tahun. Buah kesabarannya ia memperoleh suami yang sekufu dengannya, dan ternyata kadonya tidak hanya itu. Setahun kemudian Allah SWT memberinya kado dua putra putri kembar buah cintanya. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Label:

Setiap pagi, rumahnya Husna terlihat sibuk. Husna dan kakaknya_Ali tampak asyik bermain bersama teman-temannya Mereka bermain sambil disuapi makan oleh Bundanya. Sang bunda menyuapi dengan tergesa-gesa, maklum waktunya pergi ke kantor hampir tiba. Namun Sang Bunda ingin sebelum pergi ia telah menunaikan tugasnya sebagai ibu, menyuapi anaknya yang termasuk sulit makan.

Tak lama kemudian Ayah Bunda mereka tampak mempersiapkan diri pergi ke kantor. Ada ketergesaan yang berusaha mereka kendalikan. Ada hal yang rutin terjadi, dan perlu diantisipasi. Ya, setiap melihat Ayah Bundanya pergi, Husna selalu menangis.

Untuk mencegah hal tersebut, Bunda meminta Husna dan Ali bermain di rumah Bunda Hamzah. Ok! Berangkat....

Tak ada tangisan meraung-raung melihat sang bunda pergi karena Husna tak melihat Bundanya pergi. Strategi yang bagus. Tapi sampai kapan ya strategi ini dijalankan?

Bukankah seorang anak menangis ketika bundanya pergi hanya karena cemas kalau-kalau sang bunda tak kembali. Jika setiap pagi anak melihat Bunda pergi, dan setiap sore anak melihat Bunda pulang, lama-lama (perlu waktu memang) sang anak akan yakin jika Bunda pergi di pagi hari, nanti sore Bunda akan pulang. Ketika kepercayaan itu muncul, kecemasan berkurang, maka tangisan rutin di pagi hari sepertinya juga akan menghilang.

Ayah Bunda Husna telah pergi bekerja. Lalu bagaimana aktvitas mereka di rumah? Husna sering menangis. Menangis dengan keras, sekeras-kerasnya. Bu De (sebutan untuk pengasuh mereka) menggendong Husna dengan raut wajah yang tak ramah (mungkin cape). Ketika kakaknya_Ali berulah, Bu De langsung berteriak "Ali, ayo jangan nakal! Ali!

Bu De tampak repot mengurus Husna dan Ali (Hmmh seperti repotnya saya mengasuh anak-anak) Bahkan Bu De lebih repot lagi karena urusan rumah tangga ia pegang (kalau saya kan urusan rumah tangga di pegang asisten).

Terkadang karena keterbatasan, anak-anak ditinggal dengan pengasuh yang memiliki multi tugas. Selain mengasuh, menyuapi, menidurkan, memandikan, menengahi mereka kala bertengkar, pengasuh juga punya tugas membereskan rumah, mencuci, menyetrika. Wow...banyak sekali. Padahal seorang ibu FTM saja yang memang sejatinya punya tugas sebanyak itu, banyak yang tidak sanggup atau merasa perlu mendelegasikan tugas-tugas tersebut.

Kala Bunda bekerja, sepertinya akan lebih baik jika system supportnya dipersiapkan dengan benar. Di estimasi dengan tepat kekuatan asisten yang kita rekrut. Bisa juga dengan menganalogikannya pada diri kita. Jika kita saja terkadang terpancing sisi emosionalnya ketika anak-anak sedang berprilaku sulit, bagaimana dengan asisten kita. Jika kita saja merasa perlu untuk mendelegasikan sebagian tugas rumah tangga pada asisten, bagaimana dengan asisten kita, sanggupkah mereka mengurus segalanya.

Label:

"Jangan nakal mainnya ya!" pesan sang pengasuh pada anak tetanggaku
"Kalau mau banyak teman kamu jangan nakal ya" nasihat seorang ibu pada anak tetangganya
"Iih kamu nakal, sana aku nggak mau teman sama kamu" kata seorang anak pada temannya
"Buuu! Kaka nakal, hanif nggak mau teman kaka" kata anakku.

Nakal...nakal...nakal
Kata ini jadi sering kudengar akhir-akhir ini
Kata yang sudah biasa kita dengar.
Tapi kenapa ya, kalau aku sendiri merasa tak enak waktu mendengarnya.
Sepanjang waktu aku mengasuh anak-anak, aku tidak pernah mengucapkan kata "nakal" sekali pun pada anak-anakku.
Aku pun tak pernah mengucapkannya pada keponakanku, pada anak tetanggaku, pada semua anak yang ku kenal, walau sebenarnya sering ada perilaku yang bikin aku hampir mengucapkannya.

uups...selalu kutahan mulutku, kukunci rapat mulutku, kalau aku sudah hampir mau mengucapkannya.
Entahlah kenapa bagiku rasanya hal ini menjadi prinsip. Tidak memberi label negatif pada anak, apapun bentuknya, apakah itu melalui ucapan atau kata-kata buruk ataupun melalui bahasa tubuh kita (dan yang terakhir ini cukup sulit bagiku)

Layakkah seorang anak yang berperilaku salah mendapat label negatif, bukankah akibatnya akan buruk pada konsep diri mereka. Bisakah kita bayangkan atau kita mencoba merasakan perasaan anak jika dikatakan "nakal" apalagi kalau sering (sedikit-sedikit dibilang nakal!)

Bukankah hal ini akan membuat anak berpikir "aku adalah anak nakal"
Apa yang akan dilakukan oleh anak yang memiliki konsep diri "aku adalah anak nakal?"

Temukan jawabannya di hati kita para orangtua....tuliskan jawabannya dalam diary kita semua...tetapkan apa yang akan kita katakan, sikap yang akan kita ekspresikan di kemudian hari jika anak melakukan hal yang menurut kita salah.

Saya sudah menemukan jawabannya, bagaimana dengan Anda? Jika belum, silakan temukan jawabannya dalam tulisan-tulisan saya berikutnya:)

Label: ,

Sudah dua kali di kompleks rumahku ada kejadian anak hilang. Yang pertama terjadi beberapa bulan lalu. Sang ibu, para tetangga, para satpam di kompleks ini menjadi panik, mencari ke berbagai rumah, ke luar kompleks, terus berputas-putar dan akhirnya sampai.... Alhamdulillah anak tersebut ditemukan dengan selamat.

Di mana coba ditemukannya?????

Di kolong kasur rumahnya sendiri!!!

Pfuhh semuanya_sang ibu, para tetangga dan pak satpam menarik nafas lega,bersyukur,campur kesal dan sedikit geli...

Namun tak terhindarkan lagi sang Ibu karena malu dan kesal segera memarahi anak sampai menangis, entah bagaimana ekspresi marahnya, apakah hanya kata atau juga bercanpur dengan fisik, yang pasti karena saking lelahnya dimarahi dan menangis, anak ini sampai akhirnya terlelap tidur.

Yang kedua, terjadi kemarin sore. Sang pengasuh mencari anak ini karena waktu maghrib akan tiba.

"de, liat Anto tidak?"
Anak-anakku yang masih berada di teras rumah, menggelengkan kepalanya.

Sang pengasuh terlihat mulai cemas, lalu bertanya pada anak tetangga lainnya. Aku yang sedang berada di dalam rumah, tenang-tenang saja, masih berpikir positif, toh ada satpam pikirku sepertinya sulit seorang anak keluar kompleks tanpa sepengetahuan mereka, paling seperti kejadian waktu itu, anak ini paling sembunyi...

Beberapa menit kemudian, sang pengasuh kembali bertanya "De, liat Anto nggak?"

Anak-anakku kembali menjawab "nggak..." kali ini mereka mulai ikut kebingungan "Anto hilang...wah Anto hilang...Anto hilang...bu...aAnto hilang"

Mmmh, aku mulai berpikir, "beneran nih...hilang? Ah masa iya"

Aku masih meneruskan pekerjaanku, sambil terus mendengarkan kekisruhan di luar.

Beberapa menit kemudian, masih saja orang-orang ribut mencari anak ini. Hatiku mulai nggak enak, jangan-jangan beneran anak ini hilang, pikiran buruk mulai berkelebatan di kepalaku. Jangan...jangan...jangan...diculik!

Akupun akhirnya ikut keluar, ikut mengetuk rumah yang belum terbuka satu persatu. Tidak ada tanda-tanda anak itu di mana. Pak satpam tampak yakin anak ini ada di dalam kompleks.

Beberapa menit kemudian...

"Tuh Anto!" anak-anak bersorak

Tampak Adit ditemani Pak Satpam.

"Ketemu di mana,pak?"

"Di rumah D9 lagi ngebakso!" seru pak satpam

Pffh...lagi perasaan lega itu...kesal itu...geli itu...kembali hadir di hati kami semua....

Bagaimana dengan sang anak? Tak ada ekspresi, tak ada rasa bersalah.
Bagaimana dengan sang pengasuh dan sang nenek? Tak ada rasa amarah, tak ada kesal

Tak ada rasa kesal bertemu dengan tak ada rasa bersalah, apa yang terjadi?

Bagaikan tak ada apa-apa...hilang begitu saja...dan sangat mungkin kejadiannya akan berulang lagi.

Memang tak perlu ada rasa kesal, tak perlu bentakan atau marah berlebihan tapi bukankah tetap diperlukan ketegasan dan kejelasan tentang hal-hal apa yang lebih baik dilakukan sang anak agar tak perlu lagi terulang kejadian ini.

Seperti apakah ketegasan itu? Ketegasan yang tak perlu bercampur aduk dengan kemarahan. Ketegasan yang tak perlu bercampur aduk dengan kekesalan. Ketegasan yang tak perlu campur aduk dengan bentakan.

Temukan jawabannya dalam hati Anda...


Label:

Hari ini aku menemukan tulisanku di tahun lalu...ku upload di blog ah...

01 Mei 2007

"Akmal sekarang sudah jam 1/2 7 ayo kita mandi"

Seperti yang sudah diduga Akmal merespon dengan pertanyaan klasik: "Kenapa?" Yah pertanyaan yang sedang sering dia ajukan, sebagai pertanda penolakan. Sebenarnya mungkin kalimat pertanyaannya panjang "kenapa sih aku disuruh mandi, aku kan lagi asyik main?" Tapi pertanyaan itu kujawab saja dengan jawaban standar:"kan biar bersih. Akmal kan mau sekolah" "Aaah nggak mau! Aku kan sudah bilang hari ini nggak sekolah. Kemaren aku kan sudah bilang besok aku enggak sekolah, besoknya lagi aku sekolah, besoknya lagi aku nggak sekolah, besoknya lagi aku sekolah."

Pffh, nahan nafas deh kalo sudah begini. Mogok sekolah lagi? Ya...sudah kesekian di semester ini. Akmal mogok sekolah. Hampir tiap hari ada acara membujuk dia agar mau sekolah, dan kali ini aku merasa bosan. Sudahlah akhirnya aku masuk saja ke rumah, daripada terpancing emosi.

Sudah puas bermain, akmal masuk rumah. Aku berusaha untuk diam saja, tak bicara, bukan karena mau unjuk rasa, mendiamkan dirinya, tapi aku tahu kalau aku bicara, emosiku yang akan bicara.

Mungkin karena terasa sepi, tak ada yang mengajaknya bicara, Akmal mengajakku bicara. "Bu, aku nggak sekolah" Duh...sebaiknya aku merespon dengan kata-kata apa......apa aku menyerah saja...mengikuti kemauannya saja...tak perlu kubujuk...tak perlu kumarahi...anggap saja tal ada apa-apa. bagaimana ya??? Kucoba bicara.

"emmh, begitu ya...ibu juga mau kasih kabar kalau ibu mau cuti hari ini, ibu mau pergi ke gramedia sendiri, jalan-jalan...asyik juga ya. Ibu cuti dulu dari ngasuh dan ngurus anak-anak. Nggak masak, nggak ngasih makan, nggak ngemandiin"

Kutatap matanya. Observasi responnya. Tampak dia menanggapi dengan serius. Melihat keseriuasannya aku jadi semangat:) sepertinya jawabanku cukup kena.

"Mungkin besok ayah juga akan berpikir untuk ikut cuti seperti ibu, teteh cuti,hanif cuti..."

"Bagaimana menurut mas, kalo ayah mogok kerja, teteh mogok kerja...ibu aja yang kerja ya..ibu pergi subuh pulang malam. Ayah yang masak. Ngebacain cerita...." "Wah nggak mau! Nanti bagaimana? Ayahkan nggak bisa masak. Dah gitu kalo ngebacain cerita ayah suka goda (dimain-mainkan_red)

AHA! tampaknya Akmal tergiring masuk ke dalam diskusi...ok coba kita diskusikan tentang aturan bersama...aturan sosial.

"Mal...Pak polisi sudah membuat lampu merah untuk berhenti, hijau untuk berjalan, kuning untuk bersiap-siap. Lalu kalau ada orang yang tidak mau ikut aturan itu, misal waktu lampu merah menyala, ia malah menjalankan mobil dengan cepat, apa yang terjadi?

"tabrakan..."

"Ya, orang - orang bisa tabrakan. Pak polisi membuat aturan supaya hidup aman dan nyaman. Nah aturan juga ada di keluarga kita. Aturannya setiap orang punya tugas. Ibu bertugas mengasuh dan mendidik anak-anak, teteh bertugas merapikan rumah dan membantu ibu, mas bertugas sekolah...aturan ini dibuat supaya semua merasa nyaman dan senang"

"kalau mas punya aturan sendiri boleh. Mas mau cuti sekolah, ibu juga mau cuti, ayah cuti, teteh cuti, kita tuker-tukeran tugas. Bagaimana setuju?"

Eng...ing...eng wajahnya berpikir...

"Bagaimana mau ikut aturan bersama atau aturan sendiri?"

"Aku nggak sekolah!"

Gubrak dah...kupikir dengan diskusi seperti ini hatinya bakal luluh....yah apa mau dikata namanya juga anak-anak.

"Ok deh ibu mau cuti"

"Kenapa?"

Glek...ow apa dia belum paham atau nggak mau paham ya....

"mas bisa buat aturan sendiri. Bisa suka-suka sendiri. Ibu juga bisa donk. Bagaimana mau ikut aturan bersama atau aturan sendiri.

"Aturan bersama!"

Alhamdulillah akhirnya........

"Kalau begitu ayo kita mandi"

Hari yang diawali dengan.....usaha yang tak mudah. Emosi harus terkendali. Logika harus jalan.

-----

Setahun kemudian neh... Akmal sekarang dah masuk SD Alhamdulillah dia semangat banget sekolah....Hmmh kalo melihat dia sekarang dah lupa tuh kalo dia dulu pernah males-malesan sekolah. Begitulah...anak...kadang mengalami masa perilaku sulit yang sifatnya sementara, namun sayang kita orangtua kerap terlalu cepat menjudge perilaku sulit sementara itu sebagai sifat atau perilaku yang menetap. Padahal hanya dibutuhkan kesabaran untuk melalui masa itu dengan baik.