Label:

Lagi nemenin Akmal belaja IPS tentang identitas diri.
"Nama Ayah?" tanyaku
"Priyo Edi Purnomo" jawab Akmal
"Nama Ibu?"
"Lita Ediasop"
Wua ha...ha...Akmal keseringan denger Ediashop...ediashop, disangkanya
itu namaku...

Label:

Dapat tulisan dari milist,

Sebuah Renungan Bagi Para Orangtua dalam medidik anak

Anak-anak yang digegas Menjadi cepat mekar
Cepat matang dan pintar tapi akhirnya Cepat layu,..

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana
mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga
persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak
mereka pelayanan pendidikan yang baik.

Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga kedesa.
Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagaitempat.
Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari
yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya.

Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung,
cakap berbagai bahasa,hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan
menari, main musik dan berenang.

Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan.
Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantungorangtua..
Captive market !

Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita
amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan
lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak
usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar
penyelenggaraan pendidikanbagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan.
Di samping ketidak patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat
ketidaktahuannya!

Anak-Anak Yang Digegas…

Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak.
Di antaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan
intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan
kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani
akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan
kecakapan-kecakapan akademikdi dalam dan di luar sekolah.
Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini
terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi
pada seorang anak yang bernama WJS, putra seorang psikiater. Kecerdasan
otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya
masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan
banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media
masa.

Namun apa yang terjadi kemudian ?

James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari
menemukanseorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah WJS. Si anak
ajaib yangbegitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum
pada beberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi
pada seorang anak perempuan bernama E. Terjadi pada tahun 1952, dimana
seorang Ibu yang bemama AS telah berhasil melakukan eksperimen
menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif
anaknya sejak si anak masih benapa janin. Baru saja bayi itu lahir
ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang
bayi.Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa.
Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata
baru.Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun E telah dapat
berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun E telah menyelesaikan
membaca ensiklopedi Britannica. Usia 6 tahun ia membaca enam buah buku
dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas.
Ketika usianya menginjak 15 lahun la menjadi guru matematika di
Michigan-State University . AS berhasil menjadikan E anak jenius karena
terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun khabar E
selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak
kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu
yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.

Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang
berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil
mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai
murid yang dungu. Seperti halnya Einsten yang mengalami kesulitan
belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun.
Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anakdi
masa depan sangat ditentukan oleh factor kognitif.

Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh
karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan
'Early Childhood Training'. Era pemberdayaan otak mencapai masa
keemasanmya.Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan
anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun
dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri.
Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja.
Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses
pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang
dimana-rnana, di Indonesia…

'Early Ripe, early Rot…!'

Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1960
di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya
pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila
mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan
menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan 'peluang emas' bagi
anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka
sesegera mungkin ke Taman Kanak-Kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak
pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah
usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan
berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika sudah
dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah 'Era
Headstart' merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis
untuk membelajarkan sains dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa
mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang
anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.

Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome
Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah
buku terkenal 'The Process of Education' pada tahun 1960, la menyatakan
bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku
suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika. 'We
begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in
some intellectually honest way to any child at any stage of development' .
Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan oleh
banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan
dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang
dan cepat busuk…

Early ripe, early rot! Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat
pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga
melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak
mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat
praktis membelajarkan bayi membaca.
Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep
'kesiapan-readiness ' dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang
mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang 'biological
limitations on learning'. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan
intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka
segera siap belajar apapun. Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh
kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar.
Anak -anak menjadi 'miniature orang dewasa'.
Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana
layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku
pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak
untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet.
Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak-anak yang
ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang
keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual
promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa.
berpikir dan perilaku anak lumbuh kembang secara cepat.
Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah
faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti
halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan
ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak
terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan
mereka tidak seperti orang dewasa.

Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di
semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya
kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih
rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan,
khususnva saat perilaku anak menampilkan gaya 'kedewasaan ', sementara
perasaannya menangis berteriak sebagai 'anak'. Dampak Berikutnya
Terjadi… ketika anak memasuki usia remaja. Akibat negatif lainnya dari
anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak
segan-segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut.

Patricia Brien menamakannya sebagai 'The Shrinking of Childhood'
Lu belum tahu ya… bahwa gue telah melakukan segalanya', begitu pengakuan
seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. 'Gue tahu
apa itu minuman keras, drug, dan seks ' serunya bangga.

Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan
bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai
gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua
menjadi cepat mekar…. kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak
dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh,untuk
belajar dan untuk berkembang, …. sebuah proses dalam kehidupannya !
Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas
yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan
anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia
lebih mengandalkan tenaga 'baby sitter' sebagai pengasuh anak-anaknya.
Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai 'Cinderella
Syndrome' yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan
diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi
rnenghindari kehidupan nyata vang mereka jalani.

Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di
lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan
kurikuler, ikut berbagai Ies, dan mengikuti berbagai arena, seperti
lomba penyanyi cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga
sangat bangga jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan
hanya di sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga
mewakilkan diri mereka kepada baby sitter terhadap pengasuhan dan
pendidikan anak-anak mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti
pendidikan parenting di lembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari
orang tua.

Era Superkids

Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva 'be special' daripada 'be
average or normal' sernakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin
anak-anak mereka menjadi 'to exel to be the best'. Sebetulnya tidak ada
yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti
berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti
beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang,
basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi
lainnya…maka lahirlah anak-anak super—'SUPERKIDS' .

Cost merawat anak superkids ini sangat mahal.
Era Superkids berorientasi kepada 'Competent Child'. Orangtua saling
berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya 'earlier is
better'. Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam
pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik.

Neil Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa
jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah…ketika
anak-anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa yang ke
kanak-kanakan!

Berbagai Gaya Orangtua

Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan
berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan
-'miseducation' terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya.
Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan,
antara lain:

1. Gourmet Parents (ORTU B0RJU)

Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah
bagus,mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia,
dengan gaya hidup kebarat-baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka
akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan
harta mereka. Penuh dengan ambisi!

Berbagai macam buku akan dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir
tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan
yang baik seperti halnya membangun karier, maka 'superkids' merupakan
bukti dari kehebatan mereka sebagai orangtua.

Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknva baju-baju mahal bermerek
terkenal, memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang
prestisius. Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka
sudah diajak tamasya keliling dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu
saat kita melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh
berbagai merek mobil terkenal, maka itulah sekolah dimana banyak
kelompok orangtua 'gourmet ' atau- kelompok borju menyekolahkan
anak-anaknya.

2. College Degree Parents (ORTU INTELEK)

Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah
ke atas. Mereka sangat pcduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering
melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya
membantu membuat majalah dinding, dan kegiatan ekstra kurikular lainnya.
Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan
hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka
'Superkids ', Apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang tinggi.
Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah mahal yang
prestisius sebagai buku bahwa mereka mampu dan percaya bahwa pendidikan
yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas.

Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap
kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak
hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah

3. Gold Medal Parents (ORTU SELEBRITIS)

Kelompok ini adalah kelompok orangtua Yang menginginkan anak-anaknya
menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan
anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang. Ada gelanggang ilmu
pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains yang akhir-akhir ini
lagi marak di Indonesia . Ada juga gelanggang seni seperti ikut
menyanyi, kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan
mereka tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi
'seorang Bintang Sejati '. Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka
menjadi 'Sang Juara', mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis
hingga none abang cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK.

Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang puluhan
anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di mulainya
lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan acara yang
molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta . Anak- anak mulai
resah, berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara mata
kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat, membujuk anak-anaknya
bersabar. Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan keluar sebagai
pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas
kertas.

Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku ambisi
kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang
gadis kecil pesenam usia TK rnengalami kelainan tulang akibat ambisi
ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus 'bintang cilik' yang mengalami
tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya. Kemudian
menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni
penjara. Atau bintang cilik dunia H yang setelah dewasa hanya menjadi
pasien dokter jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak bencana pada
anak-anak mereka! Pada tanggal 26 Mei lalu kita sasikan di TV bagaimana
bintang cilik 'J' yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan
orangtuanya. Orangtua J berambisi untuk kembali menjadikan anaknya
seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal. Sebagian dari
kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya. J ketika berumur
kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat
menghapal puluhan nama-nama kepala negara. kemudian di usia balitanya
dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak
yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat membentuk dan menjadikan
anaknya seorang 'superkid '-seorang penyanyi sekaligus seorang bintang
film,….

4. Do-it Yourself Parents

Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami
danmenyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan professional
di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di
tempat ibadah., di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok ini
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan
sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi
untuk menjadikan anak-anaknya 'Superkids.. earlier is better'.

Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai
lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau
tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang
binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.

5. Outward Bound Parents— (ORTU PARANOID)

Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat
memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka
sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan
permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan
marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka Iebih
memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat-tempat tawuran
yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini
secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep
'Superkids'. Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang
hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya.
Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti
memasukkan anak-anaknya 'Karate, Yudo, pencak Silat' sejak dini.

Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka
terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah
panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan
membawa dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi
'steril' dengan lingkungannya.

6. Prodigy Parents (ORTU INSTANT)

Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak
memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, namun tidak
berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia
bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang
sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan
menumpulkan kemampuan anak-anaknya. 'Tidak kalah mengejutkannya, mereka
juga memandang anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa
memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada anaknya.
Oleh karena itu mereka sangat mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik
dalam mendidik anak tanpa bersekolah.

Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku
tentang 'Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca' karangan Glenn Doman, atau
'Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika' karangan Siegfried, 'Berikan
Anakmu pemikiran Cemerlang' karangan Therese Engelmann, dan 'Kiat-Kiat
Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 6 Hari ' karangan Sidney Ledson

7. Encounter Group Parents (ORTU NGERUMPI)

Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan.
Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau
terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang
mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam
perkawinannya. Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai
relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya
kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik
anak-­anak dengan berbagai
perilaku 'gang ngrumpi' yang terkadang mengabaikan anak.

Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga mengabaikan
fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka memiliki aktivitas
di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok mereka.
Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk memilihkan
pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan anak-anak mereka sebagai
'Superkids' juga sangat diharapkan. Namun banyak dari anak-anak mereka
biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.

8. Milk and Cookies Parents (ORTU IDEAL)

Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak
yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis.
Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi
anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi
tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan. Kelompok ini
tidak berpeluang menjadi orangtua yang melakukan 'miseducation' dalam
merawat dan mengasuh anak-anaknva. Mereka memberikan lingkungan yang
nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta
kasih yang tulus sebagai orang tua.

Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan musik
yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang
makan,bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak
mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun
meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah. Kehangatan
hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk
percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar.

Kelompok ini merupakan kelompok
orangtua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka.
Mereka begitu yakin bahwa anak membutuhkan
suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang
dimilikinya.

Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan
menemukan sendiri kekuatan di dirinya. Bagi mereka setiap anak adalah
benar-benar seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga
berbeda dan unik !

Perspektif Sekolah Yang Mengkarbitkan Anak.

Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya
juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah
berorientasi kepada produk daripada proses pembelajaran. Sekolah
terlihat sebagai sebuah 'Industri' dengan tawaran-tawaran menarik yang
mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas
unggulan. Pekerjaan rumah yang menumpuk.

Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang
sibuk sebagai 'Operator kurikulum' dan tidak punya waktu mempersiapkan
materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator sekolah Sebagai
guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak,
guru hanya dapat menjadi 'pengabar isi buku pelajaran' ketimbang
menjalankan fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di
saat-saat tertentu sekolah akan menggunakan 'mesin-mesin dalam menskor'
capaian prestasi yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa
potongan-potongan mata pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam
menjalani pendidikan di sckolah. Pikiran mereka diforsir untuk
menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan
sebagai anak.

Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan
organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka
diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di
pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal
kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran ? Tumpulnya rasa dalam
mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan
dalam sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka sebagai anak
menjadi semakin senjang.

Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan yang dilatihkan melalui
berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum persekolahan, namun
mereka bingung mengimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk sekolah— dengan
tugas-tugas dan PR yang menumpuk…. Namun sekolah tidak mengerti bahwa
anak sebenarnya butuh bersekolah untuk menyongsong kehidupannya !
Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang sama. Membangun 90 %
kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah
telah melakukan 'pedagogy of the oppressed' terhadap anak-anak
didiknya.Dimana guru mengajar anak diajar, guru mengerti semuanya dan
anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru
berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplin dan anak didisiplin,
guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru
bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru
memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah
subjek dan anak adalah objek dari proses pembelajaran (Freire, 1993).
Model pembelajaran banking system ini dikritik habis-habisan sebagai
masalah kemanusiaan terbesar. Belum lagi persaingan antar sekolah. dan
persaingan ranking wilayah.

Mengkompetensi Anak— merupakan 'KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN?'

'Anak adalah anugrah Tuhan…
sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi citra anak dibentuk oleh
sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang bertanggungjawab.

'(Nature versus Nurture). bagaimana?
Karena ada dua pengertian kompetensi : kompetensi yang datang dari
kebutuhan di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa)
atau kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri
Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John
Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat
ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita-;sebagai komponen sentral
dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka
mereka juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.

Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut :
' Give me a dozen healthy infants, well formed and my own special world
to bring them up in, and I'll guarantee you to take any one at random
and train him to become any type of specialist I might
select-doctor,lawyer, artist, merchant chief and yes, even beggar and
thief regardless of this talents, penchants , tendencies, vocations, and
race of his ancestors '.

Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan 'intervensi dini'
setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada
anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut New
Jersey pada tahun 1976. Dimana guru-guru melakukan serangkaian program
tes untuk mengukur 'Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill) 'dalam
mata pelajaran membaca dan matematika.

Hasil dari pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred
Hechinger kepada New York Times sebagai berikut : The improvement in
those areas were not the result of any magic program or any singular
teaching strategy, they were… simply proof that accountability is
crucial and that, in the past five years, it has paid off in New Yersey'.

Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti
Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang
diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan
dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah. semestinya
kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika
dibuatkan kompetensi-perolehan
pengetahuan hanya secara kognitif. Karena itulah hingga hari ini sekolah
belum mampu menjawab dan dapat menampilkan kompetensi emosi sosial anak
dalam proses pembelajaran.

Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti
emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam
pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan sejati
adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki
anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk dibelajarkan. Bukan
anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja !.

Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang
berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus
menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali
tumbuh kembang yang terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya.
Perilaku keingintahuan -'curiosity' inilah yang banyak tercabut dalam
sistem persekolahan kita.

Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan !

'Empty Sacks will never stand upright'—George Eliot

Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif
melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan
membangun secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki
anak didiknya.

Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan pisik anak akan
menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah
dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik
sanubari 'karakter'. Dimana mereka mendidik anak menjadi 'good and
smart'-terang hati dan pikiran
Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan /'how learn to learn'/ pada
anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada
anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi,
dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka
hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina
dengan baik melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan
berbagai kreativitas

Thomas Edison mengatakan bahwa 'genius is 1 percent inspiration and 99
percent perspiration '.
Semangat belajar —'encourage' - Tidak dapat muncul tiba-tiba di diri
anak. Perlu proses yang melibatkan hati—kesukaan dan
kecintaan— belajar_ Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena
gurunya yang tidak mencintai mereka sebagai anak.

Selanjutnya misi sekolah lainnya yang paling fundamental adalah
mengalirkan 'moral litermy' melalui pendidikan karakter.
Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus
karakter inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King,
Jr). lnilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan
fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan
hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang
baik ….

PENUTUP

Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang
terang hati dan terang pikiran— 'good and smart'— merupakan tugas kita
bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang
mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat,
khususnya antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini
banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak
dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada
yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek
kognitif dan mengabaikan faktor emosi. Begitu juga orangtua. Mereka
berkecenderungan melakukan training dini kepada anak. Mereka
inginanak-anak mereka menjadi 'SUPERKIDS'. Inilah fenomena yang sedang
trend akhir-akhir ini.

Inilah juga awal dari lahirnya era anak-anak karbitan ! Lihatlah
nanti…ketika anak-anak karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan
menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan.

Ditulis oleh Dewi Utama Faizah*)
Bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen
Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan
Pendidikan Karakter
Divisi dari Indonesia Heritage Foundation..

Label:

Ali (nama samaran, red) temennya Hanif sedang main di rumah.
Lalu kutawari makanan di stoples "Ali, mau nih, biskuit"
"nggak"...
ya wis...main deh sama Hanif...
"Ali, main ini nih " kusodori playdough dari adonan tepung.
Kulanjutkan pekerjaanku...(halah sok sibuk, apa sih pekerjaanmu Bu,
selain buka e-mail & chatting...he)
"Kok ini nggak ada rasanya" kata Ali
Eh...apanya yang nggak ada rasanya, pikirku, ku lihat Ali, lha apa
yang dia makan, katanya nggak mau biskuit...
Oow....dia memakan...playdough.....!!!

"Wah, Ali itu bukan buat dimakan, tapi buat di mainin, dibuat apa gitu, bola, cacing...
Ayo lepeh..lepeh...kumur yuk...haduh panik campur geli, apa dah
ketelen...apa nggak....
sementara Ali cuman senyum-senyum. Ternyata dia belum pernah main
playdough (adonan tepung) dirumahnya.

Label:

Ketika kita memberi nama pada anak, tentu ada do'a dan harap yang menyertainya,walau mungkin tidak terlalu eksplisit, atau hanya sekedar menyelinap dalam hati.

Akmal Abdul Kariem, begitu nama yang saya berikan pada anak pertama. Saya dan suami rancang nama itu sebelum melihat "performance" nya. Yang pasti saya berharap anak pertama saya menjadi Anak yang memiliki banyak kelebihan, pintar, cakep (kaya Ayahnya...he tong Ge eR Yah!), tapi saya ingin anak ini dengan kelebihannya dia bisa bermanfaat bagi Agamanya kelak, senang berbagi, helpfull, dermawan. Maka saya pilih nama itu Akmal Abdul Kariem. Alhamdulillah, ketika ia lahir saya begitu terpesona, jatuh cinta pada pandangan pertama (he3...seperti ketika melihat Ayah pertama kali...:), putih bersih, sampai saya kira ia anak perempuan...

Alhamdulillah ia juga memang pintar, tekun, serius, persis Ayahnya..persis banget...fotocopy...kaya' dikloning...:)

Tinggal melatihnya untuk senang berbagi, ketika ia mengalami kesulitan untuk berbagi, saya kerap mengingatkan arti namanya, dan hikmah-hikmah berbagi, dan karena Akmal anak yang serius:), dia begitu menghayati nasihat saya tentang arti namanya. Alhamdulillah... sekarang dia mudah sekali berbagi, sampai minggu lalu ketika dia bawa 6 pensil baru, pulang tinggal bawa 3, katanya dia bagi ke temennya karena kasihan pensilnya cuman 1, dan yang 1 lagi karena pensil temannya sudah jelek...Subhanallah Alhamdulillah...

Hanif Imaduddin, nama anak kedua. Sama dengan Akmal , saya dan suami merancang nama ini sebelum melihat performancenya. Karena ketika hamil Hanif, Akmal sudah cukup besar, sudah tampak karakternya, saya berharap anak kedua ini bisa melengkapi Akmal. Akmal yang secara emosi suka saklek, tegas, saya berharap anak kedua lebih lembut, baik....hanif lah....Saya pengen anak saya ini nanti berjuang untuk Agamanya, menjadi penegak Agama, kalau dia mau jadi Ulama yang bijaksana.

Alhamdulillah, harapan saya dikabulkan oleh Allah SWT, Hanif di usianya sekarang sudah tampak sifat "hanif"nya, jarang sekali dia membuat masalah,pembawaannya yang easy going, emosinya yang relatif terkelola dengan baik, membuat dia so nice...hanif. Seringkali dia "menasihati" Mas yang kadang masih suka terpancing amarahnya...."udah Mas nggak usah dipikir, sabar aja, nanti kalau sabar dapat yang lebih bagus" dan menasihati temannya tadi "Zam, kalau teman pelit, jangan ditendang, seperti Mas kalau ada teman nakal,menjauh aja, masuk ke rumah, bilang sama ibu ada teman yang nakal"

Alhamdulillah, Subhanallah....

Jadi buat temen-temen dan spesial buat Adikku Aldi dan Ratna yang pasti dah mulai hunting nama, coba di hayati dulu apa do'a yang ingin kita panjatkan kepada Allah SWT, kemudian carilah nama yang tepat, karena nama adalah do'a kita...

Jadi teringat zaman Mamah dan Bapak yang ngasih nama berdasarkan tren nama saat itu + gabungan nama Mamah & Bapak, maka jadilah nama Roni Mulyahardi dan Lita Edia Harti yang merupakan gabungan nama dari Bapak Edi Ahmad Mulyadi dan Mamah Titi Suharti, apalagi Adik yang saya masih inget bagaimana Bapak mengumpulkan majalah BOBO ngumpulin nama dari kolom sahabat pena...jadilah namanya rada lain Ratna Mutia Suci....teuteup ada penurunan dari nama Bapak dan Mamah walau lebih sedikit...:)

Alhamdulilllah semua nama ini bagus, tak malu kalau dipanggil teman-teman....

Label:

Meningkatnya tingkat pendidikan orangtua dan meningkatnya persaingan di dunia kerja (yang dirasakan orangtua), sedikit banyak berpengaruh pada bagaimana mereka mendidik anak-anak. Tak heran kini sering sekali terdengar, bagaimana antusiasme orangtua dalam mendidik anak-anak. Metode mengajarkan membaca, menghitung, bahasa asing pada anak pra sekolah (bahkan untuk bayi) begitu diminati oleh para orangtua. Kursus bahasa asing, kursus berhitung cepat, kursus yang berkaitan dengan bakat, laris bak kacang goreng.

Hal ini juga pernah saya alami, walau tak sedahsyat yang dialami orang lain (mungkin).
Ketika mengasuh anak saya yang pertama, walau berusaha tetap berpegang pada prinsip pengasuhan yang saya pahami, saya berusaha menstimulasi anak saya secara sistematis, karena masa prasekolah diyakini sebagai masa emas (golden age) kata pra ahli.

Didukung oleh karakter anak saya yang serius, klop sudah dengan niat saya untuk mengajarinya secara "sistematis". Proses mengajarkannya saya selalu usahakan dengan cara bermain, cara yang menyenangkan. Saya tak ingin merusak masa kanak-kanaknya. Ketika teman-temannya belajar dengan gaya yang lebih serius, saya berusaha mencari metode-metode dalam kerangka fun learning. Hasilnya memuaskan, di usia pra sekolah ia telah lancar membaca, menghitung dan menulis. Padahal saya mengajarkannya dengan santai lho, fun learning gitu...saya yakin tidak melakukan kesalahan, dalam arti merusak masa kanak-kanak anak saya dengan "belajar yang serius". Saya yakin dunia anak adalah bermain. Minat belajar, minat membacanya juga sangat bagus, karena saya membacakan buku sejak bayi.

Dengan kompetensinya tersebut, saya optimis dia tidak akan mengalami kesulitan di dunia sekolah. Namun apa ,mau di kata...di usia sekolahnya...saya malah mengalami kesulitan. Anak saya mogok sekolah!

Duh rasanya bingung sekali, awalnya saya curiga sekolahnya yang nggak bener. Memang sih ada hal-hal yang kurang bagus. Saya coba komunikasi dengan sekolah. Sedikit-sedikit keluhan saya ditanggapi oleh sekolah, saran-saran saya mereka terima dengan baik dan perbaikan-perbaikan pun dilakukan. Tapi anak saya tetap mogok!

Alhamdulillah, komunikasi saya dengan anak cukup baik, semua aspek yang mungkin mengganggu, saya gali semua. Setelah semua saya nilai sudah ok, anak saya kok ya tetap mogok.

Saya telp rekan saya, konsultasi ke psikolog yang kebetulan sahabat saya, yang tahu anak saya dari sejak kecil. Setelah mendengarkan kebingungan-kebingungan saya, dia bertanya "apa saya sering bermain dengannya?" "apa ia ada kesempatan untuk berekspresi beragam emosi: terkejut, misalnya". Saya menjawab di lingkungan rumahnya sekarang ia ada banyak kesempatan bermain dengan teman-temannya (bermain sepeda). Lalu teman saya menjelaskan kalau beda lho bermain bersama teman, dengan bermain bersama orangtua. Efek terhadap perkembangan emosinya berbeda. Bermain dengan teman penting, bermain dengan orangtuapun tak kalah penting.

Deg! Awalnya ada perasaan menolak untuk mengakui kesalahan....
Telpon saya tutup, dan saya merenung.
Apa mau di kata, benar apa kata teman saya.Mungkin stimulasinya benar, fun ...tapi kesempatan atau porsi waktu dia untuk bermain bebas: kurang! Apalagi bermain bebas dengan saya, kurang. Stimulasinya kebanyakan motorik halus dan kognitif.

Anak saya menjadi anak yang kaku, kurang berani, kurang insiatif, kurang percaya diri, takut pada situasi baru.....

Hal ini berbeda dengan anak kedua saya yang memiliki sifat berlawanan dengan kakaknya. Berbeda karena selain karakter bawaannya berbeda, saya mengasuhnya dengan cara berbeda. Anak kedua lebih banyak saya lepas untuk bermain sebebas-bebasnya.

Ketika bermain bebas, anak punya inisiatif untuk memilih permainan, menciptakan permainan, role playing, berekspresi bersama teman-teman, bertengkar, menyelesaikan masalah, terkejut, menangis, tertawa terbahak-bahak. Ekspresi emosi bisa mengalir sepuasnya.


So ternyata bermain bebas...sebebas-bebasnya penting banget. Saya coba ubah cara saya mengasuh anak pertama, saya beri dia kesempatan untuk bermain yang seru-seru, permainan motorik kasar, yang penuh tantangan. Permainan seru-seruan dengan teman-temannya dan juga dengan kami orangtuanya.

Alhamdulillah hari ini dia sekolah dengan senyuman, semoga besok dan seterusnya dia selalu tersenyum.