Label:

Bibirku tergigit, sambil terucap Innalillahi wa inna illaihi raji'un, mendengar berpisahnya pasangan suami istri yang sepertinya sudah melewati tahun keduapuluh pernikahan. Bagaimana bisa? Kenapa Bisa? Pertanyaan yang tak akan kuperoleh jawabannya.

Mengapa perpisahan yang dipilih? Tidak adakah cara untuk merajut cinta kembali? Pertanyaan yang lagi-lagi tidak terjawab.
Read more...

Label: ,

Akmal sedang belajar Bahasa Indonesia untuk UAS. Di latihan soalnya ada pertanyaan tentang percaya diri, dan Akmal tampak sangat mengarang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya memintanya untuk membaca lagi buku paketnya. Ya sekedar untuk merecall lah, supaya ngga ngarang-ngarang amat.

A: "Bu, minder itu apa sih?"
I: "O, minder itu kebalikan dari percaya diri, artinya merasa diri tidak mampu"
A: "Oo, aku suka tuh begitu"
I: "Heu...ibu juga dulu begitu"
A: "Iya, Bu?"
I: "iya akibatnya banyak yang ingin ibu lakukan, tetapi tidak ibu lakukan karena merasa minder, takut ngga bisa"
A: "Wah Aku juga begitu"
Read more...

Label: ,

Saya diasuh oleh seorang full time mother (istilah ibu-ibu jaman sekarang, memang ada ya ibu yang nggak full time?). Setiap pulang sekolah, saya selalu disambut dengan kesiapan ibu untuk mendengarkan celoteh saya dan sepiring kudapan.

NIkmatnya memiliki ibu yang selalu di rumah, membuat saya dari sejak SMP, ketika masa-masa menciptakan identitas diri itu, bercita-cita untuk menjadi ibu seperti ibu saya, selalu berada di rumah.

Setelah menikah, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan cita-cita itu. Ada rasa yang hilang, saat hanya di rumah. Saya yang terbiasa hanya belajar akademik dan berorganisasi plus tidak dilatih untuk mengelola urusan domestik rumah tangga, perlu waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan urusan domestik rumah tangga.
Read more...

Sabtu lalu, saya mengikuti acara parenting dengan pembicara yang saya hormati karena keilmuannya. Ini kali kedua saya mengikuti acaranya. Di seminar yang pertama, saya sangat terinspirasi dan ter charge semangat mengasuh anak. Sampai-sampai ketika pulang dari acaranya waktu itu, anak-anak bertanya: "Kok ibu jadi baik?" haha, dan sayapun menjawab:"Hehe..ya ibu kan abis sekolah jadi orangtua tadi". Lalu anak-anak bilang:"waah kalau gitu sering-sering aja bu...sekolahnya..." kqkqkq...ketahuan banget ya...kalo tanpa nge charge dengan ilmu, si ibu teh sangat bertanduk dan berasap...glek:(

Seperti acara pertama yang saya ikuti, acara beliau yang kedua inipun sangat mencharge semangat dalam pengasuhan. Mengingatkan akan banyak hal. Tetapi kali ini saya sangat tertarik dengan cerita beliau tentang anak-anaknya, dan cukup takjub dengan kejujuran beliau dalam menceritakan.
Read more...

Label:

“Kalau malam hari, kamu nonton apa?” tanya saya pada seorang siswa
Sebuah acara komedi situasi disebutkan oleh siswa tersebut, sebagai jawaban dari pertanyaan saya.
Dari beberapa anak yang saya tanyapun memiliki jawaban yang sama, tampaknya tayangan ini memang menjadi favorit keluarga saat ini.

Kemarin malam, saya coba melihat tayangan tersebut. Acara ini banyak menampilkan gerakan tubuh yang lucu, yang sepertinya merupakan adegan komedi favorit masyarakat Indonesia, penonton di studio pun tertawa. Lalu tayangan berlanjut dengan kata-kata ejekan, diantaranya berupa ejekan anggota tubuh, seperti pesek misalnya, penontonpun kembali tertawa. Padahal mengejek anggota tubuh tidaklah patut karena itu adalah ciptaan-Nya, tetapi siapa yang peduli ya dengan hal itu ketika melihat tayangan komedi, masak iya mau tertawa aja berpikir dulu. Tak berhenti pada ejekan anggota tubuh saja, tayangan berlanjut dengan menghubungkan anggota tubuh ini dengan profesi orangtua lawan main. “Bapak kamu pastinya tuan tanah, lihat saja badanmu yang lebar” (kalimat persisnya saya tidak hafal, kira-kira begitulah), penonton kembali tertawa terbahak-bahak. Di tayangan berikutnya, tampak adegan menjaili orang, dengan menyeruduk lawan mainnya sampai terjatuh, lagi-lagi penonton tertawa. Acara ini memang hebat, setiap adegan selalu mengundang tawa.
Read more...

Label:

Sejak masuk minggu ke 32, hampir setiap hari saya menatap kalender. Tigapuluh dua,berarti 6 minggu lagi. Hari-haripun berlangsung terasa lambat. Saya coba fokus untuk persiapan melahirkan, banyak-banyak browsing tentang persiapan yang perlu dilakukan. Mencari AMBAK dari semua persiapan tersebut, supaya semangat. Aktivitas jalan pagi saya pilih. Tiap pagi saya mengukur jalan komplek sekitar 30 menit. Tetapi ternyata tetap saja saya masih sering menatap kalender, dan hari-hari masih tetap berjalan lambat. Di minggu ke 34, akhirnya saya merasa harus meninggalkan aktivitas tatap menatap kalender itu. Bagaimana cara menghentikannya ya? *mikir*

Read more...

Label: , ,

Hati anak yang bening, bisa menjadi pelajaran bagi Ayah dan Ibu.

Hanif, adalah anak yang riang, jarang menangis, jarang rewel, kooperatif. Ia senang berteman, dan jarang menyakiti teman. Satu hal saja yang membuat ibu berpikir...bagaimana jika ia sekolah kelak...karena tampak cuek sekali. Beberapa kali diajak mengenal angka dan huruf...tampak tak berminat, tampak sulit memahami, tampak sulit mengingat.

Tampak tak berminat, tampak sulit memahami, tampak sulit mengingat, disimpulkan lagi-lagi dari membandingkan. Membandingkan Hanif dengan...siapa lagi kalau bukan...Akmal.
Read more...

Akmal: "Bu, bukannya pacaran itu ngga boleh?"
Ibu: "Iya"
Akmal: "Kok Doni (temen sekelasnya) dah punya pacar?"
Ibu:"Oh,ya? Sama siapa?"
Akmal: "Sama....Siska"
Ibu: "Ah, paling asal bilang aja..."
Akmal:" Ngga...beneran kok...."
Ibu:"Tahu benerannya dari mana?"
Akmal:"Ada deh....rahasia tahu benernya dari mana....Ibu juga punya rahasia, Aku juga.
Enak bu...Doni...dikasih hadiah sama Siska..."
Read more...

Label:

Seorang pedagang menjual 6 besek telur asin. Setiap besek berisi 10 butir telur. Ibu membeli 2 besek. Sisa telur di pedagang itu adalah ... butir.

Soal di atas, saya ambil dari sebuah buku kumpulan soal, sebagai latihan soal untuk Akmal. Ketika saya mengambil soal tersebut, saya tidak terlalu memperhatikan kalimat detilnya.

Soal itu saya berikan begitu saja pada Akmal, tanpa saya ubah sedikitpun. Akmal terdiam, berusaha mencerna soal itu. Ya, seperti biasa ia masih memerlukan waktu untuk mencerna sebuah soal cerita.

"Besek itu apa, Bu?" tanya Akmal.

Hoo iya yaaa....besek...hari gini ada kosa kata besek, sepertinyanya kurang lazim didengar anak, terutama dia.

"Emm, besek itu, seperti keranjang atau wadah gitu Mas..."

"Ooo"

Akmal masih terdiam... sepertinya belum mengerti maksud soal.

"Digambar aja yuk, Mas. Begini...." Saya coba ilustrasikan soal cerita tersebut menjadi gambar. Lalu kami bersama-sama mengerjakan soal tersebut.

Beberapa kali saya menemukan kejadian seperti di atas. Saat Akmal terpaku pada soal cerita, karena ia tidak paham terhadap soalnya. Bukan sekedar jalan ceritanya, bisa jadi sejak memahami arti kata perkata.

Pernah juga saya menemukan hambatan yang sama, saat mendampingi seorang anak yang sedang mengerjakan soal. Ketika itu ia sedang mengerjakan soal matematika: Tuliskan bilangan di antara 25 sampai 32!
Persoalan matematika ini direspon oleh anak tersebut dengan bertanya "di antara itu apa, Bu?"

Jadi bagaimana dia bisa mengerjakan, kalau kata perkata dari soal tersebut ada yang belum paham.

Kali lain, ketika anak diberi soal: Tuliskan sifat benda padat!, direspon dengan pertanyaan "Sifat itu apa, Bu?"

Mungkin ada anak yang cukup dengan membaca buku, lalu menghafal sifat-sifat suatu benda, ia akan menuliskan jawabannya. Terlepas dari memahami arti kata "sifat". Tapi untuk sebagian anak yang perlu ilustrasi atau deskripsi yang detil dari sebuat bacaan, akan terhenti pada sebuah arti kata.

Ketika seorang anak tidak bisa menjawab, hal yang perlu di cek oleh kita adalah, pemahaman bacaannya. Sudahkah ia memahami arti kata perkata yang ia baca.

Permasalahan pemahaman bacaan inilah yang sekarang kerap kali saya temui saat ini, kebetulan saya menemukannya pada anak-anak sekolah dasar. Belum pernah melakukan riset, berapa banyak yang mengalaminya. Namun terlepas dari sedikit atau banyak masalah ini terjadi, masalah ini tetap menarik bagi saya.

Apa yang kurang dalam pengajaran membaca yang mereka alami? Kenapa mereka kurang memahami makna dari bacaan yang mereka baca? Kenapa lama kelamaan mereka semakin malas membaca? Hal yang kerap kali dikeluhkan oleh para guru.

Apa yang kurang? Padahal anak-anak sekarang lebih cepat belajar membaca. Dari sejak pra sekolah mereka sudah belajar dan bisa membaca.

Anak pra sekolah saat ini dtuntut untuk segera bisa membaca. Tak bisa dipungkiri kemampuan ini menjadi mutlak perlu dikuasai karena sedikit sekolah yang memberi peluang bagi anak yang belum bisa membaca, untuk belajar membaca di kelas 1.

Jika kita berjalan-jalan di toko buku, maka kita akan menemukan berderet-deret buku tentang cara cepat mengajarkan membaca pada anak. Judulnyapun begitu menggoda. Lupa bagaimana detilnya, yang pasti menjanjikan anak bisa membaca dalam waktu singkat.

Menghafal huruf dilewati, langsung pada membaca dua suku kata seperti ba, bi, bu, be, bo. Seakan dianggap menghafal huruf tidaklah perlu dan sayang waktu jika digunakan untuk menghafal huruf. Jika kita buka lagi lembaran buku tersebut, mungkin ada buku yang langsung saja menampilkan sederet suku kata untuk dibaca, tanpa menampilkan hubungan antara suku kata tersebut dengan kata-kata yang lazim ia temui sehari-hari. Yang dikejar oleh sang buku adalah kemampuan anak membaca suku kata.

Sangat disayangkan ketika anak belajar membaca tanpa diperkenalkan pada konteks. Padahal belajar membaca, selain belajar merangkai huruf menjadi kata, juga perlu diiringi dengan pehaman makna huruf, kata dan kalimat. Bahwa b adalah awal dari kata bola. Kata "bola" adalah representasi dari benda bulat yang biasa dipakai bermain dengan cara ditendang dengan menggunakan kaki.

Mengapa menghubungkan huruf dengan kata, menghubungkan kata yang tercetak di kertas dengan benda di sekitar menjadi penting? Karena membaca bukan hanya sekedar membaca kata, tapi juga memaknakan kata.

Belajar membaca perlu diiringi dengan memperkaya lingkungan bahasa pada anak. Banyak mengajaknya berbicara, membacakan buku, memperdengarkan cerita, dan aktivitas-aktivitas lain yang berhubungan dengan kata (bahasa).

Semakin banyak kosa kata yang anak kuasai, semakin mudah ia memaknakan suatu bacaan. Mengajarkan membaca kata perkata, namun menempatkan anak pada lingkungan yang miskin bahasa, hanya akan membuat ia bisa membaca namun kurang memahami makna bacaan. Hal ini akan menjadi hambatan pada anak saat membaca buku pelajarannya, atau membaca persoalan tertulis yang ia terima kelak di sekolah dasar.

Oleh karena itu, saya mencoba berbagi beberapa langkah belajar membaca berikut ini. Langkah-langkah ini terformulasi hanya berdasarkan pengalaman bukan berdasarkan riset atau ilmu yang mencukupi. Namun mudah-mudahan ada manfaatnya.

Pertama, yang perlu dilakukan adalah memperkaya lingkungan dengan bahasa. Mengajak anak untuk berinteraksi, bermain bersama, sambil berbincang-bincang dengan hangat, adalah salah satu upaya yang mudah untuk memperkaya lingkungan dengan bahasa. Membacakannya buku cerita saat anak belum bisa membaca, membuat anak bisa memiliki pengetahuan yang kaya akan kosa kata, tanpa harus menunggunya bisa membaca. Mendengarkan cerita akan membuatnya semakin senang berbahasa. Kosa kata adalah kunci bagi anak untuk memahami isi bacaan.

Kedua, memahami bahwa kata yang tercetak dalam buku adalah kata-kata yang lazim ia dengar. Anak memahami bahwa kata yang sering ia dengar, bisa ditulis atau dicetak dalam sebuah buku. Lebih jauh, anak mengetahui dengan membaca kata-kata dalam buku, anak akan mengetahui lebih banyak tentang suatu hal. Ooo..ternyata kura-kura yang menarik untuk dipelihara itu, kalau ditulis...tulisannya begitu ya? Ooo ternyata kalau membaca buku tentang kura-kura, jadi tahu lebih banyak tentang kura-kura. Membaca menjadi aktivitas yang mengasyikkan. Anak menjadi memiliki minat yang tinggi terhadap aktivitas membaca. Minat bisa dikatakan lebih penting dari sekedar bisa. Betapa banyak orang yang bisa membaca, namun tak berminat membaca. Hasilnya tentu berbeda antara orang yang sekedar bisa membaca dengan orang yang memiliki minat tinggi untuk membaca. Minat dapat ditumbuhkan tanpa perlu menunggu kemampuan membaca terkuasai.

Ketiga, memahami arti huruf hingga memahami makna kata yang ia baca. Apa hubungan huruf dengan kata? Bahwa b adalah awal dari kata bola. Bahwa kata bola terdiri dari beberapa huruf. Bahwa kata bola adalah representasi dari benda bola yang sering ia lihat. Sehingga anak memahami manfaat dari huruf dan kata, aktivitas membaca menjadi bermakna. Bayangkan ketika anak di minta membaca rangakaian suku kata bici (kata yang terdapat di buku belajar membaca, saat anak belajar membaca suku kata dan bi dan ci). Apakah bici itu? Apa maknanya? Adakah anak yang bernama bici, atau benda bici? Belajar membaca dengan merangkai suku kata menjadi kata yang tidak lazim didengar, bisa menjadi aktivitas yang aneh bagi anak yang kritis.

Keempat dan selanjutnya barulah belajar teknik membaca. Merangkai kata menjadi suku kata, merangkai suku kata menjadi kata. Merangkai kata menjadi kalimat.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan anak bukan sekedar membaca dengan cara hafal huruf atau hafal kata, tetapi juga karena mengerti arti bacaan yang sedang ia baca. Pendampingan tentunya tetap diperlukan agar anak dapat memahami bacaannya dengan tepat.

Label: ,

Hanif, gayanya santai, tanpa beban. Cuek, senangnya berteman. Kalau ditelusuri catatan saya tentang dia waktu kecil, tampaklah ia anak yang tidak terlalu suka pada hal-hal yang berbau "belajar", seperti membaca buku sebelum tidur, dan mengerjakan buku aktivitas.

Gayanya itulah, yang membuat saya menundanya untuk sekolah. Sayang, saya pikir, karena di sisi lain ia sangat kreatif, dan menikmati masa-masa bermainnya. Kenapa sayang? Yaaa....saya pikir sayanglah anak sekreatif dia kalau langsung "dijejali" baca tulis hitung. Nanti sajalah kalau sudah mendekati usia sekolah.

Di usianya yang kelima, saya mendaftarkannya ke sekolah, dekat rumah. Pertimbangannya untuk sekolah adalah karena teman bermainnya di rumah sudah sekolah semua. Kasihan kalau tidak sekolah, dia tidak ada temannya.

Ternyata Hanif sangat semangat sekolah. Belum pernah dia bolos, atau malas. Walau saat batuk pilek mendatanginya. Selain semangat sekolah, ternyata ia juga semangat belajar! Hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Setiap kali melihat buku IQRO ataupun buku belajar membaca, ia akan meminta saya untuk mendampinginya belajar. Perkembangan minat belajarnya meningkat signifikan menurut saya. Benar-benar tidak menduga, karena dia anak yang suka loncat-loncat, bergerak ke sana kemari.

Kata Ayahnya, Hanif begini karena ia sudah kenyang main. Mungkin benar juga, ya? Puas main, tinggal belajarnya. Ngga penasaran lagi rasa bermain. Apapun penyebabnya, yang pasti si Ibu merasa bersalah karena sudah underestimate terhadap minat belajarnya. Ke depan, ingin belajar untuk tidak underestimate, kalau Allah berkehendak, seorang anak bisa menjadi seperti ini dan itu,walau tidak bisa diprediksi kapan ia bisa menjadi seperti ini dan itu. Yang pasti seorang ibu harusnya berpikir lebih positif dan optimis terhadap perkembangan anak-anaknya.

Teringat masa SD, saat itu sepulang sekolah, bergegas saya pergi ke rumah guru untuk belajar. Sepertinya sih hampir setiap hari. Di rumah guru tersebut saya merasa lebih mengerti pelajaran yang ada di sekolah. Dulu dedikasi guru demikian tinggi, seingat saya sih itu les gratisan, karena orangtua tidak pernah meminta guru tersebut memberi les pada saya.

Ketika SMP dan SMA, saya pun masih saja memerlukan bantuan les/ bimbel. Ada perasaan tidak percaya diri kalau tidak dibantu les. Plus nilai juga memang naik ketika saya mengambil les. Nge-blank saat di kelas, dan mengerti ketika les, itulah saya.

Apa mau dikata, pengalaman saya di waktu kecil, ternyata berulang pada anak saya. Nge-blank saat di kelas, dan mengerti saat di rumah.

Terus terang ketika Akmal masuk kelas 1, saya tidak mempersiapkan diri untuk mendampingi belajar. Saya pikir "ah baru kelas 1, santai-santailah". Tapi ternyata kurikulum zaman sekarang tidak cocok bagi saya yang ingin bersantai-santai, dan bagi Akmal yang mudah terpecah konsentrasinya.

Merubah Mind Set
Dulu saya pikir dengan bersekolah di sekolah full day school, tugas saya sebagai ibu menjadi lebih ringan. Saya pikir sekolah full day school adalah sekolah yang memiliki target tuntas belajar di sekolah. Artinya anak tuntas belajar, keluar sekolah ia sudah paham pelajaran yang ia dapat di sekolah, dan di rumah ia tinggal eksplorasi hal lainnya.

Namun adalah kenyataan bahwa ternyata Akmal tidak bisa tuntas belajar di sekolah. Akmal memerlukan pendampingan, sama halnya dengan saya ketika kecil. Sebagian materi di sekolah, tidak ia ingat dengan baik. Akmal kurang fokus saat menyelesaikan tugasnya atau menyimak pelajaran. Ia memang tampak kalem, duduk tenang, sehingga gurupun kerap tidak menyadari kalau ia belum paham. Padahal ia adalah anak yang mudah terpecah konsentrasinya, ada hal yang menarik di sekitarnya ia akan menoleh, dan memperhatikan dengan seksama hal tersebut.

Saya menyadari hal ini, saat ia akan menghadapi ulangan pertamanya. Saya bertanya-tanya mengapa sedikit sekali materi pelajaran yang ia ingat dan pahami. Hal ini terus terjadi hingga ia duduk saat ini di kelas tiga. Saya sempat merasa kesal, dan mempertanyakan fungsi sekolah, ketika saya harus mengajarinya dari nol. Seakan-akan ia tidak pernah hadir di kelas.

Namun seiring dengan waktu, saya semakin menyadari bahwa mau sekolah di manapun, sulit untuk mengharap pada sekolah, kecuali saya mau merogoh dompet lebih dalam. Karena sebagian besar pendekatan di sekolah saat pengajaran adalah pendekatan klasikal. Bagi Akmal yang mudah terpecah konsentrasiny, adalah suatu keniscayaan untuk mendapat pendampingan belajar secara individual. Di manakah saya bisa memperoleh sekolah yang mendampingi individual dengan harga terjangkau? Akhirnya saya menyadari adalah tugas saya sebagai ibu untuk mendampingi belajar secara individual. Pilihan saya hanya dua, mendampingi atau mencari guru pendamping, dan tentu saja saya pilih yang pertama.


Menata Waktu
Terus terang bagi saya, seorang ibu yang banyak keinginan, harus secara rutin mendampingi belajar secara individual di rumah, tidaklah mudah. Secara saya adalah ibu yang mudah terpecah konsentrasinya, banyak keingingan, banyak yang ingin dikerjakan dalam satu waktu, tidak fokus. Sebelas dua belas sama anaknya. Apalagi waktu pertama kali bisa bebas ngefesbuk or chatting, bisa berjam-jam menghabiskan waktu untuk fesbuk dan chat, sampai lupa mengajak anak belajar. Fiuh.

Sekarang Akmal sudah kelas tiga, pelajarannya semakin hari semakin banyak. Bukunya semakin penuh dengan teks. Mau tidak mau, saya harus lebih disiplin menyediakan waktu. Layaknya seorang guru les, saya mempelajari kurikulum, dan soal-soal evaluasi dari buku di luar buku pegangann anak. Saya juga browsing beberapa situs games edukatif, supaya ada multi metode bagi anak untuk belajar. Membaca buku-buku tentang otak, sekedar mengingatkan bagi saya cara belajar bagi Akmal yang tepat.

Situs-situs games edukatif seperti www.multiplication.com, buku-buku pendidikan dan psikologi sebenarnya lebih banyak berguna bagi saya. Sekedar untuk menurunkan ketegangan saya, yang sudah membawa karakter pencemas dan mudah mengalami ketegangan.

Menata waktu, untuk fokus mendampingi anak belajar, adalah menjadi keharusan saat ini. Konsekuensinya, saya memang jarang online, atau tidak terlalu bisa melakukan hal lain. Ya...itulah konsekuensi menjadi ibu, dengan amanahnya untuk merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Kalau saya tidak fokus. Terbayanglah seorang yang tidak fokus mendampingi anak-anak yang juga tidak fokus....heu...heu Apalah jadinya?


Label:

"Ah males banget dia sih buat belajar, susah sekali, maunya main terus"
"Begitu mungkin ya kalau anak laki-laki, beda sama anak perempuan. Kalau anak perempuan tekun-tekun, mau belajar. Anak laki-laki sih heeeuuuuh susah!"
"Wah kalau kita ngga ngomel-ngomel sih, kayaknya ngga akan belajar-belajar tuh anak-anak"
"Saya sibuk, ngga sempat menemani anak belajar, lagi pula kalau belajar dengan anak saya yang ada berantem melulu, ya sudah saya panggil guru privat saja"

---

Kerap kali kita mendengar keluhan orangtua mengenai motivasi belajar putra putri mereka. Jika kita berdialog lebih lanjut dan menyamakan persepsi tentang apa yang dimaksud belajar, menurut versi orangtua, kurang lebih beginilah hasilnya:

Belajar adalah membuka buku, membaca dengan tekun, membuat rangkuman dari buku, mengerjakan soal-soal latihan.

"Ayo belajar kamu, baca! Baca dong bukunya! Main terus!"
"Belajar apa kamu tadi di sekolah, halaman berapa? Ayo dibaca-baca lagi...diulang lagi di rumah!"
"Kamu sedang belajar apa sekarang di sekolah? Oo...itu...nih ibu sudah siapkan soal-soal untuk latihan, kamu kerjakan ya no 1-10. Nanti kita periksa bersama!"

Ketika anak enggan melakukan semua intruksi itu, bisa jadi orangtua kemudian menyimpulkan anaknya tidak mau belajar, lebih jauh lagi sampai memberikan label "malas" pada anak.

Sesungguhnya apakah belajar itu?

Berikut ini pendapat para ahli psikologi dalam memandang Belajar:
1.Skinner (1958) memberikan definisi belajar “Learning is a process progressive behavior adaptation”. Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa belajar akan mengarah pada keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Disamping itu belajar juga memebutuhkan proses yang berarti belajar membutuhkan waktu untuk mencapai suatu hasil.
2.McGeoch (1956) memberikan definisi belajar “learning is a change in performance as a result of practice. Ini berarti bahwa belajar membawa perubahan dalam performance, yang disebabkan oleh proses latihan.
3.Kimble memberikan definisi belajar “Learning is a relative permanent change in behavioral potentiality occur as a result of reinforced practice. Dalam definisi tersebut terlihat adanya sesuatu hal baru yaitu perubahan yang bersifat permanen, yang disebabkan oleh reinforcement practice.
4.Horgen (1984) memberikan definisi mengenai belajar “learning can be defined as any relatively, permanent change in behavior which occurs as a result of practice or experience” suatu hal yang muncul dalam definisi ini adalah bahwa perilaku sebagai akibat belajar itu disebabkan karena latihan atau pengalaman.

Kesimpulan pertama dari sederet definisi tersebut adalah belajar adalah perubahan perilaku. Artinya yang menjadi sasaran utama dari proses belajar adalah perubahan perilaku, bukan sekedar penambahan pemahaman teori-teori/ materi pelajaran.

Uniknya, dengan beragamnya karakter manusia, cara manusia belajar (dengan definisi sesungguhnya) ternyata berbeda-beda.

Saya mengenal seorang anak yang penuh semangat mengoperasikan berbagai software di komputer. Kemampuannya sudah setara dengan orang-orang dewasa. Hasil karyanya sehubungan dengan software-software tersebut, menimbulkan decak kagum orang sekitarnya. Bagaimana tidak, ia baru saja duduk di bangku sekolah dasar. Ia belajar mengoperasikan software-software tersebut hanya dengan melihat orang lain melakukannya, dan kemudian mengeksplorasi sendiri software tersebut. Belajar dengan melihat dan melakukan.


Cerita sederhana lainnya, saya pernah berdecak kagum karena keponakan saya yang masih imut-imut di bawah usia 2 tahun. Mengetahui tombol untuk menyalakan hp, hanya dengan melihat bagaimana saya mematikannya.

Artinya terdapat individu-individu yang cepat belajar, hanya dengan melihat bagaimana oranglain melakukannya, kemudia mencoba melakukannya.

Lain lagi cerita tentang saya sendiri. Ketika sekolah, saya lebih senang mendengarkan penjelasan orang lain dan berdiskusi dengan mereka. Saya tidak terlalu suka membaca buku-buku dengan teks panjang-panjang. Baru satu halaman juga saya sudah tertidur. Hmm mungkin cerita seperti ini juga begitu banyak dialami orang lain. Seperti cerita salah seorang orangtua yang sedang mengeluhkan bagaimana sulitnya anaknya belajar (enggan membuka buku dan mengerjakan soal-soal). Di tengah cerita terlontar ungkapan jujur dari orangtua tersebut bahwa iapun tidak terlalu suka membaca. Seketika saya tersenyum. Ya beginilah kita orangtua, suka lupa masa kecil. Selalu menuntut perilaku A pada anak, padahal kita sendiri pun adalah C.

Terdapat juga cerita, bagaimana seorang individu yang mengalami kesulitan untuk memahami penjelasan secara lisan, tetapi lebih mudah memahami dengan tampilan-tampilan gambar, tabel atau lebih mudah memahami dengan membaca langsung penjelasan tersebut.

Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Menurut para ahli, terdapat 3 macam gaya belajar, yaitu:

1. Gaya Belajar Visual

Orang yang memiliki gaya belajar Visual, belajar dengan menitikberatkan ketajaman penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar mereka paham. Ciri-ciri orang yang memiliki gaya belajar visual adalah kebutuhan yang tinggi untuk melihat dan menangkap informasi secara visual sebelum mereka memahaminya. Konkretnya, yang bersangkutan lebih mudah menangkap pelajaran lewat materi bergambar. Selain itu, mereka memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, disamping mempunyai pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik. Hanya saja biasanya mereka memiliki kendala untuk berdialog secara langsung karena terlalu reaktif terhadap suara, sehingga sulit mengikuti anjuran secara lisan dan sering salah menginterpretasikan kata atau ucapan.

Beberapa karakteristik Visual adalah :
  • Senantiasa melihat memperhatikan gerak bibir seseorang yang berbicara kepadanya
  • Cenderung menggunakan gerakan tubuh saat mengungkapkan sesuatu
  • Kurang menyukai berbicara di depan kelompok, dan kurang menyukai untuk mendengarkan orang lain.
  • Biasanya tidak dapat mengingat informasi yang diberikan secara lisan
  • Lebih menyukai peragaan daripada penjelasan lisan
  • Biasanya orang yang Visual dapat duduk tenang di tengah situasi yang ribut/ramai tanpa merasa terganggu
Biasanya seorang anak dengan gaya belajar visual, mereka perlu untuk melihat bahasa tubuh dan ekspresi wajah guru mereka untuk memahami isi dari pelajaran yang diberikan. Mereka juga cenderung memilih duduk di depan, untuk menghindari gangguan seperti gerakan kepala teman di depannya. Mereka lebih memahami dengan adanya tampilan gambar, ilustrasi di buku teksnya, video, presentasi dengan menggunakan tampilan visual (seperti transparasi OHP). Dalam diskusi kelas biasanya ia lebih memilih untuk mencatat secara detil isi diskusi, agar ia dapat menyerap informasi sebanyak-banyaknya.

2. Gaya Belajar Auditory

Orang yang memiliki gaya belajar Auditory, belajar dengan mengandalkan pendengaran untuk bisa memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik model belajar ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, untuk bisa mengingat dan memahami informasi tertentu, yang bersangkutan haruslah mendengarnya lebih dulu. Mereka yang memiliki gaya belajar ini umumnya susah menyerap secara langsung informasi dalam bentuk tulisan, selain memiliki kesulitan menulis ataupun membaca.
Beberapa ciri seorang Auditory antara lain
    • Mampu mengingat dengan baik materi yang didiskusikan dalam kelompok
    • Mengenal banyak sekali lagu / iklan TV,
    • Suka berbicara.
    • Pada umumnya bukanlah pembaca yang baik.
    • Kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru saja dibacanya.
    • Kurang baik dalam mengerjakan tugas mengarang/menulis.
    • Kurang memperhatikan hal-hal baru dalam lingkungan sekitarnya.
Seorang anak yang memiliki gaya belajar ini biasanya lebih banyak belajar dengan mendengarkan penjelasan lisan dari gurunya, berdiskusi, berbicara tentang suatu topik dan mendengar pendapat orang lain. Informasi tertulis sangat sedikit dipahami, jika tidak dikatakan sulit untuk dipahami. Anak-anak ini biasanya terbantu untuk memahami dengan membaca nyaring (reading aloud) atau dengan mendengarkan rekaman pelajaran dari tape recorder.

3. Gaya belajar kinestetik
Orang yang memiliki gaya belajar kinestetik mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Tentu saja ada beberapa karakteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa melakukannya. Karakter pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar bisa terus mengingatnya. Hanya dengan memegangnya saja, seseorang yang memiliki gaya belajar ini bisa menyerap informasi tanpa harus membaca penjelasannya.

Karakter berikutnya dicontohkan sebagai orang yang tak tahan duduk manis berlama-lama mendengarkan penyampaian informasi. Tak heran kalau individu yang memiliki gaya belajar ini merasa bisa belajar lebih baik kalau prosesnya disertai kegiatan fisik. Kelebihannya, mereka memiliki kemampuan mengkoordinasikan sebuah tim disamping kemampuan mengendalikan gerak tubuh (athletic ability). Tak jarang, orang yang cenderung memiliki karakter ini lebih mudah menyerap dan memahami informasi dengan cara menjiplak gambar atau kata untuk kemudian belajar mengucapkannya atau memahami fakta.

Mereka yang memiliki karakteristik-karakteristik di atas dianjurkan untuk belajar melalui pengalaman dengan menggunakan berbagai model peraga, semisal bekerja di lab atau belajar yang membolehkannya bermain. Cara sederhana yang juga bisa ditempuh adalah secara berkala mengalokasikan waktu untuk sejenak beristirahat di tengah waktu belajarnya.Beberapa karakteristiknya adalah

Orang yang memiliki gaya belajar kinestetik biasanya memiliki karakteristik :
    • Suka menyentuh segala sesuatu yang dijumpainya
    • Sulit untuk berdiam diri
    • Suka mengerjakan segala sesuatu dengan menggunakan tangan
    • Biasanya memiliki koordinasi tubuh yang baik
    • Suka menggunakan objek yang nyata sebagai alat bantu belajar
    • Mempelajari hal-hal yang abstrak merupakan hal yang sangat sulit

Seorang anak dengan gaya belajar kinestetik, biasanya sulit untuk duduk tenang di kelas. Ia lebih senang mengeksplorasi lingkungan sekitarnya.

---

Dengan ketiga gaya belajar ini, jika kita cermati maka gaya belajar visual sepertinya lebih banyak diajarkan pada saat kita kecil dahulu, seperti: menggaris bawahi tulisan-tulisan dengan spidol berwarna, atau membuat rangkuman dari teks yang sudah kita baca. Maka tidaklah mengherankan jika terdapat orangtua atau guru yang "memaksa" anaknya untuk belajar dengan cara tekun membaca, menggaris bawahi dengan spidol warna, mencatat, dan membuat rangkuman dari teks yang sudah anak-anak baca.

Lebih jauh lagi, sangat disayangkan ketika anak-anak dengan gaya belajar auditory dan kinestetik dikatakan malas belajar. Padahal yang terjadi adalah bukan malas belajar, tapi kurang difasilitasi gaya belajarnya. Untuk gaya belajar auditory dan kinestetik, orangtua dan guru memang perlu lebih kreatif, meluangkan waktu untuk membuat berbagai cara untuk memfasilitasi anak-anak tersebut untuk belajar.

Seandainya kita sebagai orangtua ataupun guru bisa lebih peka terhadap gaya belajar apa yang dimiliki oleh anak-anak kita maka Insyaa Allah anak-anak akan lebih semangat dalam belajar. Anak-anak dengan gaya belajar visual kita latih mereka untuk menyimpulkan teks dengan cara membuat mind mapping yang menarik penuh warna, memberikan buku dengan ilustrasi yang menarik atau menggunakan video untuk memperjelas materi pelajaran. Anak-anak dengan gaya belajar auditory kita ajak mereka untuk cerdas cermat, diskusi, bercerita, merekam materi pelajaran dan mendengarkannya. Anak-anak dengan gaya belajar kinestetik kita ajak untuk mempraktekkan materi yang diajarkan, atau menjadikan mereka peer teacher (mengajarkan kembali pada teman-temannya).

Namun pemahaman tentang kecenderungan gaya belajar yang anak miliki bukan berarti kemudian kita menghalang-halangi mereka untuk mencoba berbagai gaya belajar. Terkadang bisa saja terjadi dikemudian hari terkuasainya dua gaya belajar sekaligus, dan itu tidak menjadi masalah bukan? Yang terpenting adalah memahami bahwa setiap individu itu unik, memiliki karakter dan potensi yang berbeda-beda. Memahami karakter setiap anak, dan memfasilitasi sesuai dengan karakter mereka, Insyaa Allah akan melejitkan potensi mereka.


sumber:
http://www.ldpride.net/learningstyles.MI.htm#Learning%20Styles%20Explained
http://www.masbow.com/2009/07/pendapat-para-ahli-psikologi-dalam.html
http://www.youtube.com/watch?v=cX0teReijUk
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Kenalilah%20Tipe%20Gaya%20Belajar%20Kita%20%28Learning%20Style%29&&nomorurut_artikel=213


















Menikah di usia cukup muda....tak ada yang saya siapkan...kecuali koleksi buku-buku tebal bertemakan keluarga sakinah.

Sebagai anak sekolahan, dengan nilai yang tak memalukan, merasa siap lahir batin menghadapi pernikahan.

Uuuh ternyata....dalam pernikahan ...yang ada hanyalah belajar dan belajar. Belajar menghadapi persoalan. Ngga ada itu kepintaran :(

Termasuk belajar...bagaimana menjadi ibu....

Ketika saya masih anak-anak....terbayang menjadi ibu itu mudah. Sederhananya berpikir...begitu banyak yang sudah menjadi ibu...dan tidak ada masalah berarti dengan anak-anaknya.

Saya masih ingat bayangan saya ketika masih jadi anak sekolahan, bagaimana jika saya menjadi ibu:)...melamun ceritanya sih....
Saya membayangkan bahwa kelak kalau saya menjadi ibu maka saya akan duduk manis membaca sambil memandangi anak-anak bermain...santai....kqkqkq
Ketika itu, saya berpikir... tidak mau menjadi ibu seperti ibu saya....yang sibuk dari sejak pagi-pagi sekali, sampai malam hari, memasak, mencuci, menata rumah tak ada habis-habisnya..:((

Namun ternyata kenyataannya...di usia pernikahan sekitar sembilan tahun ini, jika saya evaluasi, saya semakin menyadari memang begitulah ibu yang semestinya...seperti ibu saya...

Jika saya ngotot menjadi ibu dengan gaya saya...selama sembilan tahun pernikahan ini...ya kasihan anak dan suami saya....

Saya masih saja panik di pagi hari, pak pik pek riweuh dan stress menyiapkan anak ke sekolah dan pergi ke kantor. Lupa menyiapkan ini dan itu...sehingga anak dan suami pergi seadanya:(.

Jika saya merenung, membandingkan dengan ibu-ibu lain, ya minimal ibu saya sendiri, rasanya jauuuuh sekali. Seandainya ada nilai raport seorang ibu....nilai saya jauuuuh sekali dengan nilai ibu saya.

Saya coba belajar...melihat sekeliling....ibu-ibu di sekitar saya. Tidak ada ibu yang sempurna, namun pasti ada yang istimewa....saya tuliskan...satu persatu...

Ibu yang baik itu...ibu yang menjaga do'a untuk anak-anaknya
Ibu yang baik itu...ibu yang menjaga Aqidah anak-anaknya
Ibu yang baik itu...ibu yang menjaga sholat anak-anaknya, minimal lima waktu
Ibu yang baik itu...ibu yang menyediakan waktu khusus untuk membaca Al Qur'an dan mengkajinya bersama anak-anaknya.
Ibu yang baik itu...ibu yang menjadikan rumah sebagai "surga dunia", rapi bersih, indah di pandang
Ibu yang baik itu...bu yang memperhatikan nutrisi yang diperlukan anak-anaknya, memasak dengan hati senang dan ikhlas.
Ibu yang baik itu...ibu yang tahu keperluan anak-anaknya, apakah ada yang tidak lengkap? Baju mana yang sobek, dan perlu dijahit? Mana yang kancingnya lepas? Apakah perlengkapan sekolahnya lengkap? dll.
Ibu yang baik itu..ibu yang disiplin dan melatih anaknya untuk disiplin, kapan sholat, kapan mandi, kapan makan, kapan belajar dan kapan bermain
Ibu yang baik itu...ibu yang tutur katanya lembut, dan ramah
Ibu yang baik itu...ibu yang terkendali emosinya
Ibu yang baik itu....

Pastinya masih panjang daftar yang bisa ditulis....
Tak akan bosan tuk belajar dari ibu-ibu yang lain, yang sudah bisa menjadi ibu yang baik.

Lalu saya? Emmmh...masih jauh....hikz
Lantas? Apakah merasa gagal?

Aaaah janganlah....lebih baik berpikir positif...saja ....bukan?

Tak ada ibu yang sempurna, tapi tak mengapa bukan, jika kita terus belajar untuk menjadi lebih baik?

Bertambah umur, bertambah amanah. Bertambah atau menambah-nambah?:)

Berpacu dengan waktu, ingin semua bisa dilakukan. Semua cita-cita. Kebetulan kesempatan ada.

23 tahun hanya menjadi anak, dan diri sendiri. Diri sendiri bercabang dalam beberapa peran. Tapi semua sebagian besar hanya berhubungan dengan diri sendiri, pun ada yang berhubungan dengan orang lain. Orang lain itu sosok dewasa yang berdaya, artinya kalau saya lalai dan berefek pada mereka, mereka punya cara untuk berkelit dari imbas kelalaian saya.

Di usia 23 tahun saya menikah, dan langsung diberi amanah seorang anak. Efeknya belum begitu terasa. Rasanya masih seperti 23 tahun sebelumnya. Jika saya lalai maka yang kena adalah diri sendiri, karena suami adalah orang dewasa yang bisa berkelit dari imbas kelalaian saya. Saya ngga sempat setrika, dia bisa setrika sendiri. Ngga sempet masak, dia bisa beli sendiri. So? Masih selamatlaaah...

9 bulan setelah menikah, lahir anak pertama. Barulah terasa, ada orang lain. Orang lain yang tidak berdaya. Tidak punya daya untuk berkelit dari kelalaian saya. Ya iyalah, karena masih bayi...gimana cara dia lari. Jadi mengalamilah masa-masa seorang ibu ngga boleh cape, kalau ngga mau anaknya terlantar. Tapiiii, karena masih tinggal bersama orangtua, jadinya sangat terbantu. Ngga sempet masak, bisa nebeng di dapur sebelah. Pengen jalan-jalan, bisa nitip anak.

3 tahun berikutnya. Mulailah kehidupan baru. Tinggal terpisah dari orangtua. Hidup terasa lebih hidup:) Karena tanggungjawabnya terasa berbeda. Baru mengerti pekerjaan itu ternyata banyak, dan kalau saya lalai, maka kenalah semua anggota keluarga. Anak sudah mandi, eh baju belum disetrika, sayangnya mereka belum bisa nyetrika sendiri...:))

Merasa hidup begitu pagujud, berantakan, tampillah asisten rumah tangga. Alhamdulillah. Masih ada kemudahan.

Episode baru dimulai ketika anak sekolah. Saya yang biasa hidup untuk diri sendiri, merasa bahwa saat itu bukan anak yang tidak siap sekolah, tapi sayanya yang belum siap punya anak sekolah. Saya yang spontan, kurang perencanaan, selalu pakpikpek di pagi hari. Anak terlambat, atau salah kostum, lupa bawa tugas...fiuh..

Lucunya saya lama sadarnya kalau itu karena saya. Saya yang ngga punya perencanaan, tapi malah berharap banyak kepada anak untuk mampu mengelola dirinya. Hayaaa...ibu yang aneh...meminta anak yang beradaptasi bukannya si ibu yang beradaptasi.

Sementara Akmal adalah anak yang "kiri" banget (istilah saya, bukan istilah ilmiah). Dia ngga bisa untuk keluar aturan. Sedikit melakukan kesalahan, akan membuatnya tidak nyaman. Semua harus sesuai dengan apa yang seharusnya. Jadilah dia sering cemas, karena punya ibu yang serba ngga pasti. Ngga pasti apa sudah benar atau tidak memberikan informasi, karena suka cuek dengan surat-surat dari sekolah. Si ibu yang pandai berkelit dari situasi sulit, memiliki banyak alternatif ketika menghadapi suatu kesalahan, memaksa anak untuk menjadi sosok yang sama....sosok yang bisa toleran dengan kesalahan. Hayaaa...ibu yang aneh. Jadi kepengen si ibu mah, yaa...kalau salah kostum mah cuek ajalah....santai aja...ya kalau ada yang ketinggalan...ngga usah dipikir lah..pakai aja apa yang ada :(


Menjelang anak kedua sekolah, terus terang, saya khawatir lagi-lagi saya belum siap. Bukan anaknya yang belum siap sekolah, tapi sayanya khawatir tidak bisa me-manage dua anak yang sekolah.

Duuh atuh si ibu teh riweuh-riweuh teuing, pirage punya anak dua...hoho...

Ya beginilah...

Saya mau tidak mau harus belajar. Kasihan anak dan suami, kalau saya tidak mau belajar. Belajar untuk mengelola waktu dan energi. Karena jika tidak ada perkembangan, tentu saja, akan banyak korban...yaitu suami dan anak-anak.

Saya banyak belajar dari ibu-ibu lain. Sedikit atau banyak saya tanya mereka bagaimana cara mereka mengurus rumah tangga. Ngga perlu malulah...

Ternyata banyak cara, dan mereka memang ibu-ibu supertelaten....zuper....

Saya paksakan untuk lebih baik, agar hidup lebih efisien.

Tapii tentu saja tidak mudah...gaya hidup 30-an tahun, harus dirubah. Dari orang yang "mengalir" menjadi orang yang punya "perencanaan"

Berhenti sejenak...itu biasanya yang saya lakukan....agar saya bisa punya rencana...apa yang penting mendesak dilakukan, apa yang penting tidak mendesak. Memilah-milah mana yang prioritas.

Berharap di area penting dan tidak mendesak, karena berada di area penting dan mendesaklah yang akan membuat saya pakpikpek in the morning. Hah heh hoh...ngos-ngosan.

Dulu waktu Akmal kecil, ketika saya punya kesempatan untuk beraktualisasi diri, saya sangat bisa lupa sama anak dan suami. Merasa itu adalah hak saya untuk berkembang. Bisa bergadang sampe malam, yang konsekuensinya ngantuk di sianghari, sehingga banyak pekerjaan yang tidak terselesaikan. Ceritanya...mengerjakan malam hari, bukan supaya anak dan suami (yang sudah tidur) tidak terganggu oleh aktivitas saya, tapi lebih karena saya ngga mau diganggu!

Merubah dari diri sentris...menjadi keluarga sentris...perlu waktu lama kalau untuk saya. Sembilan tahun mungkin, saya baru merasa keluarga adalah sama dengan saya, saya adalah keluarga. Sehingga saat ini, setiap kali ada pilihan saya sebisa-bisanya memilih keluarga, dan berusaha ikhlas kehilangan beberapa kesempatan.

Dulu kalau melihat sebuah informasi, ada pelatihan atau suatu aktivitas sabtu minggu tentang hal yang sangat menarik bagi saya, maka saya akan berusaha untuk mengikutinya. Siap atau tidak siap keluarga saya. Saya merasa punya hak untuk berkembang. Bahagia atau tidak. Senang atau tidak mereka. Saya merasa punya hak untuk diri sendri. Sekarang....saya lebih banyak memilih....bukan b erdasarkan mana yang saya inginkan, tapi mana yang tidak mengganggu dinamika keluarga terutama dari segi waktu. Yakin, Allah akan mengganti jalan datangnya ilmu yang saya inginkan dari jalan yang lain.


Seringkali karena asik...bahagia dengan diri...lupa akan prioritas, lupa pada apa yang penting. Saat itulah saya biasanya memutuskan untuk berhenti sejenak. Off.

Sesibuk apapun...saya akan berhenti. Berhenti satu menit...satu jam...atau satu hari. Berhenti untuk berpikir sejenak...memilih mana yang penting dari yang penting. Lagi-lagi keluarga adalah pilihan saat ini.

Melepas hal-hal yang mengganggu keluarga, ternyata bisa membuat saya bahagia. Karena kebahagiaan keluarga adalah kebahagiaan saya. Saya tidak akan bahagia jika keluarga tidak bahagia.

Label:

Pagi yang cerah, bertemu dengan seorang bunda yang cantik. Ia mengajak berbincang-bincang tentang buah hati tercinta yang sekarang baru duduk di bangku kelas 1.

"Saya lagi bingung nih...."
"Kenapa Bun?"

"Iya Kakak kan sekarang pulang jelang sore,karena dia sekolah full day, terus dia TPA. Selain itu, dia ikut kursus matematika seminggu dua kali. Nah kursusnya ini ada PR tiap hari, jadi bingung kapan dia belajar untuks sekolah"

Yap, saya pernah mendengar kursus matematika yang sangat terkenal itu. Konon kursus matematika ini membuat anak senang matematika, dan tumbuh menjadi anak percaya diri. Saya juga membaca testimoni di situsnya seperti itulah kira-kira.

"Oo...sudah level berapa Bun?"

"Kakak sekarang ini setingkat kelas 2, jadi dia sudah mampu mengerjakan soal-soal untuk kelas 2"

Ow, iya...saya pernah dengar kalo kursus ini membuat anak bisa mengerjakan soal-soal yang tingkat pelajarannya lebih tinggi dari sekolah. Anak kelas 1 bisa saja sudah mampu mengerjakan persoalan di kelas 3 atau lebih tinggi dari itu.

"Nah yang aku bingung. ..PRnya nih...."

PR...pernah dengar juga kalo kursus ini memberikan PR setiap hari. Menarik...saya dari dulu ingin tahu tentang kursus yang begitu terkenal ini. Sekarang ada bunda yang mau berbagi.

"Berapa soal PRnya Bun?"

"200 soal..."

"Waaaa...." benar-benar saya tak bisa menahan mata yang terbelalak mendengarnya.

"200 soal Bunda??....serius Bun? 200 soal sehari? Atau seminggu?"

200 soal....membayangkan anak saya ketika kelas 1, saat itu saya perlu pasang strategi jitu agar dia mau mengerjakan soal demi soal yang jumlahnya tentu saja bukan 200 soal.

"Mmm...berapa lama dia mengerjakannya Bunda?"

"Dulu sih, ketika dia masih TK, dia waktunya luang, soal itu selesai dalam 10 menit...sekarang ya lama...karena dia mengeluh capek"

Waw, ...200 soal diselesaikan dalam 10 menit. Berarti dia hanya perlu 3 detik untuk mengerjakan setiap soal. 1...2...3....hebat!!!! ck....ck...ck (bener kan 3 detik ya? Hehe...kalo dah urusan hitung menghitung saya suka minder:P)

Cepat sekaliii....wuzzz

"Gimana ya bu?'

"Mmm saya sih tidak bisa bilang ini jelek atau bagus Bun. Setiap orangtua punya perencanaan pendidikan sendiri untuk anaknya, dan saya yakin setiap orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Plus saya belum pernah secara khusus mempelajari kursus ini"

"Iya sih..."

"Tapi boleh-boleh ajalah kita sharing...siapa tahu bunda bisa punya gambaran hal apa yang pas untuk kakak"

"Sip....!!"

"200 soal dalam sehari, itu berarti tersaji dalam berlembar-lembar kertas ya Bun?"

"Iya sekitar 10 lembar"

"Ngga pake gambar atau ...hiasan apa gitu? " heu...heu pertanyaan lugu.

"Ngga...ya isinya cuma soal, ngga bergambar"

"200 soal dikerjakan 10 menit, pake cara apa tuh? Ada cara cepatnya ya Bun?"

"Iyaaa...."

"Hmmm....cara cepat....Bun...coba bayangkan...di sekolahnya...anak kan belajar konsep. Biasanya ketika dia belajar konsep, maka dia akan diberikan proses berhitung yang cukup panjang. Untuk mengerjakan misalnya 15 tambah 5. Anak akan diminta dulu menghitung benda sebanyak 15 kemudian ditambah 5. Baru deh menjawab 15 tambah 5. Atau ketika belajar penjumlahan bilangan yang terdiri dari dua angka, 54 tambah 72, dia akan belajar dulu tentang nilai tempat. Dia akan belajar jika 54 buah jeruk itu, adalah 5 bungkus jeruk, yang tiap bungkusnya terdiri dari sepuluh jeruk.
Sebuah proses yang panjang untuk menjawab soal, yang di tempat kursusnya hanya perlu 3 detik untuk menyelesaikannya.
Kira-kira apa yang bisa dipikirkan dan dirasakan anak itu?"

"mmm....mungkin saja dia jadi tidak tertarik untuk belajar di sekolah..."

"betul...bisa jadi dia tidak tertarik untuk mempelajari konsep dengan proses panjang dan detil seperti tadi. Untuk apa? Toh dia sudah bisa mengerjakan soal itu dengan cepat. Ini kalau di tempat kursus tidak diajarkan dulu konsep. Saya tidak tahu, sangat mungkin kursus itu mengajarkan konsep dulu baru cara cepat. Kalau misalnya kursus ini mengajarkan. Apa yang akan dirasakan dan dipikirkan oleh anak, saat di kelas ia bertemu dengan pelajaran matematika seperti tadi, sementara dia sudah mampu menyelesaikan soal tersebut dengan cepat. Bahkan sudah mampu menyelesaikan soal yang lebih sulit lagi?"

"mungkin bosan..."

"Yap, ini efek samping yang bisa terjadi. Anak bosan dengan pelajaran di sekolah, terasa lambat. Efek ini bisa terjadi, bisa juga tidak. Diamati saja dulu. Karena ini kan bukan rumus matematika, kondisi A pasti menyebabkan kondisi B. Tergantung proses yang menyertainya, dan proses yang menyertai ini yang berbeda-beda untuk setiap anak"

"Hal lain mungkin yang bisa terjadi adalah...saat anak terbiasa dengan metode cepat. Dia selalu ingin cepat-cepat. Cepat ingin selesai, atau selalu ingin menggunakan metode cepat. Kecuali metode cepat ini dia temukan sendiri, hasil proses panjang mempelajari konsep. Kelak suatu hari nanti, SMP atau SMA (zaman kita), ada saatnya anak harus sabar menurunkan rumus dasar. Mau tidak anak bersusah payah menurunkan rumus-rumus ini, sementara dia sudah terbiasa mengerjakan sesuatu dengan super cepat."

"Iya tuuuuh....saya kok sudah merasakan ya..jadi Kakak, ketika mengerjakan soal bahasa Indonesia misalnya, dia ngga mau baca dengan tenang wacananya, pengen langsung ngerjain soal, itu juga pengennya cepat-cepat. Ingin segera beralih ke soal lain, dan ingin cepat selesai."

"Ya itu..mungkin saja seperti itu...diamati saja Bun...karena ini sekali lagi bukan hal yang pasti...hanya ada beberapa hal yang perlu diamati...lalu silakan bunda pilih yang terbaik menurut bunda

"Hal lain...yang saya tahu, salah satu yang menarik dari kursus ini adalah cepat menguasai satu topik, sehingga katakan topik yang mungkin 'normalnya' bisa dikerjakan di waktu kuliah. Dia sudah bisa mengerjakannya ketika SMP. Saya pribadi pernah terpikir...apakah kecepatan menguasai ini akan signifikan dirasakan manfaatnya saat anak bekerja nanti. Bukankah secepat-cepatnya dia menguasai, dia tetap harus menuntaskan pendidikan formal? Kecuali pendidikan yang dijalani adalah homeschooling. Apa bedanya dia dengan anak-anak yang menguasainya lewat jalur formal. Saya kok berpikir akan sama saja. Sama-sama bisa, maksudnya.
Lebih cerdas? Hmm banyak orang cerdas, yang bisa berkarya tanpa mengikuti kursus seperti ini. Banyak cara menuju cerdas. Lalu apa yang signifikan?"

"Kalau saya sih tadinya memasukkan anak ke sana, lebih karena...pertama anak minta karena temannya ikut. Kedua katanya dengan anak menguasai pelajaran yang lebih tinggi di sekolahnya, anak akan tumbuh menjadi anak percaya diri"

"Ow...iya ya...benar juga...percaya diri..., bisa...tapi sisi lain saya pernah bertemu dengan anak yang sangat sombong dengan kemampuannya menyelesaikan persoalan dengan cepat dibanding teman-temannya. Ia juara dimana-mana. Ia memang mengikuti kursus dari TK. Dia mengejek, merasa paling benar, paling pintar dan menganggap teman-temannya bodoh. Menyedihkan. ..Sementara di dunia kerja, kita sangat tahu betapa orang yang sombong, sok tahu, merasa paling benar, tidak menghargai rekan kerja, adalah orang yang paling tidak menyenangkan, baik ia menjadi bawahan maupun menjadi atasan"

"betul....betul..."

"Lagi-lagi efek samping yang tidak bisa digeneralisir. Karena efek samping seperti ini bisa saja tidak terjadi, dengan pengasuhan yang tepat dari Ayah Bundanya. Efek samping negatif tidak selalu terjadi. Efek samping positif dari kursus ini pun tidak selalu terjadi. Tergantung kejelian Ayah Bunda. Kalau saya masih optimis anak percaya diri bisa dicapai tanpa 200 soal setiap hari. 5 soal pun akan menciptakan anak percaya diri. Jika dengan 5 soal itu kita memberikan 200% apresiasi:). Saya pikir, yang menentukan anak percaya diri, bukanlah dari berapa banyak soal yang dia bisa kerjakan. Tapi berapa banyak apresiasi yang kita berikan. Mengerjakan 200 soal tanpa apresiasi, menjadikannya rutinitas yang dianggap biasa, atau malah dijadikan kewajiban, tidak akan melebihi hasil dari seorang anak yang menuntaskan 5 soalnya dengan penuh apresiasi dari Ayah Bundanya. Persoalan di sini bukan hanya matematika, matematika hanyalah secuil persoalan dari keseluruhan persoalan dalam hidup. Apresiasi adalah kunci dari anak percaya diri."

"Iya yaaa...bener juga..."

"Siip, silakan ditimbang-timbang deh...saya yakin Bunda tahu yang terbaik untuk Kakak:)"

"Aah masih ada satu lagi nih, ngomong-ngomong tentang percaya diri. Sudahkah kita tahu bahwa ketrampilan motorik kasar, adalah salah satu bekal pembangkit kepercayaan diri?"

"O, ya? Seperti apa?"

"Ya bermain sepeda, berlari, memanjat, berenang, semua ketrampilan motorik ini akan membangkitkan rasa percaya diri. Amati saja anak-anak yang pandai "bergerak" seperti apa rasa percaya diri mereka...murah meriah...tapi yakin menghasilkan rasa percaya diri:)"

"Ooo begitu...."

"Iya bun, olahraga juga akan mempersiapkan anak-anak kita menghadapi masa pubertas kelak. Olahraga bisa menjadi sarana mereka melepas ketegangan saat mereka diserang oleh ketidakseimbangan hormon."

Obrolanpun berlanjut pada persiapan anak dan orangtua jelang pubertas. Ahaha, wanita (saya maksudnya)...kalau sudah ngobrol bisa sampai kemana-mana, dari curhat, percaya diri, sampai masalah pubertas:P

Fiuh...matahari semakin meninggi. Walau obrolan seru...akhirnya perlu mengalah pada matahari...kalau tak ingin kulit semakin legam..:). Kami pun saling berpamitan untuk kembali beraktivitas.

Label:

Seringkali kita baru bisa mengerti perasaan orang lain setelah kita mengalami.

Dulu saya selalu bingung, kalau sedang hamil, ditanya "ngidam apa?". Karena tidak mengalami ngidam. Selain itu suka bingung ketika ada yang cerita tentang ngidamnya. Seperti pernah di milist ada yang cerita kalau makan ingin lontong padang, ketika suaminya membeli soto betawi, jadi muntah. Hehe...ketika membaca itu saya pikir, ya ampun dah...

Sekarang di hamil yang ketiga...owh...ternyata saya mengalami. Entah karena ada keinginan untuk diperhatikan, yang pasti saya mengalami "hanya ingin makan itu". Kalau belum ketemu, penasaraaaan, laper berat.

Pernah suatu hari, ngga bisa makan, yang kebayang cuman mie ayam. Lalu saya titip suami, minta dibelikan setelah pulang kantor. Ternyata karena suami kecapean, dia ngga sempet beli dulu, pengen cepet-cepet sampai di rumah, dan makan apa adanya yang di rumah.

Saya yang dah berharap banyak, cuman bisa menelan kekecewaan. Suami juga karena sebelumnya saya tidak pernah ngidam, hanya menggoda saja dengan santai "besok aja ya, ngga akan ngiler kok".

Huaa, tapi bener-bener deh, saya ngga tahu mesti gimana, mesti sabar apa mesti maksa. Yang pasti saya laper beraaat. Demi melihat wajah istrinya yang merana, suami akhirnya mau membelikan, sambil bingung kayaknya, kok ya maksa-maksa banget, tumben, kan biasanya mah istrinya teh sabar (hoho).

Aaah mie ayam datang, dan makanlah dengan selahap-lahapnya. Ajaib deh, itu kenyang, bisa awet sampai pagi. Padahal kemarin-kemarinnya, selalu kelaperan ngga ketulungan.

Kebetulan keesokan harinya adalah waktunya ke dokter. Bu dokter berkomentar ketika melihat bayinya, wah niy bayi kelaperen, gerak-gerak banget. Hehe, ternyata komentar bu dokter yang komentar, membuat suami mengerti kalau istrinya (anaknya) bener-bener kelaperan. Langsung deh, ditraktir makan enak, sesuai permintaan mau dimana:))

Ah tapi saya pan istri yang tahu diri, kasianlah kalau seperti ini terus. Kasian si dedek yang kelaperan karena emaknya susah makan. Kasian suami kalo mesti keluar uang lebih melulu demi menghilangkan rasa laper sang istri.

Ya dengan introspeksi yang dalam, heu...heu....lebay....akhirnya saya memutuskan untuk masak sendiri ajalah makanan yang kira-kira saya suka. Hunting resep, dan semangat untuk lebih mempersiapkan diri memasak. Dapur kurapihkan dulu, biar nyaman masaknya. Bahan-bahan dah siap....masak deh. Enjoy!

Alhamdulillah dah tiga hari ini sukses. Minggu masak pepes ayam, enaaak! Senin masak bakso ayam udang, yummy! Selasa masak pepes tahu dan daging bumbu bali, sedaaap!

Besok....hmm pepes ayam kayaknya....lagi doyan pepes...

Yah gitu deh, ternyata nyaman juga punya solusi begini, karena kalo selalu menggantungkan diri ke suami, ya kasian juga, dah cape kerja disuruh ke sana kemari.

Mudah-mudahan awet aja nih enjoy di dapur:))

Sejak awal pernikahan, relatif tidak ada yang disembunyikan dari kami. Ya tentu tidak seratus persen. Tapi 99% semua sudah diceritakan pada pasangan. 1 % nya? Yah adalah beberapa hal yang ngga penting.

Keterbukaan ini menyentuh beberapa hal berkaitan degan rumah tangga, diantaranya cara kami mengelola uang. Yang belakangan saya ketahui, bahwa ternyata begitu banyak cara pengelolaan keuangan dalam rumah tangga.

Suami sangat terbuka terhadap kondisi keuangan yang kami hadapi. Dari mulai zaman pahit sampai sekarang ketika sudah mulai longgar. Jumlah uang di rekening, sampai nominal terkecilnya, saya tahu persis. Berapa yang masuk, berapa yang keluar. Sistem pengelolaannya juga bersama-sama, saya bisa mengambil sesuai dengan keperluan, tentu saja atas sepengetahuan dan persetujuan suami. Plus suami sangat menghormati, dengan selalu memberitahukan setiap pengeluaran yang akan dilakukan. Padahal sebenarnya tidak perlu kan?

Selain masalah keuangan, keterbukaan juga terjadi dalam arus komunikasi. Semua password baik blog, email, fesbuk, semuanya diketahui suami. Hal yang saya tahu belakangan juga, ternyata ada yang semua password diketahui masing-masing. Ya itu mah hak setiap orang ya, tidak perlu sama. Begitupun dengan isi hp, semua sms saya selalu dibaca suami. Namun jika ada yang privasi dalam arti sms curhat dari teman, saya biasanya hapus lebih dulu. YM, juga saya tutup, jika ada curhat-curhat yang sangat pribadi. Itu untuk menjaga privasi teman-teman saja, dan suami saya yakin sangat paham akan hal itu.Tapi kalau obrolan biasa, atau obrolan pekerjaan, ya saya biarkan saja.

Keterbukaan dalam dua hal ini saja, rasanya saya sudah nyaman sekali, dan menambah rasa cinta pada suami. Mudahan-mudahan bisa tetap seperti ini.

Kemarin seorang sahabat pagi-pagi dah melow, sekarang giliran saya, dan mungkin besok giliran?

Begitulah dalam kehidupan rumah tangga, ngga ada yang mulus, lapang, seperti jalan tol.

Wanita kadang membayangkan, apresiasi yang tinggi atas performa yang diberikan. Membayangkan toleransi yang tinggi atas performa yang menurun.

Laki-laki? Entahlah....karena saya wanita, hanya perasaan wanita yang saya pahami.

Apa yang dibayangkan? Apa yang Terjadi? Seringkali jauh berbeda.

Kecewa itu pasti. Bingung itu pasti. Menangis....yah itu senjata terakhir untuk mengeluarkan kekecewaan dan kebingungan.

Bosan dengan kata ma'af, mungkin itu yang sering dirasakan.

Ma'af dan berulang.

Tapi lebih baik ada ma'af, daripada tidak bukan?

Jika tidak? Artinya tak dipahami sama sekali jika kita kecewa

Berulang? Mungkin demikianlah adanya dinamika yang perlu dijalani.

Hiyaa!!! Gemas sekali saya, sampai begitulah judul catatan ini. Saya gemas sekali dengan diri saya saat ini.

Entahlah apa saya adalah orang dewasa yang mengalami gangguan konsentrasi, atau apa tepatnya. Yang jelas, gangguan konsentrasi itu memang sangat terasa oleh saya sendiri.

Laptop saya jika bisa bicara, dia pasti akan banyak bercerita. Hah, tak usahlah laptop bicara. Cukup dilihat, sudah jelas di depan mata. Betapa banyak layar yang terbuka dengan berbagai topik yang berbeda-beda. Dari mulai urusan dapur, sampai urusan berita terkini.

Terbiasa dengan multitasking atau gangguan konsentrasi? Ah rasanya pilihan kedua yang lebih tepat. Tak betah mengerjakan suatu pekerjaan saja di satu waktu. Rapat sambil fesbukan. Ngasuh anak sambil mikirin kerjaan. Kerja sambil mikirin anak. Baca sambil ngelamun.

Huaaa parah...parah...

Banyak hal yang parah sekali, dan nggak mungkinlah saya buka di sini, cukup suami saja yang tahu betapa parahnya saya...hoho...masa mau bongkar aib sendiri. Yang pasti sudah berkali-kali suami menggelengkan kepala karena seringkali saya mengerjakan sesuatu tidak fokus sehingga melahirkan keteledoran yang fatal.

Tidak hanya menghasilkan keteledoran, tapi juga mempengaruhi banyak hal, termasuk efektifitas menemukan solusi dari permasalahan yang dialami.

Ketika saya melihat peta persaingan usaha online yang semakin ketat. Saya malah memikirkan kompetitor daripada memikirkan apa yang perlu saya lakukan agar survive.

Ketika saya melihat begitu banyak catatan-catatan menarik yang dibuat teman-teman fb. Saya lebih banyak memikirkan catatan-catatan tersebut, terkagum-kagum, lalu menilai bahwa tulisan saya buruk. Sudah berhenti di situ. Bukan fokus pada bagaimana membuat catatan saya lebih baik dan manfaat.

Hari ke hari saya lalui dengan mengalir apa adanya, sambil sibuk memikirkan hal-hal yang sepatutnya tidak perlu mendominasi pikiran saya.

Hidup menjadi tidak efektif, dalam arti semakin jauh dari target-target yang diharapkan.

Hal ini semakin terhayati saat kemarin saya disodori berlembar-lembar indikator mengenai hal-hal yang perlu dilakukan jika ingin bisnis berkembang. Glek....nol....dan nol...angka yang saya tulis. Artinya nol, saya belum melakukan hal tersebut.

Sudah lama tidak berorganisasi, teori manajemen diri berlepasan dari diri saya. Begitu banyak hal mudah dan sederhana sudah tidak saya lakukan lagi. Hiks, teringat zaman kuliah, ketika saya masih melakukannya. Ternyata kemampuan manajemen diri saya belum menjadi karakter yang mengakar. Bisa terhapus begitu saja.

Sebagai orang yang mengalami gangguan konsentrasi, day to day, saya harus punya job list. Kalau tidak saya pasti lupa apa yang perlu saya kerjakan. Semuanya hanya ingin....dan ingin.... Ingin mengerjakan ini....ingin mengerjakan itu....tapi tak ada yang dikerjakan. hiks...hiks

Aaah semoga lebih baiklah diri ini. Bisa lebih fokus pada apa yang mesti dilakukan, bukan fokus pada hal-hal lain di luar itu.

Label:

Liburan....artinya si Ibu harus banyak gaya...mulai pasang gaya di dapur...sampe pasang gaya jadi guru TK alias memfasilitasi anak-anak menyalurkan kreativitas.

Hari ini kami membuat playdough, murah, meriah, menyenangkan!

Bahannya:

2 cup terigu
1 cup air
Garam secukupnya
Minyak secukupnya
Pewarna Makanan (merah, hijau, kuning)

Cara membuat:

Campur terigu dan garam
Tuangkan Air, aduk rata
Tambahkan minyak sedikit-sedikit sampai adonan kalis
Bagi menjadi tiga bagian, lalu diberi pewarna makanan.
Siap untuk dibentuk sesuai dengan kreatifitas anak

Label: ,

Beberapa hari ini, saya sangat penasaran dengan yang namanya "kesulitan belajar". Saya bongkar masalah kesulitan belajar ini dengan berjalan-jalan di dunia maya. Hingga menemukan sebuah slide yang menarik dari youtube. Slide ini tentang tokoh terkenal, yang di masa kecilnya mengalami kesulitan belajar, tetapi di masa dewasa bisa menjadi terkenal bahkan legenda karena kehebatannya.

Ternyata Akmal tertarik dan kemudian menghampiri...

A: "Apa itu bu?"
I: "Ini tentang orang-orang yang terkenal karena kehebatannya, padahal waktu mereka kecil mereka mengalami kesulitan waktu belajar, sampai dikatakan bodoh"
A: " Wah bisa begitu ya?"
I: Iya bisa....karena setiap orang itu memiliki cara belajar sendiri. Nah pada akhirnya orang-orang ini menemukan cara belajarnya
A: " Ooo...."

Akmal kemudian meninggalkan Saya yang masih asyik dengan slide-slide itu. Ia bermain kembali bersama adiknya.

Malam harinya, karena masih penasaran tentang kesulitan belajar ini. Saya kembali menyimak sebuah film tentang anak disleksia. Karena mendengar suara gaduh dari film tersebut, Akmal kembali menghampiri....

A: "Apa itu bu?"
I: "Ini film tentang anak yang mengalami kesulitan untuk belajar"
A: " Ooo....nanti dia kalau udah besar....bisa kan bu?"
I: "Nah ibu ngga tahu tuh, kan belum selesai nontonnya... Mas mau nonton? Yuk!"

Hanif melihat kami asyik menyimak layar, ikut menghampiri....

H: "Lagi apa? Itu apa?"
I: " Ini film anak-anak, Adek mau lihat? Yuk!"

Kami pun menyimak bersama. Tampak adegan yang menggambarkan bagaimana anak yang sulit membaca. Lalu ia di marahi habis-habisan dan kemudian diberi label bodoh oleh gurunya.

Hanif yang paling tidak suka mendengar orang dimarahi, menutup mata rapat-rapat dan menutup telinga dengan tangannya. Lalu ia berkomentar " Kalau gitu mah, gimana bisa pinter?"

Akmal, menimpali "Iya ya....padahal kata ibu kan setiap orang punya cara belajar sendiri.
Pantesan, ibu kalau mau ngajak aku belajar tuh, kayak waktu mau belajar Bahasa Inggris, ibu tanya...'mau belajar pakai cara apa?' Dulu aku ngga ngerti, sekarang aku ngerti..."

Hiks si Ibu terharu dalam hati. Mengucapkan syukur, karena itulah yang saya harapkan. Anak paham bahwa cara belajar itu banyak....banyak sekali....dan kita harus terus mencari cara belajar yang paling nyaman bagi diri kita.

Badan ini terasa lelah, ingin sekali berbaring. Saya tak kuasa menolak ajakan ini. Tak lama kemudian mata mengajak untuk beristirahat juga.

Saya sempatkan untuk mengajak anak-anak tidur, karena tampak sudah lelah.
" Hanif, Mas kalau capai tidur saja, nanti besok kan masih bisa lihat filmnya."

Seperti yang di duga, Hanif mau, Akmal enggan untuk tidur.

Saya pun sedikit terlelap, tapi berkali-kali saya mendengar ajakan Akmal untuk bicara.

"Ibu.....benar bu...akhirnya dia bisa!!!" teriak Akmal kegirangan

Saya hanya kuat untuk menganggu-angguk, sambil tersenyum, dan kemudian tertidur lelap kembali.

Label:

Bahan:

2 bungkus agar-agar
1 kaleng susu kental manis coklat
4 sdm coklat bubuk
100 gr gula pasir
1400 ml air

Cara membuat
Campur susu kental manis, air,dan gula pasir aduk.
Tambahkan agar, coklat bubuk dan garam, aduk hingga coklat larut.
Rebus sambil diaduk hingga mendidih, angkat dan tuang ke dalam cetakan

Vla:
250 ml susu
50 gr gula pasir
3 sdm maizena
1 kuning telur

Cara membuat:
Aduk susu, gula, dan tepung, lalu masak sambil diaduk hingga mendidih. Masukkan kuning telur sambil diaduk hingga masak. Angkat dan dinginkan.
Jika terlalu kental, tambahkan air sesuai selera.

Label:

Seperti biasa, resep yang saya pilih selalu mudah dalam arti cepat membuatnya dan ngga ribet menyiapkan bahan, murah, dan enaaak tentu saja. Sudah diuji di dapur dan dipuji oleh para juri yang terdiri dari suami dan anak-anak....hehe....terlepas apakah benar-benar enak atau cuman menghibur ibunya yang haus pujian kqkqkq.

Resep ini di peroleh dari:
http://budiboga.blogspot.com/2007/07/resep-brownies-panggang-irit-telur.html

Bahan:
120 g tepung terigu
200 g margarin
3 butir telur, kocok hingga mengembang
200 g dark cooking chocolate, potong-potong
150 g gula pasir halus/gula bubuk
60 g potongan kacang almond/kenari
¼ sdt garam halus
Cara Membuat:
1.
Campur tepung terigu dengan gula halus, aduk rata. sisihkan.
2. Panaskan margarine hingga meleleh. Masukkan potongan cokelat, dan garam, aduk hingga cokelat meleleh. Angkat, dinginkan hingga hangat.
3. Di tempat terpisah, kocok telur menggunakan mixer hingga mengembang. Masukkan campuran tepung terigu dan gula halus ke dalam kocokan telur sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan spatula plastik hingga rata.
4. Tuang margarin, cokelat dan gula yang telah dilelehkan ke dalam adonan telur. aduk rata. Tambahkan potongan kacang almond/kenari. Aduk rata. Tuang adonan ke dalam loyang yang sudah dialas dengan kertas roti dan diolesi margarin, ratakan. Taburi atasnya dengan irisan kacang almond.
5. Panggang di dalam oven bertemperatur 170 derajat celcius selama 45 menit atau hingga kue matang. Angkat. Potong-potong. atur di dalam piring saji, hidangkan.
Untuk 12 potong
Tip:
Warna kue brownies yang cokelat susah untuk mengetahui apakah kue sudah matang atau belum. Caranya dengan menusuk kue dengan lidi/kawat. Jika lidi diangkat sudah tidak ada adonan yang menempel/kering berarti kue sudah matang.

Catatan: Ketika pertama kali mencoba, sebenarnya gagal loh, karena terlalu cepat mengangkat. Dalamnya ternyata masih basah...fiuh, dipanggang lagi deh, jadi saja bentuknya tak indah. Tapi yakin deh, kalau di percobaan kedua akan sukses, karena mudah kok tinggal mengikuti apa kata resep 45 menit!

Label:

Masakan praktis, mirip2 bikin bala-bala (bakwan), tinggal aduk-aduk, dah jadi adonannya. Hasilnya jadi banyak. Bisa disimpan di freezer dan kapan2 kalo lagi mepet waktu tinggal goreng

Bahan :
300 gr Daging ayam cincang
100 ml Susu cair
2 btr Telur
3 bawang putih (haluskan)
1 bawang bombay cincang
50 gr Tepung sagu
2 sdt Garam halus
1 sdt merica bubuk
1 sdt Gula pasir
3 lbr keju lembaran potong-potong
1 btr telur kocok
100gr tepung roti
minyak untuk menggoreng

catatan:
lupa link resep aslinya, di resep aslinya nggak pake bawang puting dan bawang bombay, tapi dulu pernah nemuin resep nugget yang pake bawang bombay, jadi deh keterusan kalo bikin nugget selalu dikasih bombay.

resep aslinya pake 150 keju parut, dan 6 keju lembaran, tapi saya ganti jadi 3 lembar keju aja, biar nggak terlalu mahal bahannya hehe...

Cara membuat:

1. Campur daging ayam dengan susu, telur, bawang putih, bawang bombay, tepung sagu, garam, merica, gula pasir aduk rata.

2. Siapkan loyang tahan panas, olesi minyak goreng. Tuang adonan hingga memenuhi 1/2l oyang,tata keju lembaran diatasnya, lalu tutup dengan sisa adonan.

3. Jerang dandang berisi air diatas api, kukus nugget selama 20 menit, angkat dan dinginkan

4. Potong2 nugget berukuran 2x3cm atau sesuai selera,

5. Celupkan nugget pada telur kocok,kemudian gulirkan diatas tepung roti,simpan dalam kulkas selama 2jam

6. Keluarkan nugget dari dalam kulkas dan panaskan minyak dalam jumlah yang banyak

7. Goreng hingga matang & berwarna kekuningan, Angkat, tiriskan,hidangkan dalam keadaanpanas..



Mas Yudi, kami pertama kali mengenalnya saat beliau menjadi marbot mesjid.. Ia begitu akrab dengan anak2 murid ngajinya. Begitu ramah menyapa setiap yang ia jumpai. Senyumnya lebar, tulus, tak ada beban. Padahal berapa pendapatan duniawi seorang marbot mesjid?

Tak lama kemudian ia menikah, dengan seorang istri yang sholehah. Saya semakin terpana, karena ia dan istrinya begitu bahagia dalam kesederhanaannya. Berjualan obat-obat herbal dan mengajar privat mengaji di berbagai tempat. Kebahagiaan selalu terpancar dari wajahnya. Senyumnya selalu mengembang.

Kami selalu teringat padanya setiap kali berniat mencari guru ngaji untuk anak-anak. Ketika kami tanyakan padanya, beliau menjawab, jadwalnya sudah sangat penuh. Ya tentu saja, siapa yang tak ingin menjadikannya guru ngaji bagi anak-anaknya. Ia sosok yang ramah, sopan, memiliki sikap hormat, helpfull dan etos kerja yang tinggi.

Sifat yang dimiliki mas Yudi inilah yang mungkin yang disebut-sebut sebagai karakter, oleh para ahli pendidikan saat ini.

Karakter menjadi santer terdengar karena begitu banyak orang yang mengkhawatirkan karakter generasi saat ini.

Begitu banyak buku dan seminar mengenai hal ini. Begitu banyak pula sekolah yang menawarkan konsep pembentukan karakter bagi siswanya. Hingga akhirnya "Pembentukan Karakter" menjadi nilai tambah dari suatu lembaga pendidikan.

Jika diperhatikan, besarnya investasi pendidikan di lembaga yang menjamin pembentukan karakter murid-muridnya lebih besar daripada investasi pendidikan di lembaga pendidikan lainnya. Orangtua pun mempercayainya sebagai konsekuensi logis karena sekolah tersebut memformat ulang sistem pendidikan yang diterapkan, untuk menjamin pembentukan karakter ini tercapai. Hingga investasi yang harus ditanam di lembaga pendidikan tersebut pun berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Karena membentuk sistem pendidikan tersebut memerlukan tenaga ahli, dan guru yang kompeten untuk melaksanakannya.

Di sekitar tempat tinggal saya untuk memasukkan anak ke sekolah dengan konsep pembentukan karakter yang matang, perlu menyiapkan dana yang cukup besar baik di awal maupun bulanannya. Dimulai dari 8 juta sampai 20 jutaan. Hal ini dipastikan lebih murah daripada sekolah dengan kurikulum individual seperti High Scope:)

Mahal....hiks, begitu kadang terlintas dalam benak saya. Namun ketika pikiran saya melayang memikirkan mahalnya pendidikan bermutu, saya sering teringat pada tokoh-tokoh sederhana yang saya temukan dalam keseharian seperti Mas Yudi, yang saya ceritakan di awal tulisan ini.

Sosok Mas Yudi tidak tercipta dari sekolah yang mahal. Tapi kok ya dia bisa menjadi sosok berkarakter?

Setelah saya pikir-pikir, maka tumbuh harapan saya pada sebuah sistem pendidikan, yaitu pendidikan di rumah. Pendidikan pertama yang diperoleh anak-anak kita.

Apa yang bisa kita lakukan di rumah, untuk berikhtiar membentuk karakter anak-anak kita? Tentu banyak, dan saya hanya mampu menuliskan secuil saja, seingat saya.

1. Berikanlah ASI, eksklusif di 6 bulan pertama, segera setiap kali bayi kita membutuhkannya. Kenapa ASI? Karena ASI dalam logika sederhana saya, lebih cepat tersedia, dibanding susu formula yang perlu dibuat dulu. Jika kita diberi kesempatan untuk memberikannya pada buah hati kita, berikanlah. Kecepatan kita memenuhi kebutuhan bayi, akan memudahkan ia saat beradaptasi sosial kelak. Ia akan mempercayai lingkungannya sebagai sesuatu yang aman sehingga terhindar dari kecemasan bahwa ada yang mengancam dari lingkungannya. Lanjutkan ASI hingga usia yang dianjurkan yaitu 2 tahun.

2. Tidak hanya kebutuhan ASI, pahami dan penuhi segera apa kebutuhan bayi kita. Saat ia ingin digendong, gendonglah dengan segera. Saat ingin dipeluk, peluklah dengan segera dan hangat. Saat ingin diajak bicara, ajak bicaralah walau baru berupa ocehan. Konon menurut Ericson dalam teori perkembangannya, masa ini terjadi hingga 1,5 tahun.

3. Saat anak mulai bisa berjalan sendiri, dan mulai bisa melakukan aktivitasnya sendiri tanpa bantuan, yaitu sekitar usia 2-3 tahun, beri kesempatan seluas-luasnya, karena inilah masa yang penting bagi anak untuk membentuk pribadi yang percaya diri kelak, yakin akan dirinya, tidak menjadi sosok yang selalu ragu-ragu. Llepaskanlah aktivitas yang sifatnya dependent/ ketergantungan, seperti minum susu dengan menggunakan botol/ dot, atau aktivitas lain yang serupa seperti memegangi rambut ibunya saat mau tidur, memegangi tali bantal (yang biasanya ditunjukkan dengan menangis saat ia tak mungkin melakukan aktivitas tersebut)

4. Di usia 4 - 5 tahun, berikan kesempatan bagi anak untuk memilih keputusan-keputusan sederhana yang ia sudah bisa lakukan, seperti baju apa yang ia pakai, makanan apa yang ia makan, plus jadwal sehari-hari.

5. Beri porsi waktu yang cukup untuk bermain. Bermain terutama permainan kelompok adalah senjata utama untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya baik motorik, kognitif, bahasa, sosial dan emosi.

6. Fokuslah pada proses tumbuhnya minat anak untuk belajar, dimlulai dengan menjawab pertanyaan anak, menyediakan buku di sekitar anak, mengajak anak bereksplorasi. Daripada hanya sekedar mengejar "bisa" seperti memberikan flash card, mengajaknya belajar secara formal, tanpa sentuhan permainan.
Begitu banyak anak yang bisa membaca, tapi berapa banyak anak yang senang membaca. Manakah yang ia butuhkan kelak?
Begitu banyak anak yang bisa menulis, tapi berapa banyak anak yang suka menulis. Manakah yang ia butuhkan kelak?

7. Di usia sekolah, di mana inilah masa penting pembentukan rasa mampu menuntaskan tugas. Apresiasilah setiap proses penuntasan tugas yang ia telah lakukan. Hargailah proses belajarnya, sikapi dengan bijak setiap kegagalan yang anak alami. Nilai merah bukanlah kiamat. Itulah moment bagi anak untuk belajar bangkit dari kegagalan.

8. Bangunlah kemampuan anak untuk berkomunikasi. Dimulai dengan memahami perasaan mereka, saat mereka menangis, mengamuk, atau perilaku-perilaku yang mungkin menyulitkan orangtua. Bantulah mereka mengenali perasaan mereka. Kelak mereka akan memahami perasaan kita. Berilah contoh mendengar aktif, sehingga kelak mereka akan mendengar kita

9. Hindari perilaku-perilaku yang menghambat komunikasi, seperti menasihati, menilai, memotong pembicaraan, dan lain sebagainya (lupa ada 12..hehe)

10. Stop labelling pada anak.

Segitu dulu....ya...ntar ditambah sedikit-sedikit, dan silakan di tambahkan.

Seorang anak gelisah saat orangtuanya sedang mengikuti arisan keluarga. Ia terus menerus merengek minta pulang.

"Ayo Ayaaaah...pulang"
"Sebentar nak..."

Begitu berulang-ulang, sang anak merengek meminta pulang, dan sang Ayah membujuknya untuk bertahan.

Kami yang mendengar percakapan itu tentu bertanya, ada apa gerangan? Ternyata sang anak teringat pada Playstation miliknya, dan ingin memainkannya.

Berapa usia anak tersebut? Kurang lebih baru berusia 4 tahun!

Bagi saya di usia 4 tahun, usia pra sekolah, seorang anak merengek meminta pulang dari acara sosialisasi untuk permainan yang sifatnya individual, sungguh mengusik perasaan.

Bermain bagi anak adalah senjata utama untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya secara seimbang dan optimal, baik aspek perkembangan motorik, bahasa, kognitif, sosial dan emosi. Tapi permainan seperti apa?

Beberapa permainan individual, jika itu sangat dominan dilakukan justru akan mengurangi kesempatan motorik, bahasa, sosial dan emosinya berkembang. Contohnya adalah play station tadi.

Apa yang dilakukan oleh anak saat bermain playstation? Apakah ia berlari, memanjat, melompat? Apakah ia berkomunikasi dengan teman sebayanya? Apakah ia belajar untuk berbagi? Belajar menguasai emosi saat teman merebut mainannya? Sayangnya, tidak demikian! Ia hanya duduk dan berpikir, plus sedikit menggunakan otot tangannya.

Anak memang tampak cerdas. Ini yang terkadang menjadi sasaran orangtua. Anak seakan "canggih", melek teknologi dan cerdas. Tapi melihat betapa begitu banyak aspek perkembangan yang kehilangan untuk kesempatan untuk berkembang, bagi saya kecerdasan itu menjadi tidak bermakna.

Hal lain yang patut diwaspadai orangtua adalah masalah ketergantungan. Konon segala hal yang menyenangkan akan mengkondisikan otak untuk memproduksi suatu zat, yang mengakibatkan kecanduan. Kecanduan...ketergantungan
...seperti kitalah yang kecanduan fesbuk:)). Begitu kira-kira yang dirasakan anak yang sudah berkenalan dengan play station. Jika orangtua tidak cukup cerdas memberikan aturan atau batasan waktu bermain, maka anak akan teringat terus pada permainan tersebut, dan meminta untuk bermain dan bermain lagi.

Bagi saya pribadi, satu menit bagi anak adalah sangat berharga. Jika ada pilihan 1 menit itu digunakan untuk permainan yang menstimulasi seluruh aspek perkembangannya, dengan permainan yang hanya menstimulasi aspek kognitif, saya lebih memilih pilihan pertama.

Menjadi prinsip bagi saya memperkenalkan terlebih dahulu permainan yang sifatnya berkelompok, daripada permainan individual. Secerdas apapun permainan individual tersebut. Secanggih apapun permainan individual tersebut. Biarlah anak bermain bebas bersama teman-temannya terlebih dahulu, hingga kelak, jikakalau ia mengenal permainan individual pasif yang menyenangkan, minatnya tidak akan terlalu besar. Karena tubuhnya memintanya untuk lebih bergerak.


Masa kanak-kanak adalah masa singkat. Namun di masa inilah sesungguhnya masa emas untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya secara seimbang dan optimal. Bukan hanya kognitif, tetapi juga motorik, bahasa, sosial dan emosinya. Kapan lagi seseorang ingin balapan lari dengan teman-temannya, dengan penuh kesenangan, keceriaan, bukan karena kompetisi yang membebani? Kapan lagi seseorang tidak malu bermain petak jongkok, petak umpet, dan lain sebagainya. Masa kanak-kanak adalah masa emas untuk mengembangkan motoriknya. Motorik mempengaruhi banyak hal dalam perkembangan jiwa anak. Ia tumbuh menjadi sosok yang percaya diri, dan memudahkannya dalam beradaptasi di lingkungan sosial.

Di usia kanak-kanak inilah anak mulai belajar untuk berkomunikasi, untuk mendengar temannya dengan penuh keceriaan, tanpa manipulasi. Anak belajar jujur dalam bersikap. Karena teman-temannya yang masih kanak-kanak, sama-sama masih memiliki jiwa yang suci. Naluri mereka akan mengetahui siapa teman yang santun, pandai berkomunikasi dan enak diajak berteman. Anak menjadi belajar diterima dalam lingkungan sosial.

Masa emas yang jangan sampai terlewatkan karena buahnya ingin kita petik di masa depan. Sosok dewasa yang matang, bukan hanya usianya, tapi juga jiwanya. Bukan hanya pintar secara akademik, tapi juga pintar secara sosial dan emosii.

Bulan Maret saya mengalami terlambat menstruasi. Karena kalau menurut siklus haid yang biasanya, saya semestinya mendapat menstruasi paling lambat 1 Maret, eh ternyata 1 maret nggak dapet juga. Mulai deh menghitung hari, plus H2C (harap-harap cemas). Iseng-iseng test pack, eh negatif, dan ternyata dihitungan ke 10, menstruasi itu datang berkunjung di tanggal 10 Maret.


Eh setelah H2C saya berlalu, giliran sahabat saya Ier...yang H2C. Menstruasinya nggak dateng-dateng, dan setelah di test pack...wah ternyata Ier hamil. Duh denger kabar itu, saya jadi kepengen banget hamil, hehe.

Bulan April, eh saya terlambat lagi. Berhitung lagi deh, plus tetep H2C. Iseng-iseng test pack, beli yang murmer aja, HCG test lima ribuan. Pulang dari sekolah, langsung deh ke kamar mandi, dan ngetest pake HCG test tadi. Deg....deg....ampe gemeteran. Selalu deh begitu tiap pakai test pack, dan hasilnya kali ini membuat saya takjub: dua garis. Tapi kalau dilihat, garisnya samar.

Malamnya niat ngetest lagi, pake merk sensitif, biar yakin valid. Ada keyakinan kalau nanti pagi, hasil test pasti positif deh. Siang positif apalagi pagi. Eh ternyata saya malah deg-degan, nggak bisa tidur. Asli nggak bisa tidur. Akhirnya saya nyerah, ngetest aja jam 2 pagi, dan ternyata oow....hasilnya negatif. Fiuh....kecewa pasti.

Besoknya, perasaan kok serba nggak enak, ada feeling kuat saya hamil. Beli lagi deh test pack, yang HCG test aja. Coba lagi, hasilnya dua garis lagi tapi samar. Waduh jadi bingung. Malamnya coba lagi, pake HCG test: dua garis lagi tapi samar. Wah tambah kuat niy perasaan kalau saya hamil.

Ngebrowse....chatting....buat tanya-tanya soal testpack. Di internet, dapet info kalo test pack murmer malah lebih sensitif dari yang mahal. Heu....tapi tetep ya susah juga yakin dengan test pack murah. Akhirnya dengan berjanji dalam hati, saya beli test pack sensitif lagi. Berjanji kalau ini test pack terakhir. Kalau negatif, ya udah negatif. Nggak usah feeling-feelingan. Malam itu berusaha dapat urine pagi. Yang susah memang masalah tidur, tapi berusaha banget. Hasilnya: dua garis tapi samar......

Whuaa tidak menjawab kepenasaran, cuman nambah harapan.Secara sebelumnya pake sensitif, asli negatif, sekarang rada-rada positif. Akhirnya saya turuti aja saran sahabat saya, Rena, untuk jaga-jaga aja, kali jadi katanya.

Tapi ternyata susah juga mengendalikan pikiran, terpikir terus, positif apa negatif....dan akhirnya atas motivasi sahabat saya lagi, saya memutuskan untuk ke dokter saja. Bismillah, pasrah sama hasilnya apa. Saya berniat, apapun hasilnya akan segera membuat saya produktif kembali.

Cari-cari dokter, akhirnya dapet dokter para tetangga. Perut terasa dingin dengan gel USG. Dokter berkata "ya sudah kelihatan". Heu, apanya yang kelihatan? Dokter lalu menuju kemejanya. Bertanya HPHT dan data lainnya. "Dok kantungnya dah kelihatan?" Dokter seperti menjawab seperti tidak, hehe, belakangan saya tahu nih dokter sifatnya pendiam:)

Tapi dari resepnya tentu saja meyakinkan saya kalau yang kelihatan dan ditunjukkan pada saya adalah kantung kehamilan. Alhamdulillah. Saatnya saya menunaikan janji untuk segera produktif, dengan kejelasan status ini. Banyak PR, dari mulai rumah, sekolah, dan toko, yang harus segera dikerjakan.

Sepulang dari dokter, anak-anak bertanya, apakah saya hamil atau tidak? Sesaat kemudian Hanif tersipu mendengar dia akan menjadi kakak:))

Hampir setiap bulan rasanya ada saja yang bisa dijadikan berita seru di media massa. Setelah kasus bank century yang sampai sekarang juga masih belum jelas. Sekarang ditambah lagi terungkapnya kasus markus (makelar kasus).

Saya sebenarnya tidak begitu mengikuti berita-berita tersebut. Apalagi diskusi-diskusi yang menyertainya. Cape rasanya mendengarnya, lebih baik saya mendengarkan ustadz di pengajian, narasumber di seminar/ workshop, atau apalah yang lebih produktif buat diri saya. Tapi ternyata saya tetap terpancing untuk membicarakan sedikit hal berkaitan dengan berita tersebut.


Hff, memikirkan sistem negara, sistem peradilan dan segala hal yang berkaitan dengannya terus terang tidak dalam kapasitas saya, yang hanya ibu rumah tangga. Saya hanya ingin mengkhayal, seandainya ada sekelompok tim ahli yang melakukan penelitian, tentang bagaimana pola asuh mereka di masa kecil, sehingga di usia semuda itu, sudah berani berbuat seperti itu. Walau hanya berupa wawancara, yang menggambarkan tentang pola asuh mereka. Mungkin tidak perlu fokus pada satu orang, agar tidak dituntut masalah pencemaran nama baik, yang sedang trend saat ini. Terbayang hasil penelitian tersebut bisa bermanfaat bagi ibu-ibu seperti saya.

Pola Asuh
Banyak pertanyaan melintas dalam pikiran saya tentang bagaimanakah pola asuh mereka? Karena perbuatan mereka di kala dewasa ini adalah cermin bagaimana perkembangan moral mereka ketika usia kanak-kanak. Konon menurut para ahli masa penting pembentukan moral ada di usia anak-anak,saat mereka belajar tentang sebab akibat. Hal ini berkaitan dengan pola asuh yang mereka alami.

Anak yang mengalami pola asuh demokratis, dimana perasaan dan pendapat mereka sering didengar, lebih mampu membangun pengendalian diri yang bersumber dari dalam diri mereka (internal). Hal ini dikarenakan aturan-aturan yang ditetapkan jelas, dan dibangun melalui komunikasi yang melibatkan perasaan dan pendapat mereka. Saat anak harus menjalankan konsekuensi akibat kesalahan yang dilakukan, juga disertai komunikasi, sehingga pola pikir (nalar) anak berkembang dengan sendirinya, dan kendali diri muncul dari dalam dirinya, bukan semata-mata diarahkan oleh pihak-pihak di luar mereka. Hati nurani yang berakar dari pemahaman anak terhadap sebab akibat tersebut, terbentuk kuat dalam diri mereka.

Anak yang mengalami pola asuh permisif, dimana tidak ada aturan yang berlaku dalam hidupnya. Semua keinginan, kehendak dan kesenangan anak dipenuhi. Hanya akan membentuk anak yang gagal membangun kendali diri. Anak tidak paham sebab dan akibat. Pada akhirnya anak gagal membentuk hati nurani, dan tidak memahami standar nilai yang ada di masyarakat.

Anak yang mengalami pola asuh otoriter, hanya menciptakan anak-anak yang takut hukuman. Mereka tidak berlaku salah, hanya untuk menghindari hukuman. Pola pikir seperti ini yang terbangun sampai mereka dewasa. Perilaku terbangun berdasarkan ada hukuman atau tidak. Bukan berdasarkan hati nurani, yang muncul dalam diri.


Pola Asuh seperti apa yang dialami para markus. Demokratis, Otoriter atau Permisif? Seandainya pertanyaan ini terjawab, tentu kita dapat bercermin,dan memperhatikan pola asuh yang kita terapkan pada anak-anak kita maupun pada anak didik kita.

Ikatan Batin
Hal lain yang tidak dapat saya pahami dari para markus. Apakah mereka saat berprilaku tidak teringat pada Ayahibu mereka. Tidakkah terpikir perilaku mereka akan membuat malu keluarga?

Beberapa waktu yang lalu saat salah satu penjahat negeri ini tertangkap, dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. Mungkin senyuman itu untuk menutupi rasa malu yang ada dalam diri mereka. Beberapa hari kemudian, tampak seorang ibu mengunjunginya. Duuuh, saya ketika itu membayangkan bagaimana perasaan ibu tersebut. Melihat anaknya menjadi penjahat negeri. Padahal nama baik sudah ia lekatkan pada anaknya sejak lahir, dididik dalam keluarga yang lekat dengan nilai agama, sampai akhirnya anaknya menjadi politisi partai Islam. Apa yang salah?

Teringat pada keluarga, teringat pada Ayahibu. Minimal tidak mau merusak nama baik kedua orangtua kita, berasal dari ikatan batin yang terbentuk antara Anak dan Orangtua. Terbangun dari kelekatan antara Anak dan Orangtua. Hal ini terbentuk di usia dini. Gagal terbangun di usia ini, sulit di bangun di masa selanjutnya.

Ikatan batin terbentuk saat ibu menyusui anaknya. Saat Ayahibu bermain bersama anaknya. Saat Ayahibu bercanda dengan anaknya. Hal yang mungkin kini sedikit demi sedikit sudah mulai pudar, karena kesibukan Ayahibu mencari nafkah.

Bagaimanakah masa-masa pembentukan ikatan batin para markus dengan orangtuanya? Jika ini terjawab mungkin kita bisa bercermin, seperti apakah interaksi kita sekarang dengan anak-anak kita. Cukupkah interaksi kita dengan mereka? Berkualitaskah? Apakah ikatan batin kita dengan anak terbangun cukup kuat?


Pola Pikir Instant vs Pribadi yang Tangguh

Mengapa para Markus menambah hartanya melalui jalan pintas? Tidak mencari cara lain, seperti membangun bisnis misalnya. Rasa ingin cepat memenuhi keinginannya dengan cara yang cepat menghasilkan, berawal dari pola asuh di masa kecil.

Anak belajar tentang sebab akibat sejak dini. Ada orangtua yang mengajarkan anak untuk berusaha sebelum mencapai keinginannya. Ada orangtua yang langsung memberikan apa yang anak minta tanpa usaha sedikitpun.

Saya mengenal seorang ibu yang tidak memiliki daya. Setiap kali anaknya mengamuk meminta mainan, langsung ia berikan. Mainan adalah keinginan, dan keinginan ini dipenuhi dengan cara cepat, menangis.

Di sisi lain, ada seorang ibu yang menciptakan proses sebelum anak mencapai keinginannya. Saat anak menginginkan mainan, maka ibu mengajak anak menabung, atau mengajak anak membangun perilaku positif, dan mainan ini dijadikan sebagai reward (hadiah).

Sebuah proses perlu dikenalkan pada anak sejak dini. Kerap kali kita, orangtua hanya fokus pada hasil akhir. Ulangan yang kita lihat hanya hasil akhir, bukan proses. Hasil belajar yang kita lihat hanya nilai bukan proses.

Hal ini dapat kita lihat dari fenomena orangtua yang ingin anak-anaknya bernilai lebih baik dari nilai baik yang sudah diperoleh anak, dari les tambahan. Nilai 10 hasil les, tidak masalah. Nilai 8, hasil belajar mandiri, seakan tidak ada artinya.

Saya mengenal seorang ibu yang anaknya memiliki peringkat lima besar. Ibu ini merasa hasil tersebut masih kurang. Kemudian mencari guru privat bagi anaknya. Hasilnya anak memiliki peringkat satu. Sebenarnya manakah yang lebih membanggakan? Peringkat lima besar atas hasil belajar sendiri, atau peringkat satu karena belajar didampingi?

Bagaimana mencapai hasil yang diinginkan, atas hasil kerja keras diri seorang anak, perlu dibangun sejak dini. Agar anak-anak kelak lebih tangguh menghadapi hidup. Tidak bergantung pada orang lain.

Saya juga pernah melihat seorang teman yang kebetulan seorang guru. Teman saya ini merasa gemas karena anak didiknya bernilai 9,8. Kenapa gemas, padahal nilainya baik? Teman saya ini gemas karena anak didiknya tidak mencapai nilai 10. Hanya salah satu soal. Seandainya anak ini lebih teliti, katanya, sayang sekali ia salah satu. Saya termangu, melihat teman saya tersebut. Membayangkan ia fokus pada satu soal yang salah, dan lupa pada 29 soal yang benar. Belum lagi dengan hilangnya apresiasi terhadap proses belajar yang anak ini lakukan sebelum ulangan.

Mengapresiasi hasil kerja, berdasarkan proses yang dilakukan, lebih baik daripada hanya mengapresiasi hasil semata.

Bagaimanakah pola pikir yang dimiliki para markus? Apakah pola pikir instant? Apakah hanya berorientasi pada hasil yang menyenangkan, atau berorientasi pada proses yang dilakukan?

Jika ini terjawab, kembali dapat saya jadikan cermin. Bagaimana kita saat ini, apakah lebih banyak berorientasi pada hasil, atau pada proses?

Seandainya penelitian itu ada, saya kira lebih bermanfaat daripada hanya berdiskusi soal sistem negara. Paling tidak berguna bagi saya yang hanya seorang ibu. Yang ingin melakukan perubahan dari dalam diri dan keluarga.

Begitu banyak seminar membahas perlu dibangunnya karakter generasi bangsa ini. Tapi berhenti pada urgensi. Lantas bagaimanakah caranya? Tak banyak yang bisa menjawabnya. Seandainya penelitian itu ada, jawaban itu mungkin ada.

Label:

"Aku saja yang nyapu,bu"
"Aku saja yang ngepel, mba"
"Aku saja yang nyuci, bu"
"Aku saja yang nyiram bunga"
"Aku mau bersihkan kamar mandi"
"Aku saja!!!"

Begitulah Hanif sekarang, di usianya yang hampir lima tahun. Penuh inisiatif, tidak menunggu komando. Pagi tadi, dia memiliki rencana, ia ingin memakai kembali baju sepakbolanya nanti sore. Ia berpikir jika bajunya dicuci mba, dia baru bisa pakai lagi esok harinya. Karena mba, sudah selesai mencuci, dan baru akan mencuci lagi besok. Sehingga dia segera berinisiatif untuk mencuci bajunya sendiri. Diambilnya baskom kecil dan diisi air. Saya bantu ia mengambil sabun detergent. Acara mencuci baju pun dimulai, hingga selesai, dan dijemur. Siang harinya, cuaca mendung, saya masih "malas" untuk mengambil pakaian yang masih dijemur. Tak diduga, pakaian itu datang sendiri. Hoho, ternyata Hanif, yang imut-imut, sedang bersusah payah membawa pakaian-pakaian yang ia ambil dari jemuran.

Mengingat betapa pentingnya sikap penuh inisiatif pada kualitas hidupnya kelak. Maka saya lebih banyak mengikuti aktivitas pilihannya. Walau menyapu itu artinya masih banyak sampah yang tertinggal. Mengepel sama dengan lantai becek. Mencuci baju sama dengan main air, dan kurang bersih. Menyiram bunga sama dengan mandi lagi. Membersihkan kamar mandi membuatnya lebih lama di kamar mandi. Bagi saya tidak mengapa hasilnya demikian.

Saya sudah bertemu dengan anak-anak yang sangat takut salah, tidak berani menjawab persoalan yang diberikan. Tidak perlu jauh-jauh, di masa kecil, sayalah anak itu, tidak berani mengambil inisiatif karena takut melakukan kesalahan. Karena saya merasakan sekali bagaimana tidak nyamannya masa-masa kurang inisiatif dan takut salah, maka saya ingin berusaha agar sifat-sifat tersebut tidak melekat pada anak saya. Soal berhasil atau tidak, usaha tersebut, yang penting berusaha dululah....

Mengacu pada tahap perkembangan menurut Ericson, usia 4-5 tahun, adalah masa Initiative vs Guilt. Pada masa ini, anak senang berinisiatif menunjukkan kemampuan yang ia miliki. Namun tentu saja, ia masih melakukan kesalahan-kesalahan. Bagaimana sikap kita, orang dewasa terhadap kesalahan-kesalahan tersebut, yang akan menentukan apakah anak tetap berani berinisiatif atau menunda sikap inisiatif tersebut, karena takut melakukan kesalahan.

Teringat cerita seorang ibu, yang tidak bisa membiarkan anaknya mandi sendiri. Khawatir kurang bersih, katanya. Padahal anaknya, Dani yang berusia lima tahun, sudah meminta mandi sendiri. Lalu saya bertanya pada ibu Dani "Kalau air dan sabunnya, apakah sudah sampai ke seluruh badan?" Sang ibupun mengangguk, "ya sampai sih, seluruh badannya sudah kena sabun dan air, bersih sih, hanya saja kan masih licin" Owh, saya kembali bertanya karena penasaran,"Kalaupun Dani, mandinya kurang bersih, misalnya sekali-sekali, apakah Doni akan langsung jatuh sakit, bu? " Sang ibu pun menggelengkan kepala. Kekhawatiran yang berlebihan, keinginan untuk sempurna, atas dasar cinta dan sayang, menghambat anak untuk memiliki inisiaitf.

Cerita tentang Dani ini sebenarnya sedikit banyak mirip dengan pola asuh saya terhadap Akmal. Penuh kekhawatiran, kurang melepas Akmal beraktivitas sesuai pilihannya. Akhirnya, relatif Akmal kurang inisiatif. Namun, semoga tidak ada kata terlambat, saya dan gurunya sedang berusaha menumbuhkan sikap tersebut. Tampak sudah mulai ada bibit-bibitnya, semoga segera tumbuh dan berbuah:)

Sudah mampu, ingin melakukan sendiri, tapi tidak diberi kesempatan, akhirnya anak menjadi anak yang kurang inisiatif. Apakah pribadi yang kurang inisiatif, adalah harapan kita sebagai orangtua? Jawabannya, saya yakin adalah "TIDAK!"

Maka mari kita bantu mewujudkan sikap memiliki inisiatif yang sudah terbangun pada diri anak. Caranya?

Mulailah mengurangi "arahan" yang tidak perlu. Daripada mengatakan "Ayo Mandi!", lebih baik bertanya "Nak kamu rencananya mau mandi kapan?" Bagi anak yang belum paham jam, bisa dengan menggunakan tanda-tanda dari lingkungan, seperti saya mandi kalau abang bubur ayam lewat.

Biarkan anak memilih sendiri pakaian yang akan ia gunakan. Biarkan ia memilih aktivitas sendiri yang biasanya merupakan aktivitas bermain. Belajar teratur secara terstruktur, teratur dan terjadwal belum diperlukan saat ini. Usia pra sekolah, 4-5 tahun, adalah masa emas pembentukan pribadi yang penuh inisiatif, bergerak tanpa menunggu komando. Biarkan mereka memilih. Kebebasan untuk memilih, kelonggaran untuk melakukan kesalahan, akan berguna bagi mereka untuk berani berinisiatif.