Label:

Pagi yang cerah, bertemu dengan seorang bunda yang cantik. Ia mengajak berbincang-bincang tentang buah hati tercinta yang sekarang baru duduk di bangku kelas 1.

"Saya lagi bingung nih...."
"Kenapa Bun?"

"Iya Kakak kan sekarang pulang jelang sore,karena dia sekolah full day, terus dia TPA. Selain itu, dia ikut kursus matematika seminggu dua kali. Nah kursusnya ini ada PR tiap hari, jadi bingung kapan dia belajar untuks sekolah"

Yap, saya pernah mendengar kursus matematika yang sangat terkenal itu. Konon kursus matematika ini membuat anak senang matematika, dan tumbuh menjadi anak percaya diri. Saya juga membaca testimoni di situsnya seperti itulah kira-kira.

"Oo...sudah level berapa Bun?"

"Kakak sekarang ini setingkat kelas 2, jadi dia sudah mampu mengerjakan soal-soal untuk kelas 2"

Ow, iya...saya pernah dengar kalo kursus ini membuat anak bisa mengerjakan soal-soal yang tingkat pelajarannya lebih tinggi dari sekolah. Anak kelas 1 bisa saja sudah mampu mengerjakan persoalan di kelas 3 atau lebih tinggi dari itu.

"Nah yang aku bingung. ..PRnya nih...."

PR...pernah dengar juga kalo kursus ini memberikan PR setiap hari. Menarik...saya dari dulu ingin tahu tentang kursus yang begitu terkenal ini. Sekarang ada bunda yang mau berbagi.

"Berapa soal PRnya Bun?"

"200 soal..."

"Waaaa...." benar-benar saya tak bisa menahan mata yang terbelalak mendengarnya.

"200 soal Bunda??....serius Bun? 200 soal sehari? Atau seminggu?"

200 soal....membayangkan anak saya ketika kelas 1, saat itu saya perlu pasang strategi jitu agar dia mau mengerjakan soal demi soal yang jumlahnya tentu saja bukan 200 soal.

"Mmm...berapa lama dia mengerjakannya Bunda?"

"Dulu sih, ketika dia masih TK, dia waktunya luang, soal itu selesai dalam 10 menit...sekarang ya lama...karena dia mengeluh capek"

Waw, ...200 soal diselesaikan dalam 10 menit. Berarti dia hanya perlu 3 detik untuk mengerjakan setiap soal. 1...2...3....hebat!!!! ck....ck...ck (bener kan 3 detik ya? Hehe...kalo dah urusan hitung menghitung saya suka minder:P)

Cepat sekaliii....wuzzz

"Gimana ya bu?'

"Mmm saya sih tidak bisa bilang ini jelek atau bagus Bun. Setiap orangtua punya perencanaan pendidikan sendiri untuk anaknya, dan saya yakin setiap orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Plus saya belum pernah secara khusus mempelajari kursus ini"

"Iya sih..."

"Tapi boleh-boleh ajalah kita sharing...siapa tahu bunda bisa punya gambaran hal apa yang pas untuk kakak"

"Sip....!!"

"200 soal dalam sehari, itu berarti tersaji dalam berlembar-lembar kertas ya Bun?"

"Iya sekitar 10 lembar"

"Ngga pake gambar atau ...hiasan apa gitu? " heu...heu pertanyaan lugu.

"Ngga...ya isinya cuma soal, ngga bergambar"

"200 soal dikerjakan 10 menit, pake cara apa tuh? Ada cara cepatnya ya Bun?"

"Iyaaa...."

"Hmmm....cara cepat....Bun...coba bayangkan...di sekolahnya...anak kan belajar konsep. Biasanya ketika dia belajar konsep, maka dia akan diberikan proses berhitung yang cukup panjang. Untuk mengerjakan misalnya 15 tambah 5. Anak akan diminta dulu menghitung benda sebanyak 15 kemudian ditambah 5. Baru deh menjawab 15 tambah 5. Atau ketika belajar penjumlahan bilangan yang terdiri dari dua angka, 54 tambah 72, dia akan belajar dulu tentang nilai tempat. Dia akan belajar jika 54 buah jeruk itu, adalah 5 bungkus jeruk, yang tiap bungkusnya terdiri dari sepuluh jeruk.
Sebuah proses yang panjang untuk menjawab soal, yang di tempat kursusnya hanya perlu 3 detik untuk menyelesaikannya.
Kira-kira apa yang bisa dipikirkan dan dirasakan anak itu?"

"mmm....mungkin saja dia jadi tidak tertarik untuk belajar di sekolah..."

"betul...bisa jadi dia tidak tertarik untuk mempelajari konsep dengan proses panjang dan detil seperti tadi. Untuk apa? Toh dia sudah bisa mengerjakan soal itu dengan cepat. Ini kalau di tempat kursus tidak diajarkan dulu konsep. Saya tidak tahu, sangat mungkin kursus itu mengajarkan konsep dulu baru cara cepat. Kalau misalnya kursus ini mengajarkan. Apa yang akan dirasakan dan dipikirkan oleh anak, saat di kelas ia bertemu dengan pelajaran matematika seperti tadi, sementara dia sudah mampu menyelesaikan soal tersebut dengan cepat. Bahkan sudah mampu menyelesaikan soal yang lebih sulit lagi?"

"mungkin bosan..."

"Yap, ini efek samping yang bisa terjadi. Anak bosan dengan pelajaran di sekolah, terasa lambat. Efek ini bisa terjadi, bisa juga tidak. Diamati saja dulu. Karena ini kan bukan rumus matematika, kondisi A pasti menyebabkan kondisi B. Tergantung proses yang menyertainya, dan proses yang menyertai ini yang berbeda-beda untuk setiap anak"

"Hal lain mungkin yang bisa terjadi adalah...saat anak terbiasa dengan metode cepat. Dia selalu ingin cepat-cepat. Cepat ingin selesai, atau selalu ingin menggunakan metode cepat. Kecuali metode cepat ini dia temukan sendiri, hasil proses panjang mempelajari konsep. Kelak suatu hari nanti, SMP atau SMA (zaman kita), ada saatnya anak harus sabar menurunkan rumus dasar. Mau tidak anak bersusah payah menurunkan rumus-rumus ini, sementara dia sudah terbiasa mengerjakan sesuatu dengan super cepat."

"Iya tuuuuh....saya kok sudah merasakan ya..jadi Kakak, ketika mengerjakan soal bahasa Indonesia misalnya, dia ngga mau baca dengan tenang wacananya, pengen langsung ngerjain soal, itu juga pengennya cepat-cepat. Ingin segera beralih ke soal lain, dan ingin cepat selesai."

"Ya itu..mungkin saja seperti itu...diamati saja Bun...karena ini sekali lagi bukan hal yang pasti...hanya ada beberapa hal yang perlu diamati...lalu silakan bunda pilih yang terbaik menurut bunda

"Hal lain...yang saya tahu, salah satu yang menarik dari kursus ini adalah cepat menguasai satu topik, sehingga katakan topik yang mungkin 'normalnya' bisa dikerjakan di waktu kuliah. Dia sudah bisa mengerjakannya ketika SMP. Saya pribadi pernah terpikir...apakah kecepatan menguasai ini akan signifikan dirasakan manfaatnya saat anak bekerja nanti. Bukankah secepat-cepatnya dia menguasai, dia tetap harus menuntaskan pendidikan formal? Kecuali pendidikan yang dijalani adalah homeschooling. Apa bedanya dia dengan anak-anak yang menguasainya lewat jalur formal. Saya kok berpikir akan sama saja. Sama-sama bisa, maksudnya.
Lebih cerdas? Hmm banyak orang cerdas, yang bisa berkarya tanpa mengikuti kursus seperti ini. Banyak cara menuju cerdas. Lalu apa yang signifikan?"

"Kalau saya sih tadinya memasukkan anak ke sana, lebih karena...pertama anak minta karena temannya ikut. Kedua katanya dengan anak menguasai pelajaran yang lebih tinggi di sekolahnya, anak akan tumbuh menjadi anak percaya diri"

"Ow...iya ya...benar juga...percaya diri..., bisa...tapi sisi lain saya pernah bertemu dengan anak yang sangat sombong dengan kemampuannya menyelesaikan persoalan dengan cepat dibanding teman-temannya. Ia juara dimana-mana. Ia memang mengikuti kursus dari TK. Dia mengejek, merasa paling benar, paling pintar dan menganggap teman-temannya bodoh. Menyedihkan. ..Sementara di dunia kerja, kita sangat tahu betapa orang yang sombong, sok tahu, merasa paling benar, tidak menghargai rekan kerja, adalah orang yang paling tidak menyenangkan, baik ia menjadi bawahan maupun menjadi atasan"

"betul....betul..."

"Lagi-lagi efek samping yang tidak bisa digeneralisir. Karena efek samping seperti ini bisa saja tidak terjadi, dengan pengasuhan yang tepat dari Ayah Bundanya. Efek samping negatif tidak selalu terjadi. Efek samping positif dari kursus ini pun tidak selalu terjadi. Tergantung kejelian Ayah Bunda. Kalau saya masih optimis anak percaya diri bisa dicapai tanpa 200 soal setiap hari. 5 soal pun akan menciptakan anak percaya diri. Jika dengan 5 soal itu kita memberikan 200% apresiasi:). Saya pikir, yang menentukan anak percaya diri, bukanlah dari berapa banyak soal yang dia bisa kerjakan. Tapi berapa banyak apresiasi yang kita berikan. Mengerjakan 200 soal tanpa apresiasi, menjadikannya rutinitas yang dianggap biasa, atau malah dijadikan kewajiban, tidak akan melebihi hasil dari seorang anak yang menuntaskan 5 soalnya dengan penuh apresiasi dari Ayah Bundanya. Persoalan di sini bukan hanya matematika, matematika hanyalah secuil persoalan dari keseluruhan persoalan dalam hidup. Apresiasi adalah kunci dari anak percaya diri."

"Iya yaaa...bener juga..."

"Siip, silakan ditimbang-timbang deh...saya yakin Bunda tahu yang terbaik untuk Kakak:)"

"Aah masih ada satu lagi nih, ngomong-ngomong tentang percaya diri. Sudahkah kita tahu bahwa ketrampilan motorik kasar, adalah salah satu bekal pembangkit kepercayaan diri?"

"O, ya? Seperti apa?"

"Ya bermain sepeda, berlari, memanjat, berenang, semua ketrampilan motorik ini akan membangkitkan rasa percaya diri. Amati saja anak-anak yang pandai "bergerak" seperti apa rasa percaya diri mereka...murah meriah...tapi yakin menghasilkan rasa percaya diri:)"

"Ooo begitu...."

"Iya bun, olahraga juga akan mempersiapkan anak-anak kita menghadapi masa pubertas kelak. Olahraga bisa menjadi sarana mereka melepas ketegangan saat mereka diserang oleh ketidakseimbangan hormon."

Obrolanpun berlanjut pada persiapan anak dan orangtua jelang pubertas. Ahaha, wanita (saya maksudnya)...kalau sudah ngobrol bisa sampai kemana-mana, dari curhat, percaya diri, sampai masalah pubertas:P

Fiuh...matahari semakin meninggi. Walau obrolan seru...akhirnya perlu mengalah pada matahari...kalau tak ingin kulit semakin legam..:). Kami pun saling berpamitan untuk kembali beraktivitas.

Label:

Seringkali kita baru bisa mengerti perasaan orang lain setelah kita mengalami.

Dulu saya selalu bingung, kalau sedang hamil, ditanya "ngidam apa?". Karena tidak mengalami ngidam. Selain itu suka bingung ketika ada yang cerita tentang ngidamnya. Seperti pernah di milist ada yang cerita kalau makan ingin lontong padang, ketika suaminya membeli soto betawi, jadi muntah. Hehe...ketika membaca itu saya pikir, ya ampun dah...

Sekarang di hamil yang ketiga...owh...ternyata saya mengalami. Entah karena ada keinginan untuk diperhatikan, yang pasti saya mengalami "hanya ingin makan itu". Kalau belum ketemu, penasaraaaan, laper berat.

Pernah suatu hari, ngga bisa makan, yang kebayang cuman mie ayam. Lalu saya titip suami, minta dibelikan setelah pulang kantor. Ternyata karena suami kecapean, dia ngga sempet beli dulu, pengen cepet-cepet sampai di rumah, dan makan apa adanya yang di rumah.

Saya yang dah berharap banyak, cuman bisa menelan kekecewaan. Suami juga karena sebelumnya saya tidak pernah ngidam, hanya menggoda saja dengan santai "besok aja ya, ngga akan ngiler kok".

Huaa, tapi bener-bener deh, saya ngga tahu mesti gimana, mesti sabar apa mesti maksa. Yang pasti saya laper beraaat. Demi melihat wajah istrinya yang merana, suami akhirnya mau membelikan, sambil bingung kayaknya, kok ya maksa-maksa banget, tumben, kan biasanya mah istrinya teh sabar (hoho).

Aaah mie ayam datang, dan makanlah dengan selahap-lahapnya. Ajaib deh, itu kenyang, bisa awet sampai pagi. Padahal kemarin-kemarinnya, selalu kelaperan ngga ketulungan.

Kebetulan keesokan harinya adalah waktunya ke dokter. Bu dokter berkomentar ketika melihat bayinya, wah niy bayi kelaperen, gerak-gerak banget. Hehe, ternyata komentar bu dokter yang komentar, membuat suami mengerti kalau istrinya (anaknya) bener-bener kelaperan. Langsung deh, ditraktir makan enak, sesuai permintaan mau dimana:))

Ah tapi saya pan istri yang tahu diri, kasianlah kalau seperti ini terus. Kasian si dedek yang kelaperan karena emaknya susah makan. Kasian suami kalo mesti keluar uang lebih melulu demi menghilangkan rasa laper sang istri.

Ya dengan introspeksi yang dalam, heu...heu....lebay....akhirnya saya memutuskan untuk masak sendiri ajalah makanan yang kira-kira saya suka. Hunting resep, dan semangat untuk lebih mempersiapkan diri memasak. Dapur kurapihkan dulu, biar nyaman masaknya. Bahan-bahan dah siap....masak deh. Enjoy!

Alhamdulillah dah tiga hari ini sukses. Minggu masak pepes ayam, enaaak! Senin masak bakso ayam udang, yummy! Selasa masak pepes tahu dan daging bumbu bali, sedaaap!

Besok....hmm pepes ayam kayaknya....lagi doyan pepes...

Yah gitu deh, ternyata nyaman juga punya solusi begini, karena kalo selalu menggantungkan diri ke suami, ya kasian juga, dah cape kerja disuruh ke sana kemari.

Mudah-mudahan awet aja nih enjoy di dapur:))

Sejak awal pernikahan, relatif tidak ada yang disembunyikan dari kami. Ya tentu tidak seratus persen. Tapi 99% semua sudah diceritakan pada pasangan. 1 % nya? Yah adalah beberapa hal yang ngga penting.

Keterbukaan ini menyentuh beberapa hal berkaitan degan rumah tangga, diantaranya cara kami mengelola uang. Yang belakangan saya ketahui, bahwa ternyata begitu banyak cara pengelolaan keuangan dalam rumah tangga.

Suami sangat terbuka terhadap kondisi keuangan yang kami hadapi. Dari mulai zaman pahit sampai sekarang ketika sudah mulai longgar. Jumlah uang di rekening, sampai nominal terkecilnya, saya tahu persis. Berapa yang masuk, berapa yang keluar. Sistem pengelolaannya juga bersama-sama, saya bisa mengambil sesuai dengan keperluan, tentu saja atas sepengetahuan dan persetujuan suami. Plus suami sangat menghormati, dengan selalu memberitahukan setiap pengeluaran yang akan dilakukan. Padahal sebenarnya tidak perlu kan?

Selain masalah keuangan, keterbukaan juga terjadi dalam arus komunikasi. Semua password baik blog, email, fesbuk, semuanya diketahui suami. Hal yang saya tahu belakangan juga, ternyata ada yang semua password diketahui masing-masing. Ya itu mah hak setiap orang ya, tidak perlu sama. Begitupun dengan isi hp, semua sms saya selalu dibaca suami. Namun jika ada yang privasi dalam arti sms curhat dari teman, saya biasanya hapus lebih dulu. YM, juga saya tutup, jika ada curhat-curhat yang sangat pribadi. Itu untuk menjaga privasi teman-teman saja, dan suami saya yakin sangat paham akan hal itu.Tapi kalau obrolan biasa, atau obrolan pekerjaan, ya saya biarkan saja.

Keterbukaan dalam dua hal ini saja, rasanya saya sudah nyaman sekali, dan menambah rasa cinta pada suami. Mudahan-mudahan bisa tetap seperti ini.

Kemarin seorang sahabat pagi-pagi dah melow, sekarang giliran saya, dan mungkin besok giliran?

Begitulah dalam kehidupan rumah tangga, ngga ada yang mulus, lapang, seperti jalan tol.

Wanita kadang membayangkan, apresiasi yang tinggi atas performa yang diberikan. Membayangkan toleransi yang tinggi atas performa yang menurun.

Laki-laki? Entahlah....karena saya wanita, hanya perasaan wanita yang saya pahami.

Apa yang dibayangkan? Apa yang Terjadi? Seringkali jauh berbeda.

Kecewa itu pasti. Bingung itu pasti. Menangis....yah itu senjata terakhir untuk mengeluarkan kekecewaan dan kebingungan.

Bosan dengan kata ma'af, mungkin itu yang sering dirasakan.

Ma'af dan berulang.

Tapi lebih baik ada ma'af, daripada tidak bukan?

Jika tidak? Artinya tak dipahami sama sekali jika kita kecewa

Berulang? Mungkin demikianlah adanya dinamika yang perlu dijalani.