Label:

"Ah males banget dia sih buat belajar, susah sekali, maunya main terus"
"Begitu mungkin ya kalau anak laki-laki, beda sama anak perempuan. Kalau anak perempuan tekun-tekun, mau belajar. Anak laki-laki sih heeeuuuuh susah!"
"Wah kalau kita ngga ngomel-ngomel sih, kayaknya ngga akan belajar-belajar tuh anak-anak"
"Saya sibuk, ngga sempat menemani anak belajar, lagi pula kalau belajar dengan anak saya yang ada berantem melulu, ya sudah saya panggil guru privat saja"

---

Kerap kali kita mendengar keluhan orangtua mengenai motivasi belajar putra putri mereka. Jika kita berdialog lebih lanjut dan menyamakan persepsi tentang apa yang dimaksud belajar, menurut versi orangtua, kurang lebih beginilah hasilnya:

Belajar adalah membuka buku, membaca dengan tekun, membuat rangkuman dari buku, mengerjakan soal-soal latihan.

"Ayo belajar kamu, baca! Baca dong bukunya! Main terus!"
"Belajar apa kamu tadi di sekolah, halaman berapa? Ayo dibaca-baca lagi...diulang lagi di rumah!"
"Kamu sedang belajar apa sekarang di sekolah? Oo...itu...nih ibu sudah siapkan soal-soal untuk latihan, kamu kerjakan ya no 1-10. Nanti kita periksa bersama!"

Ketika anak enggan melakukan semua intruksi itu, bisa jadi orangtua kemudian menyimpulkan anaknya tidak mau belajar, lebih jauh lagi sampai memberikan label "malas" pada anak.

Sesungguhnya apakah belajar itu?

Berikut ini pendapat para ahli psikologi dalam memandang Belajar:
1.Skinner (1958) memberikan definisi belajar “Learning is a process progressive behavior adaptation”. Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa belajar akan mengarah pada keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Disamping itu belajar juga memebutuhkan proses yang berarti belajar membutuhkan waktu untuk mencapai suatu hasil.
2.McGeoch (1956) memberikan definisi belajar “learning is a change in performance as a result of practice. Ini berarti bahwa belajar membawa perubahan dalam performance, yang disebabkan oleh proses latihan.
3.Kimble memberikan definisi belajar “Learning is a relative permanent change in behavioral potentiality occur as a result of reinforced practice. Dalam definisi tersebut terlihat adanya sesuatu hal baru yaitu perubahan yang bersifat permanen, yang disebabkan oleh reinforcement practice.
4.Horgen (1984) memberikan definisi mengenai belajar “learning can be defined as any relatively, permanent change in behavior which occurs as a result of practice or experience” suatu hal yang muncul dalam definisi ini adalah bahwa perilaku sebagai akibat belajar itu disebabkan karena latihan atau pengalaman.

Kesimpulan pertama dari sederet definisi tersebut adalah belajar adalah perubahan perilaku. Artinya yang menjadi sasaran utama dari proses belajar adalah perubahan perilaku, bukan sekedar penambahan pemahaman teori-teori/ materi pelajaran.

Uniknya, dengan beragamnya karakter manusia, cara manusia belajar (dengan definisi sesungguhnya) ternyata berbeda-beda.

Saya mengenal seorang anak yang penuh semangat mengoperasikan berbagai software di komputer. Kemampuannya sudah setara dengan orang-orang dewasa. Hasil karyanya sehubungan dengan software-software tersebut, menimbulkan decak kagum orang sekitarnya. Bagaimana tidak, ia baru saja duduk di bangku sekolah dasar. Ia belajar mengoperasikan software-software tersebut hanya dengan melihat orang lain melakukannya, dan kemudian mengeksplorasi sendiri software tersebut. Belajar dengan melihat dan melakukan.


Cerita sederhana lainnya, saya pernah berdecak kagum karena keponakan saya yang masih imut-imut di bawah usia 2 tahun. Mengetahui tombol untuk menyalakan hp, hanya dengan melihat bagaimana saya mematikannya.

Artinya terdapat individu-individu yang cepat belajar, hanya dengan melihat bagaimana oranglain melakukannya, kemudia mencoba melakukannya.

Lain lagi cerita tentang saya sendiri. Ketika sekolah, saya lebih senang mendengarkan penjelasan orang lain dan berdiskusi dengan mereka. Saya tidak terlalu suka membaca buku-buku dengan teks panjang-panjang. Baru satu halaman juga saya sudah tertidur. Hmm mungkin cerita seperti ini juga begitu banyak dialami orang lain. Seperti cerita salah seorang orangtua yang sedang mengeluhkan bagaimana sulitnya anaknya belajar (enggan membuka buku dan mengerjakan soal-soal). Di tengah cerita terlontar ungkapan jujur dari orangtua tersebut bahwa iapun tidak terlalu suka membaca. Seketika saya tersenyum. Ya beginilah kita orangtua, suka lupa masa kecil. Selalu menuntut perilaku A pada anak, padahal kita sendiri pun adalah C.

Terdapat juga cerita, bagaimana seorang individu yang mengalami kesulitan untuk memahami penjelasan secara lisan, tetapi lebih mudah memahami dengan tampilan-tampilan gambar, tabel atau lebih mudah memahami dengan membaca langsung penjelasan tersebut.

Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Menurut para ahli, terdapat 3 macam gaya belajar, yaitu:

1. Gaya Belajar Visual

Orang yang memiliki gaya belajar Visual, belajar dengan menitikberatkan ketajaman penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar mereka paham. Ciri-ciri orang yang memiliki gaya belajar visual adalah kebutuhan yang tinggi untuk melihat dan menangkap informasi secara visual sebelum mereka memahaminya. Konkretnya, yang bersangkutan lebih mudah menangkap pelajaran lewat materi bergambar. Selain itu, mereka memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, disamping mempunyai pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik. Hanya saja biasanya mereka memiliki kendala untuk berdialog secara langsung karena terlalu reaktif terhadap suara, sehingga sulit mengikuti anjuran secara lisan dan sering salah menginterpretasikan kata atau ucapan.

Beberapa karakteristik Visual adalah :
  • Senantiasa melihat memperhatikan gerak bibir seseorang yang berbicara kepadanya
  • Cenderung menggunakan gerakan tubuh saat mengungkapkan sesuatu
  • Kurang menyukai berbicara di depan kelompok, dan kurang menyukai untuk mendengarkan orang lain.
  • Biasanya tidak dapat mengingat informasi yang diberikan secara lisan
  • Lebih menyukai peragaan daripada penjelasan lisan
  • Biasanya orang yang Visual dapat duduk tenang di tengah situasi yang ribut/ramai tanpa merasa terganggu
Biasanya seorang anak dengan gaya belajar visual, mereka perlu untuk melihat bahasa tubuh dan ekspresi wajah guru mereka untuk memahami isi dari pelajaran yang diberikan. Mereka juga cenderung memilih duduk di depan, untuk menghindari gangguan seperti gerakan kepala teman di depannya. Mereka lebih memahami dengan adanya tampilan gambar, ilustrasi di buku teksnya, video, presentasi dengan menggunakan tampilan visual (seperti transparasi OHP). Dalam diskusi kelas biasanya ia lebih memilih untuk mencatat secara detil isi diskusi, agar ia dapat menyerap informasi sebanyak-banyaknya.

2. Gaya Belajar Auditory

Orang yang memiliki gaya belajar Auditory, belajar dengan mengandalkan pendengaran untuk bisa memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik model belajar ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, untuk bisa mengingat dan memahami informasi tertentu, yang bersangkutan haruslah mendengarnya lebih dulu. Mereka yang memiliki gaya belajar ini umumnya susah menyerap secara langsung informasi dalam bentuk tulisan, selain memiliki kesulitan menulis ataupun membaca.
Beberapa ciri seorang Auditory antara lain
    • Mampu mengingat dengan baik materi yang didiskusikan dalam kelompok
    • Mengenal banyak sekali lagu / iklan TV,
    • Suka berbicara.
    • Pada umumnya bukanlah pembaca yang baik.
    • Kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru saja dibacanya.
    • Kurang baik dalam mengerjakan tugas mengarang/menulis.
    • Kurang memperhatikan hal-hal baru dalam lingkungan sekitarnya.
Seorang anak yang memiliki gaya belajar ini biasanya lebih banyak belajar dengan mendengarkan penjelasan lisan dari gurunya, berdiskusi, berbicara tentang suatu topik dan mendengar pendapat orang lain. Informasi tertulis sangat sedikit dipahami, jika tidak dikatakan sulit untuk dipahami. Anak-anak ini biasanya terbantu untuk memahami dengan membaca nyaring (reading aloud) atau dengan mendengarkan rekaman pelajaran dari tape recorder.

3. Gaya belajar kinestetik
Orang yang memiliki gaya belajar kinestetik mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Tentu saja ada beberapa karakteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa melakukannya. Karakter pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar bisa terus mengingatnya. Hanya dengan memegangnya saja, seseorang yang memiliki gaya belajar ini bisa menyerap informasi tanpa harus membaca penjelasannya.

Karakter berikutnya dicontohkan sebagai orang yang tak tahan duduk manis berlama-lama mendengarkan penyampaian informasi. Tak heran kalau individu yang memiliki gaya belajar ini merasa bisa belajar lebih baik kalau prosesnya disertai kegiatan fisik. Kelebihannya, mereka memiliki kemampuan mengkoordinasikan sebuah tim disamping kemampuan mengendalikan gerak tubuh (athletic ability). Tak jarang, orang yang cenderung memiliki karakter ini lebih mudah menyerap dan memahami informasi dengan cara menjiplak gambar atau kata untuk kemudian belajar mengucapkannya atau memahami fakta.

Mereka yang memiliki karakteristik-karakteristik di atas dianjurkan untuk belajar melalui pengalaman dengan menggunakan berbagai model peraga, semisal bekerja di lab atau belajar yang membolehkannya bermain. Cara sederhana yang juga bisa ditempuh adalah secara berkala mengalokasikan waktu untuk sejenak beristirahat di tengah waktu belajarnya.Beberapa karakteristiknya adalah

Orang yang memiliki gaya belajar kinestetik biasanya memiliki karakteristik :
    • Suka menyentuh segala sesuatu yang dijumpainya
    • Sulit untuk berdiam diri
    • Suka mengerjakan segala sesuatu dengan menggunakan tangan
    • Biasanya memiliki koordinasi tubuh yang baik
    • Suka menggunakan objek yang nyata sebagai alat bantu belajar
    • Mempelajari hal-hal yang abstrak merupakan hal yang sangat sulit

Seorang anak dengan gaya belajar kinestetik, biasanya sulit untuk duduk tenang di kelas. Ia lebih senang mengeksplorasi lingkungan sekitarnya.

---

Dengan ketiga gaya belajar ini, jika kita cermati maka gaya belajar visual sepertinya lebih banyak diajarkan pada saat kita kecil dahulu, seperti: menggaris bawahi tulisan-tulisan dengan spidol berwarna, atau membuat rangkuman dari teks yang sudah kita baca. Maka tidaklah mengherankan jika terdapat orangtua atau guru yang "memaksa" anaknya untuk belajar dengan cara tekun membaca, menggaris bawahi dengan spidol warna, mencatat, dan membuat rangkuman dari teks yang sudah anak-anak baca.

Lebih jauh lagi, sangat disayangkan ketika anak-anak dengan gaya belajar auditory dan kinestetik dikatakan malas belajar. Padahal yang terjadi adalah bukan malas belajar, tapi kurang difasilitasi gaya belajarnya. Untuk gaya belajar auditory dan kinestetik, orangtua dan guru memang perlu lebih kreatif, meluangkan waktu untuk membuat berbagai cara untuk memfasilitasi anak-anak tersebut untuk belajar.

Seandainya kita sebagai orangtua ataupun guru bisa lebih peka terhadap gaya belajar apa yang dimiliki oleh anak-anak kita maka Insyaa Allah anak-anak akan lebih semangat dalam belajar. Anak-anak dengan gaya belajar visual kita latih mereka untuk menyimpulkan teks dengan cara membuat mind mapping yang menarik penuh warna, memberikan buku dengan ilustrasi yang menarik atau menggunakan video untuk memperjelas materi pelajaran. Anak-anak dengan gaya belajar auditory kita ajak mereka untuk cerdas cermat, diskusi, bercerita, merekam materi pelajaran dan mendengarkannya. Anak-anak dengan gaya belajar kinestetik kita ajak untuk mempraktekkan materi yang diajarkan, atau menjadikan mereka peer teacher (mengajarkan kembali pada teman-temannya).

Namun pemahaman tentang kecenderungan gaya belajar yang anak miliki bukan berarti kemudian kita menghalang-halangi mereka untuk mencoba berbagai gaya belajar. Terkadang bisa saja terjadi dikemudian hari terkuasainya dua gaya belajar sekaligus, dan itu tidak menjadi masalah bukan? Yang terpenting adalah memahami bahwa setiap individu itu unik, memiliki karakter dan potensi yang berbeda-beda. Memahami karakter setiap anak, dan memfasilitasi sesuai dengan karakter mereka, Insyaa Allah akan melejitkan potensi mereka.


sumber:
http://www.ldpride.net/learningstyles.MI.htm#Learning%20Styles%20Explained
http://www.masbow.com/2009/07/pendapat-para-ahli-psikologi-dalam.html
http://www.youtube.com/watch?v=cX0teReijUk
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Kenalilah%20Tipe%20Gaya%20Belajar%20Kita%20%28Learning%20Style%29&&nomorurut_artikel=213


















Menikah di usia cukup muda....tak ada yang saya siapkan...kecuali koleksi buku-buku tebal bertemakan keluarga sakinah.

Sebagai anak sekolahan, dengan nilai yang tak memalukan, merasa siap lahir batin menghadapi pernikahan.

Uuuh ternyata....dalam pernikahan ...yang ada hanyalah belajar dan belajar. Belajar menghadapi persoalan. Ngga ada itu kepintaran :(

Termasuk belajar...bagaimana menjadi ibu....

Ketika saya masih anak-anak....terbayang menjadi ibu itu mudah. Sederhananya berpikir...begitu banyak yang sudah menjadi ibu...dan tidak ada masalah berarti dengan anak-anaknya.

Saya masih ingat bayangan saya ketika masih jadi anak sekolahan, bagaimana jika saya menjadi ibu:)...melamun ceritanya sih....
Saya membayangkan bahwa kelak kalau saya menjadi ibu maka saya akan duduk manis membaca sambil memandangi anak-anak bermain...santai....kqkqkq
Ketika itu, saya berpikir... tidak mau menjadi ibu seperti ibu saya....yang sibuk dari sejak pagi-pagi sekali, sampai malam hari, memasak, mencuci, menata rumah tak ada habis-habisnya..:((

Namun ternyata kenyataannya...di usia pernikahan sekitar sembilan tahun ini, jika saya evaluasi, saya semakin menyadari memang begitulah ibu yang semestinya...seperti ibu saya...

Jika saya ngotot menjadi ibu dengan gaya saya...selama sembilan tahun pernikahan ini...ya kasihan anak dan suami saya....

Saya masih saja panik di pagi hari, pak pik pek riweuh dan stress menyiapkan anak ke sekolah dan pergi ke kantor. Lupa menyiapkan ini dan itu...sehingga anak dan suami pergi seadanya:(.

Jika saya merenung, membandingkan dengan ibu-ibu lain, ya minimal ibu saya sendiri, rasanya jauuuuh sekali. Seandainya ada nilai raport seorang ibu....nilai saya jauuuuh sekali dengan nilai ibu saya.

Saya coba belajar...melihat sekeliling....ibu-ibu di sekitar saya. Tidak ada ibu yang sempurna, namun pasti ada yang istimewa....saya tuliskan...satu persatu...

Ibu yang baik itu...ibu yang menjaga do'a untuk anak-anaknya
Ibu yang baik itu...ibu yang menjaga Aqidah anak-anaknya
Ibu yang baik itu...ibu yang menjaga sholat anak-anaknya, minimal lima waktu
Ibu yang baik itu...ibu yang menyediakan waktu khusus untuk membaca Al Qur'an dan mengkajinya bersama anak-anaknya.
Ibu yang baik itu...ibu yang menjadikan rumah sebagai "surga dunia", rapi bersih, indah di pandang
Ibu yang baik itu...bu yang memperhatikan nutrisi yang diperlukan anak-anaknya, memasak dengan hati senang dan ikhlas.
Ibu yang baik itu...ibu yang tahu keperluan anak-anaknya, apakah ada yang tidak lengkap? Baju mana yang sobek, dan perlu dijahit? Mana yang kancingnya lepas? Apakah perlengkapan sekolahnya lengkap? dll.
Ibu yang baik itu..ibu yang disiplin dan melatih anaknya untuk disiplin, kapan sholat, kapan mandi, kapan makan, kapan belajar dan kapan bermain
Ibu yang baik itu...ibu yang tutur katanya lembut, dan ramah
Ibu yang baik itu...ibu yang terkendali emosinya
Ibu yang baik itu....

Pastinya masih panjang daftar yang bisa ditulis....
Tak akan bosan tuk belajar dari ibu-ibu yang lain, yang sudah bisa menjadi ibu yang baik.

Lalu saya? Emmmh...masih jauh....hikz
Lantas? Apakah merasa gagal?

Aaaah janganlah....lebih baik berpikir positif...saja ....bukan?

Tak ada ibu yang sempurna, tapi tak mengapa bukan, jika kita terus belajar untuk menjadi lebih baik?