Label: , ,

Hati anak yang bening, bisa menjadi pelajaran bagi Ayah dan Ibu.

Hanif, adalah anak yang riang, jarang menangis, jarang rewel, kooperatif. Ia senang berteman, dan jarang menyakiti teman. Satu hal saja yang membuat ibu berpikir...bagaimana jika ia sekolah kelak...karena tampak cuek sekali. Beberapa kali diajak mengenal angka dan huruf...tampak tak berminat, tampak sulit memahami, tampak sulit mengingat.

Tampak tak berminat, tampak sulit memahami, tampak sulit mengingat, disimpulkan lagi-lagi dari membandingkan. Membandingkan Hanif dengan...siapa lagi kalau bukan...Akmal.
Read more...

Akmal: "Bu, bukannya pacaran itu ngga boleh?"
Ibu: "Iya"
Akmal: "Kok Doni (temen sekelasnya) dah punya pacar?"
Ibu:"Oh,ya? Sama siapa?"
Akmal: "Sama....Siska"
Ibu: "Ah, paling asal bilang aja..."
Akmal:" Ngga...beneran kok...."
Ibu:"Tahu benerannya dari mana?"
Akmal:"Ada deh....rahasia tahu benernya dari mana....Ibu juga punya rahasia, Aku juga.
Enak bu...Doni...dikasih hadiah sama Siska..."
Read more...

Label:

Seorang pedagang menjual 6 besek telur asin. Setiap besek berisi 10 butir telur. Ibu membeli 2 besek. Sisa telur di pedagang itu adalah ... butir.

Soal di atas, saya ambil dari sebuah buku kumpulan soal, sebagai latihan soal untuk Akmal. Ketika saya mengambil soal tersebut, saya tidak terlalu memperhatikan kalimat detilnya.

Soal itu saya berikan begitu saja pada Akmal, tanpa saya ubah sedikitpun. Akmal terdiam, berusaha mencerna soal itu. Ya, seperti biasa ia masih memerlukan waktu untuk mencerna sebuah soal cerita.

"Besek itu apa, Bu?" tanya Akmal.

Hoo iya yaaa....besek...hari gini ada kosa kata besek, sepertinyanya kurang lazim didengar anak, terutama dia.

"Emm, besek itu, seperti keranjang atau wadah gitu Mas..."

"Ooo"

Akmal masih terdiam... sepertinya belum mengerti maksud soal.

"Digambar aja yuk, Mas. Begini...." Saya coba ilustrasikan soal cerita tersebut menjadi gambar. Lalu kami bersama-sama mengerjakan soal tersebut.

Beberapa kali saya menemukan kejadian seperti di atas. Saat Akmal terpaku pada soal cerita, karena ia tidak paham terhadap soalnya. Bukan sekedar jalan ceritanya, bisa jadi sejak memahami arti kata perkata.

Pernah juga saya menemukan hambatan yang sama, saat mendampingi seorang anak yang sedang mengerjakan soal. Ketika itu ia sedang mengerjakan soal matematika: Tuliskan bilangan di antara 25 sampai 32!
Persoalan matematika ini direspon oleh anak tersebut dengan bertanya "di antara itu apa, Bu?"

Jadi bagaimana dia bisa mengerjakan, kalau kata perkata dari soal tersebut ada yang belum paham.

Kali lain, ketika anak diberi soal: Tuliskan sifat benda padat!, direspon dengan pertanyaan "Sifat itu apa, Bu?"

Mungkin ada anak yang cukup dengan membaca buku, lalu menghafal sifat-sifat suatu benda, ia akan menuliskan jawabannya. Terlepas dari memahami arti kata "sifat". Tapi untuk sebagian anak yang perlu ilustrasi atau deskripsi yang detil dari sebuat bacaan, akan terhenti pada sebuah arti kata.

Ketika seorang anak tidak bisa menjawab, hal yang perlu di cek oleh kita adalah, pemahaman bacaannya. Sudahkah ia memahami arti kata perkata yang ia baca.

Permasalahan pemahaman bacaan inilah yang sekarang kerap kali saya temui saat ini, kebetulan saya menemukannya pada anak-anak sekolah dasar. Belum pernah melakukan riset, berapa banyak yang mengalaminya. Namun terlepas dari sedikit atau banyak masalah ini terjadi, masalah ini tetap menarik bagi saya.

Apa yang kurang dalam pengajaran membaca yang mereka alami? Kenapa mereka kurang memahami makna dari bacaan yang mereka baca? Kenapa lama kelamaan mereka semakin malas membaca? Hal yang kerap kali dikeluhkan oleh para guru.

Apa yang kurang? Padahal anak-anak sekarang lebih cepat belajar membaca. Dari sejak pra sekolah mereka sudah belajar dan bisa membaca.

Anak pra sekolah saat ini dtuntut untuk segera bisa membaca. Tak bisa dipungkiri kemampuan ini menjadi mutlak perlu dikuasai karena sedikit sekolah yang memberi peluang bagi anak yang belum bisa membaca, untuk belajar membaca di kelas 1.

Jika kita berjalan-jalan di toko buku, maka kita akan menemukan berderet-deret buku tentang cara cepat mengajarkan membaca pada anak. Judulnyapun begitu menggoda. Lupa bagaimana detilnya, yang pasti menjanjikan anak bisa membaca dalam waktu singkat.

Menghafal huruf dilewati, langsung pada membaca dua suku kata seperti ba, bi, bu, be, bo. Seakan dianggap menghafal huruf tidaklah perlu dan sayang waktu jika digunakan untuk menghafal huruf. Jika kita buka lagi lembaran buku tersebut, mungkin ada buku yang langsung saja menampilkan sederet suku kata untuk dibaca, tanpa menampilkan hubungan antara suku kata tersebut dengan kata-kata yang lazim ia temui sehari-hari. Yang dikejar oleh sang buku adalah kemampuan anak membaca suku kata.

Sangat disayangkan ketika anak belajar membaca tanpa diperkenalkan pada konteks. Padahal belajar membaca, selain belajar merangkai huruf menjadi kata, juga perlu diiringi dengan pehaman makna huruf, kata dan kalimat. Bahwa b adalah awal dari kata bola. Kata "bola" adalah representasi dari benda bulat yang biasa dipakai bermain dengan cara ditendang dengan menggunakan kaki.

Mengapa menghubungkan huruf dengan kata, menghubungkan kata yang tercetak di kertas dengan benda di sekitar menjadi penting? Karena membaca bukan hanya sekedar membaca kata, tapi juga memaknakan kata.

Belajar membaca perlu diiringi dengan memperkaya lingkungan bahasa pada anak. Banyak mengajaknya berbicara, membacakan buku, memperdengarkan cerita, dan aktivitas-aktivitas lain yang berhubungan dengan kata (bahasa).

Semakin banyak kosa kata yang anak kuasai, semakin mudah ia memaknakan suatu bacaan. Mengajarkan membaca kata perkata, namun menempatkan anak pada lingkungan yang miskin bahasa, hanya akan membuat ia bisa membaca namun kurang memahami makna bacaan. Hal ini akan menjadi hambatan pada anak saat membaca buku pelajarannya, atau membaca persoalan tertulis yang ia terima kelak di sekolah dasar.

Oleh karena itu, saya mencoba berbagi beberapa langkah belajar membaca berikut ini. Langkah-langkah ini terformulasi hanya berdasarkan pengalaman bukan berdasarkan riset atau ilmu yang mencukupi. Namun mudah-mudahan ada manfaatnya.

Pertama, yang perlu dilakukan adalah memperkaya lingkungan dengan bahasa. Mengajak anak untuk berinteraksi, bermain bersama, sambil berbincang-bincang dengan hangat, adalah salah satu upaya yang mudah untuk memperkaya lingkungan dengan bahasa. Membacakannya buku cerita saat anak belum bisa membaca, membuat anak bisa memiliki pengetahuan yang kaya akan kosa kata, tanpa harus menunggunya bisa membaca. Mendengarkan cerita akan membuatnya semakin senang berbahasa. Kosa kata adalah kunci bagi anak untuk memahami isi bacaan.

Kedua, memahami bahwa kata yang tercetak dalam buku adalah kata-kata yang lazim ia dengar. Anak memahami bahwa kata yang sering ia dengar, bisa ditulis atau dicetak dalam sebuah buku. Lebih jauh, anak mengetahui dengan membaca kata-kata dalam buku, anak akan mengetahui lebih banyak tentang suatu hal. Ooo..ternyata kura-kura yang menarik untuk dipelihara itu, kalau ditulis...tulisannya begitu ya? Ooo ternyata kalau membaca buku tentang kura-kura, jadi tahu lebih banyak tentang kura-kura. Membaca menjadi aktivitas yang mengasyikkan. Anak menjadi memiliki minat yang tinggi terhadap aktivitas membaca. Minat bisa dikatakan lebih penting dari sekedar bisa. Betapa banyak orang yang bisa membaca, namun tak berminat membaca. Hasilnya tentu berbeda antara orang yang sekedar bisa membaca dengan orang yang memiliki minat tinggi untuk membaca. Minat dapat ditumbuhkan tanpa perlu menunggu kemampuan membaca terkuasai.

Ketiga, memahami arti huruf hingga memahami makna kata yang ia baca. Apa hubungan huruf dengan kata? Bahwa b adalah awal dari kata bola. Bahwa kata bola terdiri dari beberapa huruf. Bahwa kata bola adalah representasi dari benda bola yang sering ia lihat. Sehingga anak memahami manfaat dari huruf dan kata, aktivitas membaca menjadi bermakna. Bayangkan ketika anak di minta membaca rangakaian suku kata bici (kata yang terdapat di buku belajar membaca, saat anak belajar membaca suku kata dan bi dan ci). Apakah bici itu? Apa maknanya? Adakah anak yang bernama bici, atau benda bici? Belajar membaca dengan merangkai suku kata menjadi kata yang tidak lazim didengar, bisa menjadi aktivitas yang aneh bagi anak yang kritis.

Keempat dan selanjutnya barulah belajar teknik membaca. Merangkai kata menjadi suku kata, merangkai suku kata menjadi kata. Merangkai kata menjadi kalimat.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan anak bukan sekedar membaca dengan cara hafal huruf atau hafal kata, tetapi juga karena mengerti arti bacaan yang sedang ia baca. Pendampingan tentunya tetap diperlukan agar anak dapat memahami bacaannya dengan tepat.

Label: ,

Hanif, gayanya santai, tanpa beban. Cuek, senangnya berteman. Kalau ditelusuri catatan saya tentang dia waktu kecil, tampaklah ia anak yang tidak terlalu suka pada hal-hal yang berbau "belajar", seperti membaca buku sebelum tidur, dan mengerjakan buku aktivitas.

Gayanya itulah, yang membuat saya menundanya untuk sekolah. Sayang, saya pikir, karena di sisi lain ia sangat kreatif, dan menikmati masa-masa bermainnya. Kenapa sayang? Yaaa....saya pikir sayanglah anak sekreatif dia kalau langsung "dijejali" baca tulis hitung. Nanti sajalah kalau sudah mendekati usia sekolah.

Di usianya yang kelima, saya mendaftarkannya ke sekolah, dekat rumah. Pertimbangannya untuk sekolah adalah karena teman bermainnya di rumah sudah sekolah semua. Kasihan kalau tidak sekolah, dia tidak ada temannya.

Ternyata Hanif sangat semangat sekolah. Belum pernah dia bolos, atau malas. Walau saat batuk pilek mendatanginya. Selain semangat sekolah, ternyata ia juga semangat belajar! Hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Setiap kali melihat buku IQRO ataupun buku belajar membaca, ia akan meminta saya untuk mendampinginya belajar. Perkembangan minat belajarnya meningkat signifikan menurut saya. Benar-benar tidak menduga, karena dia anak yang suka loncat-loncat, bergerak ke sana kemari.

Kata Ayahnya, Hanif begini karena ia sudah kenyang main. Mungkin benar juga, ya? Puas main, tinggal belajarnya. Ngga penasaran lagi rasa bermain. Apapun penyebabnya, yang pasti si Ibu merasa bersalah karena sudah underestimate terhadap minat belajarnya. Ke depan, ingin belajar untuk tidak underestimate, kalau Allah berkehendak, seorang anak bisa menjadi seperti ini dan itu,walau tidak bisa diprediksi kapan ia bisa menjadi seperti ini dan itu. Yang pasti seorang ibu harusnya berpikir lebih positif dan optimis terhadap perkembangan anak-anaknya.

Teringat masa SD, saat itu sepulang sekolah, bergegas saya pergi ke rumah guru untuk belajar. Sepertinya sih hampir setiap hari. Di rumah guru tersebut saya merasa lebih mengerti pelajaran yang ada di sekolah. Dulu dedikasi guru demikian tinggi, seingat saya sih itu les gratisan, karena orangtua tidak pernah meminta guru tersebut memberi les pada saya.

Ketika SMP dan SMA, saya pun masih saja memerlukan bantuan les/ bimbel. Ada perasaan tidak percaya diri kalau tidak dibantu les. Plus nilai juga memang naik ketika saya mengambil les. Nge-blank saat di kelas, dan mengerti ketika les, itulah saya.

Apa mau dikata, pengalaman saya di waktu kecil, ternyata berulang pada anak saya. Nge-blank saat di kelas, dan mengerti saat di rumah.

Terus terang ketika Akmal masuk kelas 1, saya tidak mempersiapkan diri untuk mendampingi belajar. Saya pikir "ah baru kelas 1, santai-santailah". Tapi ternyata kurikulum zaman sekarang tidak cocok bagi saya yang ingin bersantai-santai, dan bagi Akmal yang mudah terpecah konsentrasinya.

Merubah Mind Set
Dulu saya pikir dengan bersekolah di sekolah full day school, tugas saya sebagai ibu menjadi lebih ringan. Saya pikir sekolah full day school adalah sekolah yang memiliki target tuntas belajar di sekolah. Artinya anak tuntas belajar, keluar sekolah ia sudah paham pelajaran yang ia dapat di sekolah, dan di rumah ia tinggal eksplorasi hal lainnya.

Namun adalah kenyataan bahwa ternyata Akmal tidak bisa tuntas belajar di sekolah. Akmal memerlukan pendampingan, sama halnya dengan saya ketika kecil. Sebagian materi di sekolah, tidak ia ingat dengan baik. Akmal kurang fokus saat menyelesaikan tugasnya atau menyimak pelajaran. Ia memang tampak kalem, duduk tenang, sehingga gurupun kerap tidak menyadari kalau ia belum paham. Padahal ia adalah anak yang mudah terpecah konsentrasinya, ada hal yang menarik di sekitarnya ia akan menoleh, dan memperhatikan dengan seksama hal tersebut.

Saya menyadari hal ini, saat ia akan menghadapi ulangan pertamanya. Saya bertanya-tanya mengapa sedikit sekali materi pelajaran yang ia ingat dan pahami. Hal ini terus terjadi hingga ia duduk saat ini di kelas tiga. Saya sempat merasa kesal, dan mempertanyakan fungsi sekolah, ketika saya harus mengajarinya dari nol. Seakan-akan ia tidak pernah hadir di kelas.

Namun seiring dengan waktu, saya semakin menyadari bahwa mau sekolah di manapun, sulit untuk mengharap pada sekolah, kecuali saya mau merogoh dompet lebih dalam. Karena sebagian besar pendekatan di sekolah saat pengajaran adalah pendekatan klasikal. Bagi Akmal yang mudah terpecah konsentrasiny, adalah suatu keniscayaan untuk mendapat pendampingan belajar secara individual. Di manakah saya bisa memperoleh sekolah yang mendampingi individual dengan harga terjangkau? Akhirnya saya menyadari adalah tugas saya sebagai ibu untuk mendampingi belajar secara individual. Pilihan saya hanya dua, mendampingi atau mencari guru pendamping, dan tentu saja saya pilih yang pertama.


Menata Waktu
Terus terang bagi saya, seorang ibu yang banyak keinginan, harus secara rutin mendampingi belajar secara individual di rumah, tidaklah mudah. Secara saya adalah ibu yang mudah terpecah konsentrasinya, banyak keingingan, banyak yang ingin dikerjakan dalam satu waktu, tidak fokus. Sebelas dua belas sama anaknya. Apalagi waktu pertama kali bisa bebas ngefesbuk or chatting, bisa berjam-jam menghabiskan waktu untuk fesbuk dan chat, sampai lupa mengajak anak belajar. Fiuh.

Sekarang Akmal sudah kelas tiga, pelajarannya semakin hari semakin banyak. Bukunya semakin penuh dengan teks. Mau tidak mau, saya harus lebih disiplin menyediakan waktu. Layaknya seorang guru les, saya mempelajari kurikulum, dan soal-soal evaluasi dari buku di luar buku pegangann anak. Saya juga browsing beberapa situs games edukatif, supaya ada multi metode bagi anak untuk belajar. Membaca buku-buku tentang otak, sekedar mengingatkan bagi saya cara belajar bagi Akmal yang tepat.

Situs-situs games edukatif seperti www.multiplication.com, buku-buku pendidikan dan psikologi sebenarnya lebih banyak berguna bagi saya. Sekedar untuk menurunkan ketegangan saya, yang sudah membawa karakter pencemas dan mudah mengalami ketegangan.

Menata waktu, untuk fokus mendampingi anak belajar, adalah menjadi keharusan saat ini. Konsekuensinya, saya memang jarang online, atau tidak terlalu bisa melakukan hal lain. Ya...itulah konsekuensi menjadi ibu, dengan amanahnya untuk merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Kalau saya tidak fokus. Terbayanglah seorang yang tidak fokus mendampingi anak-anak yang juga tidak fokus....heu...heu Apalah jadinya?