Bertambah umur, bertambah amanah. Bertambah atau menambah-nambah?:)
Berpacu dengan waktu, ingin semua bisa dilakukan. Semua cita-cita. Kebetulan kesempatan ada.
23 tahun hanya menjadi anak, dan diri sendiri. Diri sendiri bercabang dalam beberapa peran. Tapi semua sebagian besar hanya berhubungan dengan diri sendiri, pun ada yang berhubungan dengan orang lain. Orang lain itu sosok dewasa yang berdaya, artinya kalau saya lalai dan berefek pada mereka, mereka punya cara untuk berkelit dari imbas kelalaian saya.
Di usia 23 tahun saya menikah, dan langsung diberi amanah seorang anak. Efeknya belum begitu terasa. Rasanya masih seperti 23 tahun sebelumnya. Jika saya lalai maka yang kena adalah diri sendiri, karena suami adalah orang dewasa yang bisa berkelit dari imbas kelalaian saya. Saya ngga sempat setrika, dia bisa setrika sendiri. Ngga sempet masak, dia bisa beli sendiri. So? Masih selamatlaaah...
9 bulan setelah menikah, lahir anak pertama. Barulah terasa, ada orang lain. Orang lain yang tidak berdaya. Tidak punya daya untuk berkelit dari kelalaian saya. Ya iyalah, karena masih bayi...gimana cara dia lari. Jadi mengalamilah masa-masa seorang ibu ngga boleh cape, kalau ngga mau anaknya terlantar. Tapiiii, karena masih tinggal bersama orangtua, jadinya sangat terbantu. Ngga sempet masak, bisa nebeng di dapur sebelah. Pengen jalan-jalan, bisa nitip anak.
3 tahun berikutnya. Mulailah kehidupan baru. Tinggal terpisah dari orangtua. Hidup terasa lebih hidup:) Karena tanggungjawabnya terasa berbeda. Baru mengerti pekerjaan itu ternyata banyak, dan kalau saya lalai, maka kenalah semua anggota keluarga. Anak sudah mandi, eh baju belum disetrika, sayangnya mereka belum bisa nyetrika sendiri...:))
Merasa hidup begitu pagujud, berantakan, tampillah asisten rumah tangga. Alhamdulillah. Masih ada kemudahan.
Episode baru dimulai ketika anak sekolah. Saya yang biasa hidup untuk diri sendiri, merasa bahwa saat itu bukan anak yang tidak siap sekolah, tapi sayanya yang belum siap punya anak sekolah. Saya yang spontan, kurang perencanaan, selalu pakpikpek di pagi hari. Anak terlambat, atau salah kostum, lupa bawa tugas...fiuh..
Lucunya saya lama sadarnya kalau itu karena saya. Saya yang ngga punya perencanaan, tapi malah berharap banyak kepada anak untuk mampu mengelola dirinya. Hayaaa...ibu yang aneh...meminta anak yang beradaptasi bukannya si ibu yang beradaptasi.
Sementara Akmal adalah anak yang "kiri" banget (istilah saya, bukan istilah ilmiah). Dia ngga bisa untuk keluar aturan. Sedikit melakukan kesalahan, akan membuatnya tidak nyaman. Semua harus sesuai dengan apa yang seharusnya. Jadilah dia sering cemas, karena punya ibu yang serba ngga pasti. Ngga pasti apa sudah benar atau tidak memberikan informasi, karena suka cuek dengan surat-surat dari sekolah. Si ibu yang pandai berkelit dari situasi sulit, memiliki banyak alternatif ketika menghadapi suatu kesalahan, memaksa anak untuk menjadi sosok yang sama....sosok yang bisa toleran dengan kesalahan. Hayaaa...ibu yang aneh. Jadi kepengen si ibu mah, yaa...kalau salah kostum mah cuek ajalah....santai aja...ya kalau ada yang ketinggalan...ngga usah dipikir lah..pakai aja apa yang ada :(
Menjelang anak kedua sekolah, terus terang, saya khawatir lagi-lagi saya belum siap. Bukan anaknya yang belum siap sekolah, tapi sayanya khawatir tidak bisa me-manage dua anak yang sekolah.
Duuh atuh si ibu teh riweuh-riweuh teuing, pirage punya anak dua...hoho...
Ya beginilah...
Saya mau tidak mau harus belajar. Kasihan anak dan suami, kalau saya tidak mau belajar. Belajar untuk mengelola waktu dan energi. Karena jika tidak ada perkembangan, tentu saja, akan banyak korban...yaitu suami dan anak-anak.
Saya banyak belajar dari ibu-ibu lain. Sedikit atau banyak saya tanya mereka bagaimana cara mereka mengurus rumah tangga. Ngga perlu malulah...
Ternyata banyak cara, dan mereka memang ibu-ibu supertelaten....zuper....
Saya paksakan untuk lebih baik, agar hidup lebih efisien.
Tapii tentu saja tidak mudah...gaya hidup 30-an tahun, harus dirubah. Dari orang yang "mengalir" menjadi orang yang punya "perencanaan"
Berhenti sejenak...itu biasanya yang saya lakukan....agar saya bisa punya rencana...apa yang penting mendesak dilakukan, apa yang penting tidak mendesak. Memilah-milah mana yang prioritas.
Berharap di area penting dan tidak mendesak, karena berada di area penting dan mendesaklah yang akan membuat saya pakpikpek in the morning. Hah heh hoh...ngos-ngosan.
Dulu waktu Akmal kecil, ketika saya punya kesempatan untuk beraktualisasi diri, saya sangat bisa lupa sama anak dan suami. Merasa itu adalah hak saya untuk berkembang. Bisa bergadang sampe malam, yang konsekuensinya ngantuk di sianghari, sehingga banyak pekerjaan yang tidak terselesaikan. Ceritanya...mengerjakan malam hari, bukan supaya anak dan suami (yang sudah tidur) tidak terganggu oleh aktivitas saya, tapi lebih karena saya ngga mau diganggu!
Merubah dari diri sentris...menjadi keluarga sentris...perlu waktu lama kalau untuk saya. Sembilan tahun mungkin, saya baru merasa keluarga adalah sama dengan saya, saya adalah keluarga. Sehingga saat ini, setiap kali ada pilihan saya sebisa-bisanya memilih keluarga, dan berusaha ikhlas kehilangan beberapa kesempatan.
Dulu kalau melihat sebuah informasi, ada pelatihan atau suatu aktivitas sabtu minggu tentang hal yang sangat menarik bagi saya, maka saya akan berusaha untuk mengikutinya. Siap atau tidak siap keluarga saya. Saya merasa punya hak untuk berkembang. Bahagia atau tidak. Senang atau tidak mereka. Saya merasa punya hak untuk diri sendri. Sekarang....saya lebih banyak memilih....bukan b erdasarkan mana yang saya inginkan, tapi mana yang tidak mengganggu dinamika keluarga terutama dari segi waktu. Yakin, Allah akan mengganti jalan datangnya ilmu yang saya inginkan dari jalan yang lain.
Seringkali karena asik...bahagia dengan diri...lupa akan prioritas, lupa pada apa yang penting. Saat itulah saya biasanya memutuskan untuk berhenti sejenak. Off.
Sesibuk apapun...saya akan berhenti. Berhenti satu menit...satu jam...atau satu hari. Berhenti untuk berpikir sejenak...memilih mana yang penting dari yang penting. Lagi-lagi keluarga adalah pilihan saat ini.
Melepas hal-hal yang mengganggu keluarga, ternyata bisa membuat saya bahagia. Karena kebahagiaan keluarga adalah kebahagiaan saya. Saya tidak akan bahagia jika keluarga tidak bahagia.
Berpacu dengan waktu, ingin semua bisa dilakukan. Semua cita-cita. Kebetulan kesempatan ada.
23 tahun hanya menjadi anak, dan diri sendiri. Diri sendiri bercabang dalam beberapa peran. Tapi semua sebagian besar hanya berhubungan dengan diri sendiri, pun ada yang berhubungan dengan orang lain. Orang lain itu sosok dewasa yang berdaya, artinya kalau saya lalai dan berefek pada mereka, mereka punya cara untuk berkelit dari imbas kelalaian saya.
Di usia 23 tahun saya menikah, dan langsung diberi amanah seorang anak. Efeknya belum begitu terasa. Rasanya masih seperti 23 tahun sebelumnya. Jika saya lalai maka yang kena adalah diri sendiri, karena suami adalah orang dewasa yang bisa berkelit dari imbas kelalaian saya. Saya ngga sempat setrika, dia bisa setrika sendiri. Ngga sempet masak, dia bisa beli sendiri. So? Masih selamatlaaah...
9 bulan setelah menikah, lahir anak pertama. Barulah terasa, ada orang lain. Orang lain yang tidak berdaya. Tidak punya daya untuk berkelit dari kelalaian saya. Ya iyalah, karena masih bayi...gimana cara dia lari. Jadi mengalamilah masa-masa seorang ibu ngga boleh cape, kalau ngga mau anaknya terlantar. Tapiiii, karena masih tinggal bersama orangtua, jadinya sangat terbantu. Ngga sempet masak, bisa nebeng di dapur sebelah. Pengen jalan-jalan, bisa nitip anak.
3 tahun berikutnya. Mulailah kehidupan baru. Tinggal terpisah dari orangtua. Hidup terasa lebih hidup:) Karena tanggungjawabnya terasa berbeda. Baru mengerti pekerjaan itu ternyata banyak, dan kalau saya lalai, maka kenalah semua anggota keluarga. Anak sudah mandi, eh baju belum disetrika, sayangnya mereka belum bisa nyetrika sendiri...:))
Merasa hidup begitu pagujud, berantakan, tampillah asisten rumah tangga. Alhamdulillah. Masih ada kemudahan.
Episode baru dimulai ketika anak sekolah. Saya yang biasa hidup untuk diri sendiri, merasa bahwa saat itu bukan anak yang tidak siap sekolah, tapi sayanya yang belum siap punya anak sekolah. Saya yang spontan, kurang perencanaan, selalu pakpikpek di pagi hari. Anak terlambat, atau salah kostum, lupa bawa tugas...fiuh..
Lucunya saya lama sadarnya kalau itu karena saya. Saya yang ngga punya perencanaan, tapi malah berharap banyak kepada anak untuk mampu mengelola dirinya. Hayaaa...ibu yang aneh...meminta anak yang beradaptasi bukannya si ibu yang beradaptasi.
Sementara Akmal adalah anak yang "kiri" banget (istilah saya, bukan istilah ilmiah). Dia ngga bisa untuk keluar aturan. Sedikit melakukan kesalahan, akan membuatnya tidak nyaman. Semua harus sesuai dengan apa yang seharusnya. Jadilah dia sering cemas, karena punya ibu yang serba ngga pasti. Ngga pasti apa sudah benar atau tidak memberikan informasi, karena suka cuek dengan surat-surat dari sekolah. Si ibu yang pandai berkelit dari situasi sulit, memiliki banyak alternatif ketika menghadapi suatu kesalahan, memaksa anak untuk menjadi sosok yang sama....sosok yang bisa toleran dengan kesalahan. Hayaaa...ibu yang aneh. Jadi kepengen si ibu mah, yaa...kalau salah kostum mah cuek ajalah....santai aja...ya kalau ada yang ketinggalan...ngga usah dipikir lah..pakai aja apa yang ada :(
Menjelang anak kedua sekolah, terus terang, saya khawatir lagi-lagi saya belum siap. Bukan anaknya yang belum siap sekolah, tapi sayanya khawatir tidak bisa me-manage dua anak yang sekolah.
Duuh atuh si ibu teh riweuh-riweuh teuing, pirage punya anak dua...hoho...
Ya beginilah...
Saya mau tidak mau harus belajar. Kasihan anak dan suami, kalau saya tidak mau belajar. Belajar untuk mengelola waktu dan energi. Karena jika tidak ada perkembangan, tentu saja, akan banyak korban...yaitu suami dan anak-anak.
Saya banyak belajar dari ibu-ibu lain. Sedikit atau banyak saya tanya mereka bagaimana cara mereka mengurus rumah tangga. Ngga perlu malulah...
Ternyata banyak cara, dan mereka memang ibu-ibu supertelaten....zuper....
Saya paksakan untuk lebih baik, agar hidup lebih efisien.
Tapii tentu saja tidak mudah...gaya hidup 30-an tahun, harus dirubah. Dari orang yang "mengalir" menjadi orang yang punya "perencanaan"
Berhenti sejenak...itu biasanya yang saya lakukan....agar saya bisa punya rencana...apa yang penting mendesak dilakukan, apa yang penting tidak mendesak. Memilah-milah mana yang prioritas.
Berharap di area penting dan tidak mendesak, karena berada di area penting dan mendesaklah yang akan membuat saya pakpikpek in the morning. Hah heh hoh...ngos-ngosan.
Dulu waktu Akmal kecil, ketika saya punya kesempatan untuk beraktualisasi diri, saya sangat bisa lupa sama anak dan suami. Merasa itu adalah hak saya untuk berkembang. Bisa bergadang sampe malam, yang konsekuensinya ngantuk di sianghari, sehingga banyak pekerjaan yang tidak terselesaikan. Ceritanya...mengerjakan malam hari, bukan supaya anak dan suami (yang sudah tidur) tidak terganggu oleh aktivitas saya, tapi lebih karena saya ngga mau diganggu!
Merubah dari diri sentris...menjadi keluarga sentris...perlu waktu lama kalau untuk saya. Sembilan tahun mungkin, saya baru merasa keluarga adalah sama dengan saya, saya adalah keluarga. Sehingga saat ini, setiap kali ada pilihan saya sebisa-bisanya memilih keluarga, dan berusaha ikhlas kehilangan beberapa kesempatan.
Dulu kalau melihat sebuah informasi, ada pelatihan atau suatu aktivitas sabtu minggu tentang hal yang sangat menarik bagi saya, maka saya akan berusaha untuk mengikutinya. Siap atau tidak siap keluarga saya. Saya merasa punya hak untuk berkembang. Bahagia atau tidak. Senang atau tidak mereka. Saya merasa punya hak untuk diri sendri. Sekarang....saya lebih banyak memilih....bukan b erdasarkan mana yang saya inginkan, tapi mana yang tidak mengganggu dinamika keluarga terutama dari segi waktu. Yakin, Allah akan mengganti jalan datangnya ilmu yang saya inginkan dari jalan yang lain.
Seringkali karena asik...bahagia dengan diri...lupa akan prioritas, lupa pada apa yang penting. Saat itulah saya biasanya memutuskan untuk berhenti sejenak. Off.
Sesibuk apapun...saya akan berhenti. Berhenti satu menit...satu jam...atau satu hari. Berhenti untuk berpikir sejenak...memilih mana yang penting dari yang penting. Lagi-lagi keluarga adalah pilihan saat ini.
Melepas hal-hal yang mengganggu keluarga, ternyata bisa membuat saya bahagia. Karena kebahagiaan keluarga adalah kebahagiaan saya. Saya tidak akan bahagia jika keluarga tidak bahagia.