Label:

Meningkatnya tingkat pendidikan orangtua dan meningkatnya persaingan di dunia kerja (yang dirasakan orangtua), sedikit banyak berpengaruh pada bagaimana mereka mendidik anak-anak. Tak heran kini sering sekali terdengar, bagaimana antusiasme orangtua dalam mendidik anak-anak. Metode mengajarkan membaca, menghitung, bahasa asing pada anak pra sekolah (bahkan untuk bayi) begitu diminati oleh para orangtua. Kursus bahasa asing, kursus berhitung cepat, kursus yang berkaitan dengan bakat, laris bak kacang goreng.

Hal ini juga pernah saya alami, walau tak sedahsyat yang dialami orang lain (mungkin).
Ketika mengasuh anak saya yang pertama, walau berusaha tetap berpegang pada prinsip pengasuhan yang saya pahami, saya berusaha menstimulasi anak saya secara sistematis, karena masa prasekolah diyakini sebagai masa emas (golden age) kata pra ahli.

Didukung oleh karakter anak saya yang serius, klop sudah dengan niat saya untuk mengajarinya secara "sistematis". Proses mengajarkannya saya selalu usahakan dengan cara bermain, cara yang menyenangkan. Saya tak ingin merusak masa kanak-kanaknya. Ketika teman-temannya belajar dengan gaya yang lebih serius, saya berusaha mencari metode-metode dalam kerangka fun learning. Hasilnya memuaskan, di usia pra sekolah ia telah lancar membaca, menghitung dan menulis. Padahal saya mengajarkannya dengan santai lho, fun learning gitu...saya yakin tidak melakukan kesalahan, dalam arti merusak masa kanak-kanak anak saya dengan "belajar yang serius". Saya yakin dunia anak adalah bermain. Minat belajar, minat membacanya juga sangat bagus, karena saya membacakan buku sejak bayi.

Dengan kompetensinya tersebut, saya optimis dia tidak akan mengalami kesulitan di dunia sekolah. Namun apa ,mau di kata...di usia sekolahnya...saya malah mengalami kesulitan. Anak saya mogok sekolah!

Duh rasanya bingung sekali, awalnya saya curiga sekolahnya yang nggak bener. Memang sih ada hal-hal yang kurang bagus. Saya coba komunikasi dengan sekolah. Sedikit-sedikit keluhan saya ditanggapi oleh sekolah, saran-saran saya mereka terima dengan baik dan perbaikan-perbaikan pun dilakukan. Tapi anak saya tetap mogok!

Alhamdulillah, komunikasi saya dengan anak cukup baik, semua aspek yang mungkin mengganggu, saya gali semua. Setelah semua saya nilai sudah ok, anak saya kok ya tetap mogok.

Saya telp rekan saya, konsultasi ke psikolog yang kebetulan sahabat saya, yang tahu anak saya dari sejak kecil. Setelah mendengarkan kebingungan-kebingungan saya, dia bertanya "apa saya sering bermain dengannya?" "apa ia ada kesempatan untuk berekspresi beragam emosi: terkejut, misalnya". Saya menjawab di lingkungan rumahnya sekarang ia ada banyak kesempatan bermain dengan teman-temannya (bermain sepeda). Lalu teman saya menjelaskan kalau beda lho bermain bersama teman, dengan bermain bersama orangtua. Efek terhadap perkembangan emosinya berbeda. Bermain dengan teman penting, bermain dengan orangtuapun tak kalah penting.

Deg! Awalnya ada perasaan menolak untuk mengakui kesalahan....
Telpon saya tutup, dan saya merenung.
Apa mau di kata, benar apa kata teman saya.Mungkin stimulasinya benar, fun ...tapi kesempatan atau porsi waktu dia untuk bermain bebas: kurang! Apalagi bermain bebas dengan saya, kurang. Stimulasinya kebanyakan motorik halus dan kognitif.

Anak saya menjadi anak yang kaku, kurang berani, kurang insiatif, kurang percaya diri, takut pada situasi baru.....

Hal ini berbeda dengan anak kedua saya yang memiliki sifat berlawanan dengan kakaknya. Berbeda karena selain karakter bawaannya berbeda, saya mengasuhnya dengan cara berbeda. Anak kedua lebih banyak saya lepas untuk bermain sebebas-bebasnya.

Ketika bermain bebas, anak punya inisiatif untuk memilih permainan, menciptakan permainan, role playing, berekspresi bersama teman-teman, bertengkar, menyelesaikan masalah, terkejut, menangis, tertawa terbahak-bahak. Ekspresi emosi bisa mengalir sepuasnya.


So ternyata bermain bebas...sebebas-bebasnya penting banget. Saya coba ubah cara saya mengasuh anak pertama, saya beri dia kesempatan untuk bermain yang seru-seru, permainan motorik kasar, yang penuh tantangan. Permainan seru-seruan dengan teman-temannya dan juga dengan kami orangtuanya.

Alhamdulillah hari ini dia sekolah dengan senyuman, semoga besok dan seterusnya dia selalu tersenyum.

Comments (0)