Hampir setiap bulan rasanya ada saja yang bisa dijadikan berita seru di media massa. Setelah kasus bank century yang sampai sekarang juga masih belum jelas. Sekarang ditambah lagi terungkapnya kasus markus (makelar kasus).

Saya sebenarnya tidak begitu mengikuti berita-berita tersebut. Apalagi diskusi-diskusi yang menyertainya. Cape rasanya mendengarnya, lebih baik saya mendengarkan ustadz di pengajian, narasumber di seminar/ workshop, atau apalah yang lebih produktif buat diri saya. Tapi ternyata saya tetap terpancing untuk membicarakan sedikit hal berkaitan dengan berita tersebut.


Hff, memikirkan sistem negara, sistem peradilan dan segala hal yang berkaitan dengannya terus terang tidak dalam kapasitas saya, yang hanya ibu rumah tangga. Saya hanya ingin mengkhayal, seandainya ada sekelompok tim ahli yang melakukan penelitian, tentang bagaimana pola asuh mereka di masa kecil, sehingga di usia semuda itu, sudah berani berbuat seperti itu. Walau hanya berupa wawancara, yang menggambarkan tentang pola asuh mereka. Mungkin tidak perlu fokus pada satu orang, agar tidak dituntut masalah pencemaran nama baik, yang sedang trend saat ini. Terbayang hasil penelitian tersebut bisa bermanfaat bagi ibu-ibu seperti saya.

Pola Asuh
Banyak pertanyaan melintas dalam pikiran saya tentang bagaimanakah pola asuh mereka? Karena perbuatan mereka di kala dewasa ini adalah cermin bagaimana perkembangan moral mereka ketika usia kanak-kanak. Konon menurut para ahli masa penting pembentukan moral ada di usia anak-anak,saat mereka belajar tentang sebab akibat. Hal ini berkaitan dengan pola asuh yang mereka alami.

Anak yang mengalami pola asuh demokratis, dimana perasaan dan pendapat mereka sering didengar, lebih mampu membangun pengendalian diri yang bersumber dari dalam diri mereka (internal). Hal ini dikarenakan aturan-aturan yang ditetapkan jelas, dan dibangun melalui komunikasi yang melibatkan perasaan dan pendapat mereka. Saat anak harus menjalankan konsekuensi akibat kesalahan yang dilakukan, juga disertai komunikasi, sehingga pola pikir (nalar) anak berkembang dengan sendirinya, dan kendali diri muncul dari dalam dirinya, bukan semata-mata diarahkan oleh pihak-pihak di luar mereka. Hati nurani yang berakar dari pemahaman anak terhadap sebab akibat tersebut, terbentuk kuat dalam diri mereka.

Anak yang mengalami pola asuh permisif, dimana tidak ada aturan yang berlaku dalam hidupnya. Semua keinginan, kehendak dan kesenangan anak dipenuhi. Hanya akan membentuk anak yang gagal membangun kendali diri. Anak tidak paham sebab dan akibat. Pada akhirnya anak gagal membentuk hati nurani, dan tidak memahami standar nilai yang ada di masyarakat.

Anak yang mengalami pola asuh otoriter, hanya menciptakan anak-anak yang takut hukuman. Mereka tidak berlaku salah, hanya untuk menghindari hukuman. Pola pikir seperti ini yang terbangun sampai mereka dewasa. Perilaku terbangun berdasarkan ada hukuman atau tidak. Bukan berdasarkan hati nurani, yang muncul dalam diri.


Pola Asuh seperti apa yang dialami para markus. Demokratis, Otoriter atau Permisif? Seandainya pertanyaan ini terjawab, tentu kita dapat bercermin,dan memperhatikan pola asuh yang kita terapkan pada anak-anak kita maupun pada anak didik kita.

Ikatan Batin
Hal lain yang tidak dapat saya pahami dari para markus. Apakah mereka saat berprilaku tidak teringat pada Ayahibu mereka. Tidakkah terpikir perilaku mereka akan membuat malu keluarga?

Beberapa waktu yang lalu saat salah satu penjahat negeri ini tertangkap, dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. Mungkin senyuman itu untuk menutupi rasa malu yang ada dalam diri mereka. Beberapa hari kemudian, tampak seorang ibu mengunjunginya. Duuuh, saya ketika itu membayangkan bagaimana perasaan ibu tersebut. Melihat anaknya menjadi penjahat negeri. Padahal nama baik sudah ia lekatkan pada anaknya sejak lahir, dididik dalam keluarga yang lekat dengan nilai agama, sampai akhirnya anaknya menjadi politisi partai Islam. Apa yang salah?

Teringat pada keluarga, teringat pada Ayahibu. Minimal tidak mau merusak nama baik kedua orangtua kita, berasal dari ikatan batin yang terbentuk antara Anak dan Orangtua. Terbangun dari kelekatan antara Anak dan Orangtua. Hal ini terbentuk di usia dini. Gagal terbangun di usia ini, sulit di bangun di masa selanjutnya.

Ikatan batin terbentuk saat ibu menyusui anaknya. Saat Ayahibu bermain bersama anaknya. Saat Ayahibu bercanda dengan anaknya. Hal yang mungkin kini sedikit demi sedikit sudah mulai pudar, karena kesibukan Ayahibu mencari nafkah.

Bagaimanakah masa-masa pembentukan ikatan batin para markus dengan orangtuanya? Jika ini terjawab mungkin kita bisa bercermin, seperti apakah interaksi kita sekarang dengan anak-anak kita. Cukupkah interaksi kita dengan mereka? Berkualitaskah? Apakah ikatan batin kita dengan anak terbangun cukup kuat?


Pola Pikir Instant vs Pribadi yang Tangguh

Mengapa para Markus menambah hartanya melalui jalan pintas? Tidak mencari cara lain, seperti membangun bisnis misalnya. Rasa ingin cepat memenuhi keinginannya dengan cara yang cepat menghasilkan, berawal dari pola asuh di masa kecil.

Anak belajar tentang sebab akibat sejak dini. Ada orangtua yang mengajarkan anak untuk berusaha sebelum mencapai keinginannya. Ada orangtua yang langsung memberikan apa yang anak minta tanpa usaha sedikitpun.

Saya mengenal seorang ibu yang tidak memiliki daya. Setiap kali anaknya mengamuk meminta mainan, langsung ia berikan. Mainan adalah keinginan, dan keinginan ini dipenuhi dengan cara cepat, menangis.

Di sisi lain, ada seorang ibu yang menciptakan proses sebelum anak mencapai keinginannya. Saat anak menginginkan mainan, maka ibu mengajak anak menabung, atau mengajak anak membangun perilaku positif, dan mainan ini dijadikan sebagai reward (hadiah).

Sebuah proses perlu dikenalkan pada anak sejak dini. Kerap kali kita, orangtua hanya fokus pada hasil akhir. Ulangan yang kita lihat hanya hasil akhir, bukan proses. Hasil belajar yang kita lihat hanya nilai bukan proses.

Hal ini dapat kita lihat dari fenomena orangtua yang ingin anak-anaknya bernilai lebih baik dari nilai baik yang sudah diperoleh anak, dari les tambahan. Nilai 10 hasil les, tidak masalah. Nilai 8, hasil belajar mandiri, seakan tidak ada artinya.

Saya mengenal seorang ibu yang anaknya memiliki peringkat lima besar. Ibu ini merasa hasil tersebut masih kurang. Kemudian mencari guru privat bagi anaknya. Hasilnya anak memiliki peringkat satu. Sebenarnya manakah yang lebih membanggakan? Peringkat lima besar atas hasil belajar sendiri, atau peringkat satu karena belajar didampingi?

Bagaimana mencapai hasil yang diinginkan, atas hasil kerja keras diri seorang anak, perlu dibangun sejak dini. Agar anak-anak kelak lebih tangguh menghadapi hidup. Tidak bergantung pada orang lain.

Saya juga pernah melihat seorang teman yang kebetulan seorang guru. Teman saya ini merasa gemas karena anak didiknya bernilai 9,8. Kenapa gemas, padahal nilainya baik? Teman saya ini gemas karena anak didiknya tidak mencapai nilai 10. Hanya salah satu soal. Seandainya anak ini lebih teliti, katanya, sayang sekali ia salah satu. Saya termangu, melihat teman saya tersebut. Membayangkan ia fokus pada satu soal yang salah, dan lupa pada 29 soal yang benar. Belum lagi dengan hilangnya apresiasi terhadap proses belajar yang anak ini lakukan sebelum ulangan.

Mengapresiasi hasil kerja, berdasarkan proses yang dilakukan, lebih baik daripada hanya mengapresiasi hasil semata.

Bagaimanakah pola pikir yang dimiliki para markus? Apakah pola pikir instant? Apakah hanya berorientasi pada hasil yang menyenangkan, atau berorientasi pada proses yang dilakukan?

Jika ini terjawab, kembali dapat saya jadikan cermin. Bagaimana kita saat ini, apakah lebih banyak berorientasi pada hasil, atau pada proses?

Seandainya penelitian itu ada, saya kira lebih bermanfaat daripada hanya berdiskusi soal sistem negara. Paling tidak berguna bagi saya yang hanya seorang ibu. Yang ingin melakukan perubahan dari dalam diri dan keluarga.

Begitu banyak seminar membahas perlu dibangunnya karakter generasi bangsa ini. Tapi berhenti pada urgensi. Lantas bagaimanakah caranya? Tak banyak yang bisa menjawabnya. Seandainya penelitian itu ada, jawaban itu mungkin ada.

Comments (0)