"Aku saja yang nyapu,bu"
"Aku saja yang ngepel, mba"
"Aku saja yang nyuci, bu"
"Aku saja yang nyiram bunga"
"Aku mau bersihkan kamar mandi"
"Aku saja!!!"
Begitulah Hanif sekarang, di usianya yang hampir lima tahun. Penuh inisiatif, tidak menunggu komando. Pagi tadi, dia memiliki rencana, ia ingin memakai kembali baju sepakbolanya nanti sore. Ia berpikir jika bajunya dicuci mba, dia baru bisa pakai lagi esok harinya. Karena mba, sudah selesai mencuci, dan baru akan mencuci lagi besok. Sehingga dia segera berinisiatif untuk mencuci bajunya sendiri. Diambilnya baskom kecil dan diisi air. Saya bantu ia mengambil sabun detergent. Acara mencuci baju pun dimulai, hingga selesai, dan dijemur. Siang harinya, cuaca mendung, saya masih "malas" untuk mengambil pakaian yang masih dijemur. Tak diduga, pakaian itu datang sendiri. Hoho, ternyata Hanif, yang imut-imut, sedang bersusah payah membawa pakaian-pakaian yang ia ambil dari jemuran.
Mengingat betapa pentingnya sikap penuh inisiatif pada kualitas hidupnya kelak. Maka saya lebih banyak mengikuti aktivitas pilihannya. Walau menyapu itu artinya masih banyak sampah yang tertinggal. Mengepel sama dengan lantai becek. Mencuci baju sama dengan main air, dan kurang bersih. Menyiram bunga sama dengan mandi lagi. Membersihkan kamar mandi membuatnya lebih lama di kamar mandi. Bagi saya tidak mengapa hasilnya demikian.
Saya sudah bertemu dengan anak-anak yang sangat takut salah, tidak berani menjawab persoalan yang diberikan. Tidak perlu jauh-jauh, di masa kecil, sayalah anak itu, tidak berani mengambil inisiatif karena takut melakukan kesalahan. Karena saya merasakan sekali bagaimana tidak nyamannya masa-masa kurang inisiatif dan takut salah, maka saya ingin berusaha agar sifat-sifat tersebut tidak melekat pada anak saya. Soal berhasil atau tidak, usaha tersebut, yang penting berusaha dululah....
Mengacu pada tahap perkembangan menurut Ericson, usia 4-5 tahun, adalah masa Initiative vs Guilt. Pada masa ini, anak senang berinisiatif menunjukkan kemampuan yang ia miliki. Namun tentu saja, ia masih melakukan kesalahan-kesalahan. Bagaimana sikap kita, orang dewasa terhadap kesalahan-kesalahan tersebut, yang akan menentukan apakah anak tetap berani berinisiatif atau menunda sikap inisiatif tersebut, karena takut melakukan kesalahan.
Teringat cerita seorang ibu, yang tidak bisa membiarkan anaknya mandi sendiri. Khawatir kurang bersih, katanya. Padahal anaknya, Dani yang berusia lima tahun, sudah meminta mandi sendiri. Lalu saya bertanya pada ibu Dani "Kalau air dan sabunnya, apakah sudah sampai ke seluruh badan?" Sang ibupun mengangguk, "ya sampai sih, seluruh badannya sudah kena sabun dan air, bersih sih, hanya saja kan masih licin" Owh, saya kembali bertanya karena penasaran,"Kalaupun Dani, mandinya kurang bersih, misalnya sekali-sekali, apakah Doni akan langsung jatuh sakit, bu? " Sang ibu pun menggelengkan kepala. Kekhawatiran yang berlebihan, keinginan untuk sempurna, atas dasar cinta dan sayang, menghambat anak untuk memiliki inisiaitf.
Cerita tentang Dani ini sebenarnya sedikit banyak mirip dengan pola asuh saya terhadap Akmal. Penuh kekhawatiran, kurang melepas Akmal beraktivitas sesuai pilihannya. Akhirnya, relatif Akmal kurang inisiatif. Namun, semoga tidak ada kata terlambat, saya dan gurunya sedang berusaha menumbuhkan sikap tersebut. Tampak sudah mulai ada bibit-bibitnya, semoga segera tumbuh dan berbuah:)
Sudah mampu, ingin melakukan sendiri, tapi tidak diberi kesempatan, akhirnya anak menjadi anak yang kurang inisiatif. Apakah pribadi yang kurang inisiatif, adalah harapan kita sebagai orangtua? Jawabannya, saya yakin adalah "TIDAK!"
Maka mari kita bantu mewujudkan sikap memiliki inisiatif yang sudah terbangun pada diri anak. Caranya?
Mulailah mengurangi "arahan" yang tidak perlu. Daripada mengatakan "Ayo Mandi!", lebih baik bertanya "Nak kamu rencananya mau mandi kapan?" Bagi anak yang belum paham jam, bisa dengan menggunakan tanda-tanda dari lingkungan, seperti saya mandi kalau abang bubur ayam lewat.
Biarkan anak memilih sendiri pakaian yang akan ia gunakan. Biarkan ia memilih aktivitas sendiri yang biasanya merupakan aktivitas bermain. Belajar teratur secara terstruktur, teratur dan terjadwal belum diperlukan saat ini. Usia pra sekolah, 4-5 tahun, adalah masa emas pembentukan pribadi yang penuh inisiatif, bergerak tanpa menunggu komando. Biarkan mereka memilih. Kebebasan untuk memilih, kelonggaran untuk melakukan kesalahan, akan berguna bagi mereka untuk berani berinisiatif.
"Aku saja yang ngepel, mba"
"Aku saja yang nyuci, bu"
"Aku saja yang nyiram bunga"
"Aku mau bersihkan kamar mandi"
"Aku saja!!!"
Begitulah Hanif sekarang, di usianya yang hampir lima tahun. Penuh inisiatif, tidak menunggu komando. Pagi tadi, dia memiliki rencana, ia ingin memakai kembali baju sepakbolanya nanti sore. Ia berpikir jika bajunya dicuci mba, dia baru bisa pakai lagi esok harinya. Karena mba, sudah selesai mencuci, dan baru akan mencuci lagi besok. Sehingga dia segera berinisiatif untuk mencuci bajunya sendiri. Diambilnya baskom kecil dan diisi air. Saya bantu ia mengambil sabun detergent. Acara mencuci baju pun dimulai, hingga selesai, dan dijemur. Siang harinya, cuaca mendung, saya masih "malas" untuk mengambil pakaian yang masih dijemur. Tak diduga, pakaian itu datang sendiri. Hoho, ternyata Hanif, yang imut-imut, sedang bersusah payah membawa pakaian-pakaian yang ia ambil dari jemuran.
Mengingat betapa pentingnya sikap penuh inisiatif pada kualitas hidupnya kelak. Maka saya lebih banyak mengikuti aktivitas pilihannya. Walau menyapu itu artinya masih banyak sampah yang tertinggal. Mengepel sama dengan lantai becek. Mencuci baju sama dengan main air, dan kurang bersih. Menyiram bunga sama dengan mandi lagi. Membersihkan kamar mandi membuatnya lebih lama di kamar mandi. Bagi saya tidak mengapa hasilnya demikian.
Saya sudah bertemu dengan anak-anak yang sangat takut salah, tidak berani menjawab persoalan yang diberikan. Tidak perlu jauh-jauh, di masa kecil, sayalah anak itu, tidak berani mengambil inisiatif karena takut melakukan kesalahan. Karena saya merasakan sekali bagaimana tidak nyamannya masa-masa kurang inisiatif dan takut salah, maka saya ingin berusaha agar sifat-sifat tersebut tidak melekat pada anak saya. Soal berhasil atau tidak, usaha tersebut, yang penting berusaha dululah....
Mengacu pada tahap perkembangan menurut Ericson, usia 4-5 tahun, adalah masa Initiative vs Guilt. Pada masa ini, anak senang berinisiatif menunjukkan kemampuan yang ia miliki. Namun tentu saja, ia masih melakukan kesalahan-kesalahan. Bagaimana sikap kita, orang dewasa terhadap kesalahan-kesalahan tersebut, yang akan menentukan apakah anak tetap berani berinisiatif atau menunda sikap inisiatif tersebut, karena takut melakukan kesalahan.
Teringat cerita seorang ibu, yang tidak bisa membiarkan anaknya mandi sendiri. Khawatir kurang bersih, katanya. Padahal anaknya, Dani yang berusia lima tahun, sudah meminta mandi sendiri. Lalu saya bertanya pada ibu Dani "Kalau air dan sabunnya, apakah sudah sampai ke seluruh badan?" Sang ibupun mengangguk, "ya sampai sih, seluruh badannya sudah kena sabun dan air, bersih sih, hanya saja kan masih licin" Owh, saya kembali bertanya karena penasaran,"Kalaupun Dani, mandinya kurang bersih, misalnya sekali-sekali, apakah Doni akan langsung jatuh sakit, bu? " Sang ibu pun menggelengkan kepala. Kekhawatiran yang berlebihan, keinginan untuk sempurna, atas dasar cinta dan sayang, menghambat anak untuk memiliki inisiaitf.
Cerita tentang Dani ini sebenarnya sedikit banyak mirip dengan pola asuh saya terhadap Akmal. Penuh kekhawatiran, kurang melepas Akmal beraktivitas sesuai pilihannya. Akhirnya, relatif Akmal kurang inisiatif. Namun, semoga tidak ada kata terlambat, saya dan gurunya sedang berusaha menumbuhkan sikap tersebut. Tampak sudah mulai ada bibit-bibitnya, semoga segera tumbuh dan berbuah:)
Sudah mampu, ingin melakukan sendiri, tapi tidak diberi kesempatan, akhirnya anak menjadi anak yang kurang inisiatif. Apakah pribadi yang kurang inisiatif, adalah harapan kita sebagai orangtua? Jawabannya, saya yakin adalah "TIDAK!"
Maka mari kita bantu mewujudkan sikap memiliki inisiatif yang sudah terbangun pada diri anak. Caranya?
Mulailah mengurangi "arahan" yang tidak perlu. Daripada mengatakan "Ayo Mandi!", lebih baik bertanya "Nak kamu rencananya mau mandi kapan?" Bagi anak yang belum paham jam, bisa dengan menggunakan tanda-tanda dari lingkungan, seperti saya mandi kalau abang bubur ayam lewat.
Biarkan anak memilih sendiri pakaian yang akan ia gunakan. Biarkan ia memilih aktivitas sendiri yang biasanya merupakan aktivitas bermain. Belajar teratur secara terstruktur, teratur dan terjadwal belum diperlukan saat ini. Usia pra sekolah, 4-5 tahun, adalah masa emas pembentukan pribadi yang penuh inisiatif, bergerak tanpa menunggu komando. Biarkan mereka memilih. Kebebasan untuk memilih, kelonggaran untuk melakukan kesalahan, akan berguna bagi mereka untuk berani berinisiatif.
oke dech.. =)