Hari ini Akmal mulai sekolah. Hari ini juga saya liat dia begitu riang.
"Bu, hari ini Akmal sekolah?"
"Ya, nanti Akmal mandi lebih pagi ya"
"Iya, aku mau mandi shubuh"
"Iya, Akmal mandi jam 6" (kalimat untuk menghindari perdebatan, karena dia pasti ngotot shubuh)
"Memangnya jam 6 shubuh"
He3, memang sulit ya menghindari perdebatan, anak-anak sekarang lebih kritis
Alhamdulillah, dia langsung mau masuk kelas, dan mau saya tinggalkan.
Walau penasaran dia belajar apa hari ini,dan apakah dia bisa beradaptasi dengan baik, saya memutuskan untuk pulang. Soalnya biasanya anak dan ibu kan ada kontak batin, saya pulang supaya tenang, saya tenang anak insyaa Allah tenang.
Sementara itu banyak juga anak lain yang menangis. Beberapa guru sibuk menenangkan. Sedikit terdengar bujukan kepala sekolah "Sudah ya jangan menangis. Anak laki-laki tidak boleh menangis. Hmh, tidak begitu tepat bujukannya. Anak laki-laki dan perempuan bukan tidak bleh menangis, tapi perlu belajar mengolah emosinya, supaya menangisnya tidak terlalu berlarut-larut. Yah kepala sekolah juga manusia. Mungkin sudah lelah jadi agak kesulitan mengolah kata.
Lalu saya menjemputnya. Saya khawatir juga pas mengintip kelas, ternyata cuman gurunya aja yang rame, anak-anak hanya terdiam. Mereka tidak nyaman, pikir saya. Apa yang dipikirkan Akmal, ya. Jangan-jangan dia kapok sekolah.
"Gimana Akmal, cape gak?"
"Gak!" (padahal keringetan, kepanasan.
"Senang sekolah?"
"Senang, kapan sekolah lagi bu"
"Besok."
"Besok bu? Asyik"
Pfuuh, lega....sampe siang ia tak hentinya dia cerita tentang sekolah, tentang lagu, tentang teman,sampe mimpi sekolah (ngalindur).
Apa yang saya alami, mengingatkan pada konsep homeshooling. Ada satu komunitas yang dengan berbagai faktor menyebabkan lebih memilih homeschooling pada anaknya. Ada alasan yang saya tidak begitu sepakat, yaitu karena tak ada sekolah yang benar-benar bagus.
Saya pikir kita ubek-ubek seluruh dunia, tidak akan ada sekolah yang benar-benar sempurna. Kenapa? Karena sekolah bukanlah orangtua mereka. Memang hanya orangtua yang sebenarnya benar-benar memahami siapa anaknya, apa gaya belajarnya, apa minatnya, apa perasaannya saat ini. Biaya operasional juga menghambat perbandingan guru dan murid. Dan berbagai faktor penyebab lain.
Menurut saya tidak ada sekolah yang benar-benar bagus adalah fakta yang tidak bisa dijadikan alasan menghomeshoolingkan anak. Tidak masalah sekolah tidak sempurna. Karena memang pendidikan bukan 100% menjadi tanggungjawab sekolah.
Jika tidak ada alasan lain, homeschooling bukan pilihan, anak mendapat banyak manfaat dengan sekolah, terutama sosialisasi dan adaptasi dengan lingkungan lain selain rumah. Betapapun begitu banyak penjelasan tentang sosialisasi anak homeschooling, tetap lebih baik menguji sosialisasi anak di sekolah. Karena di sekolah ada waktu yang panjang untuk bersosialisasi, berbeda dengan klub anak, kursus, dan lain sebagainya. Proses-proses di sekolah seperti kegiatan belajar mengajar, evaluasi yang diberikan orang lain, juga menguji daya adaptasi dan daya lentur anak menghadapi berbagai masalah dengan orang lain.
Sosialisasi tidak sama dengan hanya bergaul. Kalau bergaul bisa dilakukan di mana saja. Sosialisasi termasuk juga bagaimana ia menghadapi masalah-masalah yang terjadi pada saat ia bergaul. Dunia banyak masalah,anak harus terbiasa menghadapi masalah, bukan meninggalkan masalah.
Di bawah ini salah satu alasan-alasan yang tidak saya setujui, menurut saya dengan adanya masalah di sekolah justru menjadi tugas kita untuk membimbing agar anak memiliki problem solving yang bagus, memliki daya adaptasi dan daya lentur terhadap masalah. Menghadapi masalah, bukan meninggalkan masalah.
MENDAPATKAN pendidikan yang baik untuk anak adalah keinginan setiap orangtua. Bermacam-macam jenis sekolah tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Semua mengiklankan diri sebagai sekolah dengan beragam nilai plus agar dipilih orangtua bagi anaknya. Ada yang memakai bahasa asing, menyediakan beragam aktivitas di luar kelas, menggunakan gedung bertingkat dengan ruangan ber-AC, hingga sekolah yang mengklaim diri menggabungkan kurikulum luar negeri dan kurikulum berbasis kompetensi dari Departemen Pendidikan Nasional.
Apa pun yang ditawarkan sekolah-sekolah itu, ternyata tidak bisa memenuhi keinginan semua orangtua. Sampai saat ini masih banyak kritik yang terlontar tidak saja dari orangtua, tetapi juga masyarakat, pemerhati pendidikan, hingga pemilik lapangan pekerjaan. Namun, semua kritik itu seperti angin, berlalu begitu saja. Tidak ada perubahan berarti. Sebagian orangtua lalu mencari alternatif pendidikan. Salah satunya dengan bersekolah di rumah (homeschooling).
"Saya termasuk orangtua yang tidak puas dengan sistem pendidikan kita. Sudah berapa banyak sekolah yang saya datangi, hingga yang internasional, ternyata tidak memuaskan juga. Akhirnya saya putuskan untuk mengajar sendiri anak-anak saya," kata Wanti Wowor (39), ibu empat anak.
Wanti memiliki banyak alasan memutuskan mengeluarkan anak-anak dari sekolah umum.
Pertama, dia merasa sistem pendidikan di sekolah hanya mengejar nilai rapor. Sedangkan keterampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan
yang didapat, bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak (atau orangtua) mencontek dan membeli ijazah palsu. Kondisi ini yang justru menjadi tantangan anak dan orangtua untuk tidak terbawa arus mengikuti tren hanya mengejar nilai raport kemudian mencontek apalagi membeli ijazah palsu. Saya sedang mengingat-ingat pesan orangtua yang membuat saya tidak mencontek selama sekolah sampe kuliah. Untuk disampaikan lagi pada anak-anak saya kelak.
Kedua, dalam hal pergaulan banyak murid yang mencari identitas dari teman, bukan pada diri sendiri. "Banyak murid yang terjebak, dia harus mempunyai barang yang sama dengan temannya agar diterima pergaulan, atau biar dibilang keren oleh teman. Ini kan tidak benar. Identitas
kok ditentukan teman, bukan diri sendiri. Ini baru barang, bagaimana dengan narkoba," ujar Wanti. Kondisi sebenarnya adalah dampak perkembangan psikologis. Mau sekolah di manapun, hal ini merupakan keniscayaan, anak SD memang akan mengidentikkan dirinya pada teman. Makanya kalau musim PS, niscaya akan minta PS. Sekali lagi ini tantangan anak dan orangtua untuk berlatih tidak mengikuti tren, supaya nanti ia pun berani berkata Tidak pada Narkoba. Hal ini menjadi moment untuk orangtua mengajarkanbagaimana memilih lingkungan dan teman.
Dia juga melihat orang belajar karena kebiasaan masyarakat, bukan keinginan atau kesadaran dari diri. Misalnya, sehabis SD harus dilanjutkan SMP, lalu SMA, terus kuliah. Banyak orangtua yang sudah menyadari kelebihan anaknya, namun anak tetap harus menempuh semua jenjang pendidikan formal. Sedangkan eksplorasi pada kelebihan anak agak diabaikan karena memandang pendidikan formal lebih penting. Akibatnya, anak tidak merasa senang bersekolah karena dia tidak tahu tujuan belajar di sekolah.
Memupuk anak untuk memiliki minat belajar adalah orangtua, selanjutnya kita dapat memilih sekolah yang cukup kondusif untuk minat belajar anak. Saya kira sekolah seperti ini masih ada dan banyak. Untuk akademik, bisa jadi anak homeschooler lebih baik, karena dia bisa menyusun kurikulum sendiri, sehingga lebih cepat. Namun anak juga perlu belajar mengikuti rule di dalam masyarakat. Eksplorasi anak bisa dipenuhi di rumah setelah ia sekolah. Karena itu kalo saya pribadi, karena menyadari sekolah masih jauh dari sempurna, masih mencari sekolah yang tidak fullday, terutama untuk sekolah dasar. Karena usia sekolah dasar masih merupakan termasuk usia dasar untuk menamkan banyak hal pada anak. Usia sekolah dasar juga merupakan usia persiapan masa remaja, anak perlu ditanamkan keterikatannya kepada rumah. Supaya kelak kalu ia menghadapi masalah di masa remaja,ia akan kembali ke rumah, bukan ke lingkungan lainnya. Saya cukup prihatin sekarang anak sekolah dasar, waktunya lebih banyak untuk belajar di sekolah daripada di rumah.
Namun saya juga memahami alasan-alasan lain untuk homseschooling, seperti kebutuhan yang mendesak untuk pendekatan individual (anak berkebutuhan khusus). Lingkungan sekolah yang sangat tidak kondusif bagi pembentukan akidah anak (bagi yang tinggal di LN atau daerah lain yang minoritas muslim). Anak berbakat (misal berbakat di bidang olahraga, sering mengikuti event, sehingga sulit mengikuti sekolah formal).
Wallahu'alam
"Bu, hari ini Akmal sekolah?"
"Ya, nanti Akmal mandi lebih pagi ya"
"Iya, aku mau mandi shubuh"
"Iya, Akmal mandi jam 6" (kalimat untuk menghindari perdebatan, karena dia pasti ngotot shubuh)
"Memangnya jam 6 shubuh"
He3, memang sulit ya menghindari perdebatan, anak-anak sekarang lebih kritis
Alhamdulillah, dia langsung mau masuk kelas, dan mau saya tinggalkan.
Walau penasaran dia belajar apa hari ini,dan apakah dia bisa beradaptasi dengan baik, saya memutuskan untuk pulang. Soalnya biasanya anak dan ibu kan ada kontak batin, saya pulang supaya tenang, saya tenang anak insyaa Allah tenang.
Sementara itu banyak juga anak lain yang menangis. Beberapa guru sibuk menenangkan. Sedikit terdengar bujukan kepala sekolah "Sudah ya jangan menangis. Anak laki-laki tidak boleh menangis. Hmh, tidak begitu tepat bujukannya. Anak laki-laki dan perempuan bukan tidak bleh menangis, tapi perlu belajar mengolah emosinya, supaya menangisnya tidak terlalu berlarut-larut. Yah kepala sekolah juga manusia. Mungkin sudah lelah jadi agak kesulitan mengolah kata.
Lalu saya menjemputnya. Saya khawatir juga pas mengintip kelas, ternyata cuman gurunya aja yang rame, anak-anak hanya terdiam. Mereka tidak nyaman, pikir saya. Apa yang dipikirkan Akmal, ya. Jangan-jangan dia kapok sekolah.
"Gimana Akmal, cape gak?"
"Gak!" (padahal keringetan, kepanasan.
"Senang sekolah?"
"Senang, kapan sekolah lagi bu"
"Besok."
"Besok bu? Asyik"
Pfuuh, lega....sampe siang ia tak hentinya dia cerita tentang sekolah, tentang lagu, tentang teman,sampe mimpi sekolah (ngalindur).
Apa yang saya alami, mengingatkan pada konsep homeshooling. Ada satu komunitas yang dengan berbagai faktor menyebabkan lebih memilih homeschooling pada anaknya. Ada alasan yang saya tidak begitu sepakat, yaitu karena tak ada sekolah yang benar-benar bagus.
Saya pikir kita ubek-ubek seluruh dunia, tidak akan ada sekolah yang benar-benar sempurna. Kenapa? Karena sekolah bukanlah orangtua mereka. Memang hanya orangtua yang sebenarnya benar-benar memahami siapa anaknya, apa gaya belajarnya, apa minatnya, apa perasaannya saat ini. Biaya operasional juga menghambat perbandingan guru dan murid. Dan berbagai faktor penyebab lain.
Menurut saya tidak ada sekolah yang benar-benar bagus adalah fakta yang tidak bisa dijadikan alasan menghomeshoolingkan anak. Tidak masalah sekolah tidak sempurna. Karena memang pendidikan bukan 100% menjadi tanggungjawab sekolah.
Jika tidak ada alasan lain, homeschooling bukan pilihan, anak mendapat banyak manfaat dengan sekolah, terutama sosialisasi dan adaptasi dengan lingkungan lain selain rumah. Betapapun begitu banyak penjelasan tentang sosialisasi anak homeschooling, tetap lebih baik menguji sosialisasi anak di sekolah. Karena di sekolah ada waktu yang panjang untuk bersosialisasi, berbeda dengan klub anak, kursus, dan lain sebagainya. Proses-proses di sekolah seperti kegiatan belajar mengajar, evaluasi yang diberikan orang lain, juga menguji daya adaptasi dan daya lentur anak menghadapi berbagai masalah dengan orang lain.
Sosialisasi tidak sama dengan hanya bergaul. Kalau bergaul bisa dilakukan di mana saja. Sosialisasi termasuk juga bagaimana ia menghadapi masalah-masalah yang terjadi pada saat ia bergaul. Dunia banyak masalah,anak harus terbiasa menghadapi masalah, bukan meninggalkan masalah.
Di bawah ini salah satu alasan-alasan yang tidak saya setujui, menurut saya dengan adanya masalah di sekolah justru menjadi tugas kita untuk membimbing agar anak memiliki problem solving yang bagus, memliki daya adaptasi dan daya lentur terhadap masalah. Menghadapi masalah, bukan meninggalkan masalah.
MENDAPATKAN pendidikan yang baik untuk anak adalah keinginan setiap orangtua. Bermacam-macam jenis sekolah tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Semua mengiklankan diri sebagai sekolah dengan beragam nilai plus agar dipilih orangtua bagi anaknya. Ada yang memakai bahasa asing, menyediakan beragam aktivitas di luar kelas, menggunakan gedung bertingkat dengan ruangan ber-AC, hingga sekolah yang mengklaim diri menggabungkan kurikulum luar negeri dan kurikulum berbasis kompetensi dari Departemen Pendidikan Nasional.
Apa pun yang ditawarkan sekolah-sekolah itu, ternyata tidak bisa memenuhi keinginan semua orangtua. Sampai saat ini masih banyak kritik yang terlontar tidak saja dari orangtua, tetapi juga masyarakat, pemerhati pendidikan, hingga pemilik lapangan pekerjaan. Namun, semua kritik itu seperti angin, berlalu begitu saja. Tidak ada perubahan berarti. Sebagian orangtua lalu mencari alternatif pendidikan. Salah satunya dengan bersekolah di rumah (homeschooling).
"Saya termasuk orangtua yang tidak puas dengan sistem pendidikan kita. Sudah berapa banyak sekolah yang saya datangi, hingga yang internasional, ternyata tidak memuaskan juga. Akhirnya saya putuskan untuk mengajar sendiri anak-anak saya," kata Wanti Wowor (39), ibu empat anak.
Wanti memiliki banyak alasan memutuskan mengeluarkan anak-anak dari sekolah umum.
Pertama, dia merasa sistem pendidikan di sekolah hanya mengejar nilai rapor. Sedangkan keterampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan
yang didapat, bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak (atau orangtua) mencontek dan membeli ijazah palsu. Kondisi ini yang justru menjadi tantangan anak dan orangtua untuk tidak terbawa arus mengikuti tren hanya mengejar nilai raport kemudian mencontek apalagi membeli ijazah palsu. Saya sedang mengingat-ingat pesan orangtua yang membuat saya tidak mencontek selama sekolah sampe kuliah. Untuk disampaikan lagi pada anak-anak saya kelak.
Kedua, dalam hal pergaulan banyak murid yang mencari identitas dari teman, bukan pada diri sendiri. "Banyak murid yang terjebak, dia harus mempunyai barang yang sama dengan temannya agar diterima pergaulan, atau biar dibilang keren oleh teman. Ini kan tidak benar. Identitas
kok ditentukan teman, bukan diri sendiri. Ini baru barang, bagaimana dengan narkoba," ujar Wanti. Kondisi sebenarnya adalah dampak perkembangan psikologis. Mau sekolah di manapun, hal ini merupakan keniscayaan, anak SD memang akan mengidentikkan dirinya pada teman. Makanya kalau musim PS, niscaya akan minta PS. Sekali lagi ini tantangan anak dan orangtua untuk berlatih tidak mengikuti tren, supaya nanti ia pun berani berkata Tidak pada Narkoba. Hal ini menjadi moment untuk orangtua mengajarkanbagaimana memilih lingkungan dan teman.
Dia juga melihat orang belajar karena kebiasaan masyarakat, bukan keinginan atau kesadaran dari diri. Misalnya, sehabis SD harus dilanjutkan SMP, lalu SMA, terus kuliah. Banyak orangtua yang sudah menyadari kelebihan anaknya, namun anak tetap harus menempuh semua jenjang pendidikan formal. Sedangkan eksplorasi pada kelebihan anak agak diabaikan karena memandang pendidikan formal lebih penting. Akibatnya, anak tidak merasa senang bersekolah karena dia tidak tahu tujuan belajar di sekolah.
Memupuk anak untuk memiliki minat belajar adalah orangtua, selanjutnya kita dapat memilih sekolah yang cukup kondusif untuk minat belajar anak. Saya kira sekolah seperti ini masih ada dan banyak. Untuk akademik, bisa jadi anak homeschooler lebih baik, karena dia bisa menyusun kurikulum sendiri, sehingga lebih cepat. Namun anak juga perlu belajar mengikuti rule di dalam masyarakat. Eksplorasi anak bisa dipenuhi di rumah setelah ia sekolah. Karena itu kalo saya pribadi, karena menyadari sekolah masih jauh dari sempurna, masih mencari sekolah yang tidak fullday, terutama untuk sekolah dasar. Karena usia sekolah dasar masih merupakan termasuk usia dasar untuk menamkan banyak hal pada anak. Usia sekolah dasar juga merupakan usia persiapan masa remaja, anak perlu ditanamkan keterikatannya kepada rumah. Supaya kelak kalu ia menghadapi masalah di masa remaja,ia akan kembali ke rumah, bukan ke lingkungan lainnya. Saya cukup prihatin sekarang anak sekolah dasar, waktunya lebih banyak untuk belajar di sekolah daripada di rumah.
Namun saya juga memahami alasan-alasan lain untuk homseschooling, seperti kebutuhan yang mendesak untuk pendekatan individual (anak berkebutuhan khusus). Lingkungan sekolah yang sangat tidak kondusif bagi pembentukan akidah anak (bagi yang tinggal di LN atau daerah lain yang minoritas muslim). Anak berbakat (misal berbakat di bidang olahraga, sering mengikuti event, sehingga sulit mengikuti sekolah formal).
Wallahu'alam
Menarik bu, tentang apa yang disampaikan. cuma aneh ya, kok tulisan sebagus ini gak ada yang komen.
Selalu ditunggu tulisan2 lainnya.