Label:

Sebelum saya memutuskan menikah di tahun 2001, jauh-jauh hari sebelumnya, kira-kira ketika saya SMA, saya sudah memikirkan suami seperti apa yang saya harapkan. Maklumlah, masa pubertas mulai menghampiri.

Kala itu, tidak hanya masalah sifat pasangan yang saya perhatikan, tetapi juga masalah keluarga calon pasangan saya, mertua dan kakak ipar. Terlalu serius mungkin untuk ukuran remaja saat itu. Tapi yah itulah saya:P

Entahlah apa yang membuat saya memikirkan hal tersebut. Mungkin karena terlalu sering mendengar cerita sulitnya para istri beradaptasi dengan keluarga suaminya. Membuat saya ngeper duluan. Secara saya dah mengukur kemampuan diri baik lahir maupun batin. Saya bukanlah tipikal yang tangguh menghadapi konflik.

Sekedar mengenang pola pikir saya jaman dahulu. Saya teringat kala itu saya berpikir akan memilih pasangan yang bukan" anak mami". Saya ingin pasangan hidup yang dekat dengan ibunya lahir dan batin, tapi mandiri dan tangguh. Membayangkan pasangan yang sedikit-sedikit merengek pada ibu....atau sedikit-sedikit membandingkan istrinya dengan ibunya....huaaa...tidak...tidak....itu bukan tipe yang saya idam-idamkan.

Saya juga tidak ingin mertua yang terlalu dominan, baik memanjakan maupun mengatur anaknya. Saya ingin pasangan yang memiliki figur ibu tapi bukan figur yang dominan.

Selain itu ada harapan yang saya simpan di lubuk hati terdalam, jika memungkinkan di awal pernikahan, posisi saya tinggal tidak terlalu berdekatan dengan mertua. Bukan apa-apa, lagi-lagi saya mengukur kelemahan saya dalam menangani konflik. Plus tipikal saya yang sangat takut pada figur otoritas. Berada di dekat figur otoritas bisa membuat prestasi saya anjlok....kkk...

Nah yang jadi masalah adalah bagaimana saya bisa mensortir calon dengan syarat demikian. Padahal saya tidak pacaran. Huff ngimpi kali ye....

Ah jujur...merasa bahwa saya gadis yang biasa-biasa saja...bukan kembang desa...saya lebih banyak bersikap pasrah daripada berusaha dengan keras untuk mensortir....heu...heu...

Tapi Alhamdulillah saya pernah berani untuk membuat keputusan, walau dengan takut-takut (takut nggak ada yang minat lagi...fiuh), karena menangkap gejala yang tidak enak berkaitan dengan hal ini.

Akhirnya saat itu datanglah....sebuah perkenalan dengan seorang pria yang membuat saya jatuh hati di pandangan pertama...huahaha...entahlah dengan dia...

Semua hal saya cocok dengannya, tinggal saya berdo'a dengan kuat bahwa keluarganya sesuai dengan yang saya harapkan.

Tidak banyak usaha yang bisa saya lakukan. Karena proses perkenalan yang kami pilih, tidak mudah bagi saya untuk mengenal keluarganya secara langsung. Keluarganya berada diluar propinsi, dan kami sudah membuat keputusan di hari ketujuh perkenalan kami, akan melanjutkan ke jenjang pernikahan atau tidak. Lalu bagaimana saya bisa yakin jika ia dan keluarganya bisa sesuai dengan harapan saya?

Terus terang kala itu saya banyak menggunakan do'a, asumsi, dan feeling. Mandiri dan tangguh, saya asumsikan ia demikian berdasarkan status anak kostnya. Karena calon suami kala itu berstatus anak kost dari sejak SMA sampai ia kuliah. Saya mengasumsikan dia adalah sosok yang mandiri dan bukan anak yang manja. Padahal mah belum tentu ya....ah dasar saya maksa aja kali biar cocok...hah...

Asumsi lain saya dapat dari cara dia memposisikan keluarga saat membuat keputusan untuk menikahi saya. Dia berani memutuskan sebelum keluarganya bertemu dengan saya. Entahlah kenapa kala itu saya bisa menjadikan ini sebagai keyakinan bahwa dia sosok yang tidak terlalu dependent pada keluarganya.

Langkah lain adalah dengan bertanya pada sahabatnya, yang pernah berkunjung ke keluarganya. Sahabatnya memberikan gambaran tentang kehangatan keluarga calon suami.

Alhamdulillah, proses yang lebih banyak dipengaruhi do'a, asumsi dan feeling itu, membuahkan hasil yang luar biasa.

Saat ini saya bisa menjalani kehidupan keluarga yang harmonis, tanpa pernah mengalami adanya campur tangan keluarga suami sedikit pun. Bahkan di saat-saat sulit yang kami alami, yang ada adalah pertolongan dan dukungan. Padahal dari urutan lahir, suami adalah anak bungsu dan laki-laki satu-satunya dalam keluarga, yang kalo menggunakan prediksi, kemungkinan ia adalah sosok yang dimanjakan kedua orangtuanya.

Di sisi lain, saya adalah sosok menantu yang serba tidak bisa. Apalagi jika dibandingkan dengan skill kedua ipar saya....jauuuuh.....tapi subhanallah mereka hanya tersenyum melihat saya berbuat kesalahan ini dan itu. Malah saya yang sering ketakutan sendiri...takut kalau mereka menyesal punya menantu dan adik ipar seperti saya...hikz...

Berdasarkan pengalaman ini, saya sudah membayangkan, jika saya dikarunia umur yang panjang, hingga bisa mendampingi anak-anak sampai kelak mereka menikah nanti. Saya ingin mempersiapkan anak-anak saya, agar kelak mereka bisa menjadi sosok yang mandiri dan tangguh, tanpa terbayang-bayangi oleh sosok saya sebagi ibu mereka. Secara kedua anak saya adalah lelaki, dan saya tidak suka lelaki yang terlalu berlebihan mengidolakan ibunya, hingga sering membanding-bandingkan istrinya dengan ibunya, atau mencari calon istri yang seperti ibunya...oh...tidak...tidak....jangan sampai.

Saya juga ingin meniru mertua saya, yang saya tahu pasti beliau selalu mengkhawatirkan kondisi anaknya. Apakah diurus dengan baik oleh istrinya atau tidak. Tapi sangat bisa mengendalikan perasaannya itu dan berpikir positif.

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, maka usahanya ada pada penempaan kemandirian anak-anak saya, dan melatih kemampuan saya untuk berpikir positif. Melepas mereka sedikit-sedikit untuk menjadi sosok yang mandiri. Memberi kesempatan bagi mereka untuk membuat keputusan sendiri. Tidak menjadi sosok ibu yang dominan. Sekali-sekali menampakkan ketidaksempurnaan diri, sekedar untuk membuat mereka mengerti bahwa ibu mereka juga memiliki kelemahan.

Comments (0)