Label:

Menangis adalah ekspresi emosi yang pertama kali ditunjukkan oleh setiap manusia. Dengan menangislah, bayi bisa memperoleh hal yang ia inginkan. Rasa lapar, haus, sakit, kepanasan, kedinginan, segera teratasi hanya dengan menangis. Sebagian besar Bunda, merespon dengan baik, tangisan Ananda, dengan dilimpahi kasih sayang dan kesabaran dalam menghadapinya.

Begitu keinginannya terpenuhi, terdiamlah sang buah hati. Bunda pun merasa bahagia bisa mengetahui dan memenuhi keinginan tersebut. Bahagia karena bisa menangkap pesan yang disampaikan Ananda

Tak lama kemudian, di usia Ananda genap 1 tahun, Bunda mulai mengalami kebingungan dalam menghadapi tangis Ananda. Apa yang Ananda inginkan? Ditanya “mau ini?” Menggeleng sambil menangis. Ditanya “mau itu?” Makin menggeleng, tangispun semakin keras. Kerasnya tangisan, apalagi ditambah amukan, mulai memancing kekesalan Bunda.

Semakin bertambah usia Ananda, menangis dirasa bukan lagi ekspresi emosi yang tepat untuk diperlihatkan. Menangis menjadi sama dengan cengeng. Menangis semakin membuat bunda kesal, apalagi jika penyebabnya dirasa Bunda bukanlah hal yang pantas membuat Ananda menangis.

Gara-gara berantem sama teman saja menangis, jatuh sedikit saja menangis, terlambat sekolah menangis. Duuuh....Bunda ingin penyebab-penyebab seperti itu saja sih nggak perlu lah menangis, cengeng! Mulailah Bunda memberi label pada Ananda sebagai anak cengeng, dan Ananda menjadi tahu kalau menangis adalah sama dengan cengeng.

Bunda, tak mau Ananda menjadi anak cengeng, berbagai cara dilakukan, dengan segera memenuhi hal yang Ananda inginkan, dengan mengacuhkan, dengan segera menghentikan, atau dengan menasihati.

Ananda terjatuh, dia menangis dengan kencang. Bunda memeluknya, dan kemudian bertanya, “kenapa Nak, kok kamu menangis?”
Ananda menjawab, “jatuh Bunda.....”
“Owh, jatuh ya, ya sudah...anak Bunda kan hebat ya...sudah...sudah...menangisnya sudah ya....” Bunda menanggapi sambil mengusap air matanya.

Ananda pulang sambil menangis, lalu Bunda bertanya “loh kenapa nangis?”
“Kiki nggak mau main sama Nanda....”
“Aduuuuh kayak gitu aja kamu nangis, kan masih banyak temen yang lain”

Ananda bertengkar dengan Adik, lalu menangis. Bunda tak perlu bertanya, kenapa Ananda menangis, karena semua sudah jelas. “Duuh kok nangis, udah...masa kakak begitu saja nangis, malu dong sama adik”

Ananda menangis, karena ingin jajan ke warung. Bunda sudah tahu apa yang Ananda inginkan, “kamu mau jajan ya...ya sudah...sudah....jangan nangis....ayo kita ke warung ya....”

Demikianlah, jurus-jurus jitu sang Bunda untuk menghentikan tangisan Ananda. Sebagian besar berhasil, dan masalah selesai. Bunda bisa mengenali kebutuhan Ananda, dan membantu Ananda memenuhi kebutuhan tersebut, namun sayang Bunda terlupa satu hal, yaitu menanyakan perasaan yang ada di balik tangisan Ananda.

Kerap kali orangtua terfokus pada kejadian apa yang menyebabkan anak menangis, seperti halnya saat anak-anak kita masih bayi. Kita melihat konteks yang terjadi, kemudian kita menyimpulkan kebutuhan yang ada, dan segera memenuhi kebutuhan tersebut.

Kita kerap kali lupa, anak kita sudah tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang perlu belajar, tentang emosi. Konon, kecerdasan emosi akan menjadi kunci kesuksesan mereka kelak.
Setiap reaksi emosi yang ditunjukkan seorang anak, sebenarnya adalah moment untuk melatih kecerdasan emosi tersebut.

Sebenarnya ada langkah-langkah sederhana untuk melatih kecerdasan emosi saat anak menangis
Pertama, tenangkan diri kita sebagai orangtua. Entah kenapa, saya seringkali kesal ketika menghadapi tangisan anak, seringkali disebabkan karena alasan-alasan yang kita pandang tidak perlu menimbulkan tangisan. Apalagi anak saya adalah laki-laki. Langkah pertama ini menjadi penting bagi saya.

Kedua, secara spontan biasanya kita akan bertanya kejadian apa yang menyebabkan anak menangis. Hal ini tentu penting, siapa tahu penyebabnya adalah hal yang mendesak perlu kita atasi, seperti terjatuh dan terluka pada bagian kepala.

Ketiga, berikanlah sentuhan baik belaian kasih sayang, maupun pelukan. Berikan posisi yang lebih nyaman bagi anak.

Keempat, tanyakanlah perasaannya, jika kita sudah tahu tanpa perlu bertanya, refleksikanlah perasaan itu, “Nak, kamu sedih?”, “Nak kamu takut?”, “Nak, kamu marah?”
Perasaan yang menyebabkan menangis, seperti yang sudah kita tahu, tidak hanya kesedihan, bisa karena takut, kesal, marah atau bahkan senang (saking senangnya). Penting untuk menanyakan perasaan di balik tangisan ini, sebagai langkah awal ketrampilan untuk mengenali emosi diri.
Seorang anak tidak bisa tiba-tiba paham akan emosi yang sedang dia rasakan, perlu dilatih perlahan-lahan oleh kita.

Kelima, setelah mengetahui perasaan yang sebenarnya, maka jika perlu, kita bisa membantunya untuk memilih1 reaksi yang tepat untuk mengekspresikan emosi tersebut.
“Kamu marah Nak?”
“Baik kalau kamu marah, kamu bisa mengatakannya dengan kata-kata “Saya marah pada....” biasanya akan membuat kamu lebih nyaman.
Lama kelamaan anak kita akan mengetahui reaksi emosi yang wajar yang bisa dia lakukan, jadi tidak berlebihan dalam memberikan reaksi emosi.

Berdasarkan pengalaman, langkah keempat, sangat cepat menghentikan tangis anak kita. Mungkin karena ada perasaan lega sudah mengeluarkan isi hatinya tentang perasaan yang ia alami, atau juga karena merasa mendapatkan pemahaman dari orangtua tentang perasaannya.

Mungkin begitu banyak anak yang bisa menghentikan tangisnya dengan bujukan orangtua berupa pujian “kamu jagoan, pinter nggak nangis, anak hebat nggak nangis, laki-laki kok nangis, nggak boleh cengeng dan lain sebagainya”. Namun kemampuan menahan diri dari menangis ini, tidak didasari pada pemahaman mengenai emosi yang dia alami.

Apa manfaat dari memahami emosi diri? Selain kelak dia bisa lebih mengekspresikan emosi dengan cara yang lebih tepat. Juga membuat dia mudah memahami perasaan orang lain. Hal ini akan sangat menunjang adaptasi sosial dia di dunia kerja maupun adaptasi sosial dia dalam pernikahan.

Pernahkah teman-teman mendengar, seorang suami yang tidak peduli dengan tangisan sang istri? Malah marah karena istrinya menangis, dianggap istrinya lebay dan cengeng? Kira-kira demikianlah salah satu contoh kurang terlatihnya anak mengenali emosi dirinya, sehingga ia kesulitan juga untuk memahami emosi orang lain.

Semoga dengan melatih anak kita mengenali emosinya, membuat dia lebih survive dalam kehidupannya di masa yang akan datang.

Comments (0)