Tulisan ini niat nulisnya dah lama, tapi karena kepotong episode gubraaggs, jadi baru sekarang deh.
Episode wise mom, ini saya dapet ketika pertemuan orangtua menjelang UAS semester I. Hiii UAS, istilahnya ya...istilah zaman kita kuliah. Jadi pas dikumpulin tuh berasa sayanya yang mau ujian. Apalagi dipresentasikan batas nilai minimum tiap pelajaran. Adanya remedial kalo gagal,halagh jadi inget zaman SMA sering ikut remedial, hampir tiap pelajaran, hiks. Sekarang membayangkan Akmal akan memasuki dunia yang penuh dengan "kekerasan" seperti itu. Duh, Hiperbola sekali ya ibu yang satu ini:)
Bener, nggak pernah kebayang sebelumnya akan mengalami acara-acara seperti ini, membicarakan ujian akhir anak kelas 1 SD seserius ini. Yang terbayang tadinya,kalo kelas 1 masih main-main aja, santai-santai gitu, nggak ada tuntutan-tuntutan. Gimana nggak stress kalo kompetensi yang diharapkan tinggi banget, kurikulum padet banget, tapi gurunya? belum bisa memformulasikan bagaimana mengantarkan kurikulum padat itu ke fun learning yang bisa mencapai kompetensi tinggi seperti yang diharapkan kurikulum.
Jadi yang kejadian adalah guru menyelenggarakan fun learning, anak seneng, Alhamdulillah, tapi tujuan kurikulum yang tinggi tidak tercapai di sekolah. Ujian tetep pake standar tinggi itu, so kita,orangtua mau gak mau ngupgrade kemampuan anak di rumah,kalo pengen nilai anaknya bagus. Nilai anak bagus motifnya juga sebenernya kalo saya bukan ke masalah prestasi akademik, tapi masalah perkembangan psikologis anak. Anak usia SD gini kan lagi tahap industri vs inferiority. Makin sering dia berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik, makin PD lah dia kelak, dan makin sering dia gagal, jadilah kelak dia pribadi inferior. Kepengennya sih kurikulumnya diturunin, tapi apa boleh buat dah terlanjut masuk ke sini. So, ngos-ngosan ngajarin anak dengan bahan UAS sebanyak itu. Sekitar 5 BAB, dengan anak kondisi awalnya blank. Mules euy, pengen fun learning juga jadi susah.
Nah di acara itu, seperti biasalah kita sebagai orangtua bertanya, konfirmasi atau komplen. Aura-aura kecemasan orangtua begitu nyata. Aura-aura ambisi orangtua juga nyata banget. Di detik-detik terakkhir pertemuan, seorang ibu mengangkat tangannya,mohon izin bicara. Ibu ini dari tadi belum ikut berdialog, baru kali ini beliau bicara.
Ibu ini bicara dengan terbata-bata, sepertinya banyak yang ingin dia ungkapkan, ia sedang mengatur kata yang pas. Ekspresi mukanya tegang, duh mau komplen apa nih?
Akhirnya keluar juga kata-kata beliau: "bapak, ibu terima kasih atas bimbingan bapak-ibu guru, anak saya kalo adzan terdengar langsung pergi ke mesjid, kebetulan mesjid depan rumah, dan yang membuat saya terharu kemarin dari pengeras suara mesjid terdengar suara anak saya yang sedang berdo'a. Saya terharu sekali. Jadi saya sangat berterimakasih, terlepas dari permasalahan akademik yang dialami. Sekali lagi terima kasih"
Nyes, seperti ada tetesan embun di hati ini, bayangkan saja selama dua jam pertemuan, tidak ada satupun pernyataan positif dari orangtua, apalagi berterima kasih pada guru. Yang lebih nyes lagi, saya tahu banget bagaimana kondisi akademis putra ibu tersebut. Banyak nilainya yang masih jauh dari bagus. Nilai 7 yang saya suka anggap sebagai nilai perbatasan,oleh ibu ini dinilai bagus, dan nilai di bawah 5, seperti tidak terlalu dicemaskan. Dia maklum karena dia merasa sebagai ibu bekerja tidak sempat mengajari anaknya di rumah (kok nggak komplen ya, harusnya kan tidak begitu, harusnya kan anak bisa dapat banyak dari sekolah).
Wah kalo saya jadi ibu ini, saya dah komplen habis-habisan, tappiiii ibu ini malah berterima kasih. Ibu ini malah fokus pada hal yang positif, yang sudah dicapai. Hua...jadi terharu, jadi teringat bahwa banyak hal yang positif yang sudah Akmal capai juga. Sama seperti putra Ibu tersebut, kalo tiap adzan Akmal selalu ke mesjid bersama adiknya, berdua saja karena kebetulan mesjid depan rumah. Sholat dengan khusyu dengan membaca bacaan sholat dengan tenang. Hmmmm, kenapa saya tidak fokus ke sini. Panik...panik dan panik terus dengan urusan akademiknya. Padahal tujuan saya memasukkan anak ke SDIT awalnya juga hanya ini: pengkondisian. Memasukkan anak ke lingkungan yang mengkondisikan dia selalu teringat pada Allah SWT.
Wise Mom, benar-benar deh, salut,dan kapan saya bisa seperti ini?
Episode wise mom, ini saya dapet ketika pertemuan orangtua menjelang UAS semester I. Hiii UAS, istilahnya ya...istilah zaman kita kuliah. Jadi pas dikumpulin tuh berasa sayanya yang mau ujian. Apalagi dipresentasikan batas nilai minimum tiap pelajaran. Adanya remedial kalo gagal,halagh jadi inget zaman SMA sering ikut remedial, hampir tiap pelajaran, hiks. Sekarang membayangkan Akmal akan memasuki dunia yang penuh dengan "kekerasan" seperti itu. Duh, Hiperbola sekali ya ibu yang satu ini:)
Bener, nggak pernah kebayang sebelumnya akan mengalami acara-acara seperti ini, membicarakan ujian akhir anak kelas 1 SD seserius ini. Yang terbayang tadinya,kalo kelas 1 masih main-main aja, santai-santai gitu, nggak ada tuntutan-tuntutan. Gimana nggak stress kalo kompetensi yang diharapkan tinggi banget, kurikulum padet banget, tapi gurunya? belum bisa memformulasikan bagaimana mengantarkan kurikulum padat itu ke fun learning yang bisa mencapai kompetensi tinggi seperti yang diharapkan kurikulum.
Jadi yang kejadian adalah guru menyelenggarakan fun learning, anak seneng, Alhamdulillah, tapi tujuan kurikulum yang tinggi tidak tercapai di sekolah. Ujian tetep pake standar tinggi itu, so kita,orangtua mau gak mau ngupgrade kemampuan anak di rumah,kalo pengen nilai anaknya bagus. Nilai anak bagus motifnya juga sebenernya kalo saya bukan ke masalah prestasi akademik, tapi masalah perkembangan psikologis anak. Anak usia SD gini kan lagi tahap industri vs inferiority. Makin sering dia berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik, makin PD lah dia kelak, dan makin sering dia gagal, jadilah kelak dia pribadi inferior. Kepengennya sih kurikulumnya diturunin, tapi apa boleh buat dah terlanjut masuk ke sini. So, ngos-ngosan ngajarin anak dengan bahan UAS sebanyak itu. Sekitar 5 BAB, dengan anak kondisi awalnya blank. Mules euy, pengen fun learning juga jadi susah.
Nah di acara itu, seperti biasalah kita sebagai orangtua bertanya, konfirmasi atau komplen. Aura-aura kecemasan orangtua begitu nyata. Aura-aura ambisi orangtua juga nyata banget. Di detik-detik terakkhir pertemuan, seorang ibu mengangkat tangannya,mohon izin bicara. Ibu ini dari tadi belum ikut berdialog, baru kali ini beliau bicara.
Ibu ini bicara dengan terbata-bata, sepertinya banyak yang ingin dia ungkapkan, ia sedang mengatur kata yang pas. Ekspresi mukanya tegang, duh mau komplen apa nih?
Akhirnya keluar juga kata-kata beliau: "bapak, ibu terima kasih atas bimbingan bapak-ibu guru, anak saya kalo adzan terdengar langsung pergi ke mesjid, kebetulan mesjid depan rumah, dan yang membuat saya terharu kemarin dari pengeras suara mesjid terdengar suara anak saya yang sedang berdo'a. Saya terharu sekali. Jadi saya sangat berterimakasih, terlepas dari permasalahan akademik yang dialami. Sekali lagi terima kasih"
Nyes, seperti ada tetesan embun di hati ini, bayangkan saja selama dua jam pertemuan, tidak ada satupun pernyataan positif dari orangtua, apalagi berterima kasih pada guru. Yang lebih nyes lagi, saya tahu banget bagaimana kondisi akademis putra ibu tersebut. Banyak nilainya yang masih jauh dari bagus. Nilai 7 yang saya suka anggap sebagai nilai perbatasan,oleh ibu ini dinilai bagus, dan nilai di bawah 5, seperti tidak terlalu dicemaskan. Dia maklum karena dia merasa sebagai ibu bekerja tidak sempat mengajari anaknya di rumah (kok nggak komplen ya, harusnya kan tidak begitu, harusnya kan anak bisa dapat banyak dari sekolah).
Wah kalo saya jadi ibu ini, saya dah komplen habis-habisan, tappiiii ibu ini malah berterima kasih. Ibu ini malah fokus pada hal yang positif, yang sudah dicapai. Hua...jadi terharu, jadi teringat bahwa banyak hal yang positif yang sudah Akmal capai juga. Sama seperti putra Ibu tersebut, kalo tiap adzan Akmal selalu ke mesjid bersama adiknya, berdua saja karena kebetulan mesjid depan rumah. Sholat dengan khusyu dengan membaca bacaan sholat dengan tenang. Hmmmm, kenapa saya tidak fokus ke sini. Panik...panik dan panik terus dengan urusan akademiknya. Padahal tujuan saya memasukkan anak ke SDIT awalnya juga hanya ini: pengkondisian. Memasukkan anak ke lingkungan yang mengkondisikan dia selalu teringat pada Allah SWT.
Wise Mom, benar-benar deh, salut,dan kapan saya bisa seperti ini?
Comments (0)
Post a Comment