Label:

Selama saya belum menikah, saya hanya mengenal sakit flu, maag dan masuk angin plus demam berdarah karena pernah sakit waktu saya kecil. Tidak ada pengalaman menemani anggota keluarga operasi atau sakit berat lainnya Alhamdulillah. Jika saya mengeluh sakit perut, maka saya akan mendapat olesan kayu putih atau kerokan bawang merah, masuk angin katanya. Panas cukup diberi b*dr*x*n. Kalau agak kompleks dalam arti campur-campur gejalanya sama batuk pilek, tinggak ke puskesmas dan diberi obat standar...obat anti mual warna hijau, penambah nafsu makan, antibiotik:)

Begitulah bekal pengetahuan standar saya tentang kesehatan ketika saya mulai menjalani kehidupan baru, sebagai istri dan ibu. Sakit perut selalu dihubungkan dengan masuk angin. Mual selalu dihubungkan dengan maag.

Namun ternyata dalam kehidupan rumah tangga saya, pengetahuan standar itu tidak cukup. Beberapa kali anak saya masuk rumah sakit dan harus dirawat karena mengalami sakit yang tidak saya kenal sebelumnya, seperti Infeksi Saluran Kencing (ISK), Infeksi Telinga, dan Usus Buntu. Ada juga penyakit yang pernah dituduhkan pada anak saya sehingga saya harus mencari second opinion berkali-kali karena konsekuensinya tidak ringan alias berobat rutin tiap hari selama 6 bulan, penyakit itu adalah TB Paru pada anak.

Dari beberapa penyakit tersebut, ada yang gejalanya tidak langsung nyata, hanya karena saya tidak menyadarinya sebagai gejala yang perlu diwaspadai. Seperti sakit infeksi saluran kencing yang pernah dialami Hanif, saya menyadarinya ya setelah berobat ke dokter, karena Hanif menjerit-jerit tengah malam, lalu buang air kecil dengan urin berwarna putih seperti susu. Setelah Hanif sembuh dengan solusi khitan, barulah saya menyadari bahwa dia kesulitan buang air kecil sudah lama, sejak bayi. Hanif jika mau buang air kecil, selalu terdiam dulu, konsentrasi, baru buang air kecil. Saya dengan lugu mengiranya hal tersebut karena gaya kyang khas untuk setiap anak.

Ternyata proses belajar untuk menyadari gejala lebih dini belumlah cukup sampai di situ. Saya perlu menjalani episode belajar berikutnya. Suatu malam suami mengeluh sakit perut, dengan entengnya saya menyimpulkan itu masuk angin, dan saya kembali tertidur karena hari itu memang begitu melelahkan. Ternyata sakit perut itu berkepanjangan, kayu putih tak cukup mengatasinya. Pergilah suami ke dokter, seorang diri. Kenapa ya, saya nggak ikut? Padahal biasanya sayalah yang akan berhadapan dengan dokter, mendengarkan secara seksama diagnosanya dan bertanya ini dan itu. Ini bagian episode yang masih disesali sampai sekarang. Waktu itu suami memutuskan pergi sendiri.

Pulang dari rumah sakit, membawa obat seplastik...banyak sekali obatnya. "Kenapa katanya Yah?" "Maag" kata suami. Oo maag...tuh benar kan maag.....

Ternyata sakit terus berlanjut walau sudah meminum obat...dan episode ini terus bergulir seperti yang pernah saya ceritakan di catatan sebelumnya, ternyata suami saya mengalami kebocoran usus dan harus dioperasi. Usus bocor kemungkinan karena radang usus buntu yang pecah.

Benar-benar yang saya sesali adalah sikap menyepelekan yang saya lakukan. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan, yang hampir saja membuat saya kehilangan suami tercinta. Maut memang sudah ditakdirkan, namun prosesnya tentu jangan sampai konyol, pffh.

Belakangan, beberapa waktu setelah episode operasi perut suami. Saya mulai merasa perlu mempelajari masalah kesehatan. Saya menyadari ada kalanya, seorang istri atau ibu menjadi "dokter" pertama bagi suami dan anak-anak. Saya menjadi rajin membaca artikel kesehatan. Apalagi di internet banyak dokter baik dokter umum hingga spesialis yang mau berbagi ilmu kepada masyarakat. Dari sanalah saya mengerti bahwa kasus yang suami alami itu adalah kasus yang umum terjadi, hanya saya tidak tahu. Kasus radang usus buntu yang pecah, sampe membuat rusak usus yang lain, dan menyebarkan kuman ke perut..

Enam bulan setelah suami operasi, Akmal anak pertama kami, mengeluh sakit perut. Duh, terus terang deg-degan sekali saya, masih trauma mengingat penderitaan yang dialami Ayahnya. Saya biasanya menasihatinya agar makan teratur, dan pola hidup lainnya yang masih saja belum Akmal jalankan. Saya juga menduga-duga kalau sakitnya ini berhubungan dengan sekolahnya yang stressfull. Untuk memastikannya, saya periksakan Akmal ke klinik terdekat, dan hasilnya ternyata sama, tidak ada gangguan di perutnya, mungkin karena stress saja dan kurang teraturnya pola makan.

Tapi ternyata sakit perut itu berulang-ulang dikeluhkan, walau tidak intensif. Terutama di kelas dua ini jarang sekali. Hanya saja dalam selang 3 minggu terakhir, sudah dua kali dia mengeluh kesakitan. Yang terakhir hanya mengeluh: seperti mual, tapi sepertinya tersiksa sekali, persis ekspresinya seperti ekspresi Ayahnya tahun lalu.

Kamis malam dia mengeluh sakit perut seperti mual. Lalu muntah. Ditengah-tengah erangan dia, saya buka google dan membuka link situs2 yang menjelaskan gejala sakit perut pada anak. Dari situs tersebut saya mengetahui, jika ada yang mengeluh sakit perut, kita perlu segera mencari tahu di lokasi mana sakit itu berada, perut atas, kanan, kiri, tengah, kanan bawah atau kiri bawah? Itulah langkah pertama yang perlu dicari tahu jika ada yang mengeluh sakit perut. Jangan mengidentikan perut perih sama dengan maag!!! Ahh itu dokter yang mendiagnosa Ayahnya juga ya...bisa-bisanya mendiagnosa maag, sekolah di kedokteran apa bukan??? Padahal waktu Ayahnya periksa, sakitnya masih terlokalisir, hingga diberi obat anti nyeri sakit oleh dokter, sehingga sakitnya menjadi tidak jelas di mana. Diagnosa semakin sulit tegak.


Saya nggak mau kesalahan diagnosa terulang lagi untuk Akmal. Saya bertanya pada Akmal, "sakitnya dimana?" Akmal menunjukkan di puser dia sakit, perut bagian tengah. Saya cari lagi di situs mengenai keluhan di perut bagian tengah. Inna lillahi wa inna illaihi roji'un, lemas saya karena menurut situs tersebut, sakit perut di tengah yang sifatnya timbul tenggelam adalah gejala awal usus buntu kronis. Sementara di jelaskan lebih lanjut bahwa usus buntu hanya bisa diatasi dengan membuangnya, dan terlambat bisa menyebabkan usus buntu pecah.

Keesokan harinya, jum'at pagi. Akmal terlihat lebih segar. Walau demikian saya mengizinkan dia untuk tidak sekolah, dan bermain bersama Hanif di rumah. Saya mulai berharap dia hanya gangguan pencernaan, karena melihat dia seperti semakin membaik keadaannya. Ternyata sorenya dia mengeluh lagi, badannya lemas, wajahnya pucat. Walau keluhan itu berkurang ketika perutnya saya olesi dengan kayu putih, tetapi perasaan saya mengatakan kalau ia harus segera saya bawa saja dia ke dokter. Saya pergi mengantarkan Akmal ke rumah sakit sambil dibayangi mimpi buruk penderitaan usus buntu pecah yang dialami Ayahnya.

Saya pilih dr Huda Hilman,dokter spesialis anak yang cukup terkenal di depok, dengan harapan diagnosa tidak meleset. Hanya beberapa menit saja yang dibutuhkan beliau untuk menegakkan diagnosa usus buntu pada Akmal. Karena saya sudah membaca situs kesehatan tadi malam, saya sudah siap mendengarnya, dan siap juga mendengar kalau Akmal dirujuk ke dokter bedah anak. Diperiksa ulang oleh dokter bedah anak, disimpulkan dengan diagnosa yang sama.

Dalam waktu yang terbatas, saya memotivasi Akmal, yang ketakutan. Akmal meminta operasi dilakukan besoknya. Tapi saya takut kalo harus menunda-nunda, karena Ayahnya tertunda sehari saja sudah semakin parah keadaaannya. Saya bujuk Akmal. Mengajaknya bersyukur karena operasi yang dilakukan termasuk operasi sedang bukan operasi besar seperti Ayahnya. Bersyukur karena dari gejala yang terdeteksi lebih dini, membuatnya "hanya" mengalami operasi sedang. Menjelaskan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dijalani jika tertunda operasinya.

Alhamdulillah akhirnya Akmal mau juga di bawa ke ruang operasi. Operasi berjalan lancar, dan kita Akmal sudah sehat, tinggal istirahat beberapa hari lagi. Alhamdulillah.

Dari pengalaman tersebut, saya ingin berbagi,
- Jangan sepelekan keluhan sakit pada anak, pasangan ataupun diri kita
- Pilihlah dokter yang tepat, karena saya sudah mengalami beberapa kali kesalahan diagnosa
- Rajinlah berkenalan dengan dokter, paling tidak bisa menjadi second opinion bagi kita.
- Bersikap kritislah pada dokter.
- Pelajari anatomi sedikit-sedikit, ya mengulang pelajaran biologi, untuk pengetahuan kita memahami sakit yang anak alami
- Berdo'alah, itu senjata utama kita

Mudah-mudahan kita semua senantia diberi nikmat kesehatan dan keselamatan. Amiin

Comments (0)