Teringat masa SD, saat itu sepulang sekolah, bergegas saya pergi ke rumah guru untuk belajar. Sepertinya sih hampir setiap hari. Di rumah guru tersebut saya merasa lebih mengerti pelajaran yang ada di sekolah. Dulu dedikasi guru demikian tinggi, seingat saya sih itu les gratisan, karena orangtua tidak pernah meminta guru tersebut memberi les pada saya.

Ketika SMP dan SMA, saya pun masih saja memerlukan bantuan les/ bimbel. Ada perasaan tidak percaya diri kalau tidak dibantu les. Plus nilai juga memang naik ketika saya mengambil les. Nge-blank saat di kelas, dan mengerti ketika les, itulah saya.

Apa mau dikata, pengalaman saya di waktu kecil, ternyata berulang pada anak saya. Nge-blank saat di kelas, dan mengerti saat di rumah.

Terus terang ketika Akmal masuk kelas 1, saya tidak mempersiapkan diri untuk mendampingi belajar. Saya pikir "ah baru kelas 1, santai-santailah". Tapi ternyata kurikulum zaman sekarang tidak cocok bagi saya yang ingin bersantai-santai, dan bagi Akmal yang mudah terpecah konsentrasinya.

Merubah Mind Set
Dulu saya pikir dengan bersekolah di sekolah full day school, tugas saya sebagai ibu menjadi lebih ringan. Saya pikir sekolah full day school adalah sekolah yang memiliki target tuntas belajar di sekolah. Artinya anak tuntas belajar, keluar sekolah ia sudah paham pelajaran yang ia dapat di sekolah, dan di rumah ia tinggal eksplorasi hal lainnya.

Namun adalah kenyataan bahwa ternyata Akmal tidak bisa tuntas belajar di sekolah. Akmal memerlukan pendampingan, sama halnya dengan saya ketika kecil. Sebagian materi di sekolah, tidak ia ingat dengan baik. Akmal kurang fokus saat menyelesaikan tugasnya atau menyimak pelajaran. Ia memang tampak kalem, duduk tenang, sehingga gurupun kerap tidak menyadari kalau ia belum paham. Padahal ia adalah anak yang mudah terpecah konsentrasinya, ada hal yang menarik di sekitarnya ia akan menoleh, dan memperhatikan dengan seksama hal tersebut.

Saya menyadari hal ini, saat ia akan menghadapi ulangan pertamanya. Saya bertanya-tanya mengapa sedikit sekali materi pelajaran yang ia ingat dan pahami. Hal ini terus terjadi hingga ia duduk saat ini di kelas tiga. Saya sempat merasa kesal, dan mempertanyakan fungsi sekolah, ketika saya harus mengajarinya dari nol. Seakan-akan ia tidak pernah hadir di kelas.

Namun seiring dengan waktu, saya semakin menyadari bahwa mau sekolah di manapun, sulit untuk mengharap pada sekolah, kecuali saya mau merogoh dompet lebih dalam. Karena sebagian besar pendekatan di sekolah saat pengajaran adalah pendekatan klasikal. Bagi Akmal yang mudah terpecah konsentrasiny, adalah suatu keniscayaan untuk mendapat pendampingan belajar secara individual. Di manakah saya bisa memperoleh sekolah yang mendampingi individual dengan harga terjangkau? Akhirnya saya menyadari adalah tugas saya sebagai ibu untuk mendampingi belajar secara individual. Pilihan saya hanya dua, mendampingi atau mencari guru pendamping, dan tentu saja saya pilih yang pertama.


Menata Waktu
Terus terang bagi saya, seorang ibu yang banyak keinginan, harus secara rutin mendampingi belajar secara individual di rumah, tidaklah mudah. Secara saya adalah ibu yang mudah terpecah konsentrasinya, banyak keingingan, banyak yang ingin dikerjakan dalam satu waktu, tidak fokus. Sebelas dua belas sama anaknya. Apalagi waktu pertama kali bisa bebas ngefesbuk or chatting, bisa berjam-jam menghabiskan waktu untuk fesbuk dan chat, sampai lupa mengajak anak belajar. Fiuh.

Sekarang Akmal sudah kelas tiga, pelajarannya semakin hari semakin banyak. Bukunya semakin penuh dengan teks. Mau tidak mau, saya harus lebih disiplin menyediakan waktu. Layaknya seorang guru les, saya mempelajari kurikulum, dan soal-soal evaluasi dari buku di luar buku pegangann anak. Saya juga browsing beberapa situs games edukatif, supaya ada multi metode bagi anak untuk belajar. Membaca buku-buku tentang otak, sekedar mengingatkan bagi saya cara belajar bagi Akmal yang tepat.

Situs-situs games edukatif seperti www.multiplication.com, buku-buku pendidikan dan psikologi sebenarnya lebih banyak berguna bagi saya. Sekedar untuk menurunkan ketegangan saya, yang sudah membawa karakter pencemas dan mudah mengalami ketegangan.

Menata waktu, untuk fokus mendampingi anak belajar, adalah menjadi keharusan saat ini. Konsekuensinya, saya memang jarang online, atau tidak terlalu bisa melakukan hal lain. Ya...itulah konsekuensi menjadi ibu, dengan amanahnya untuk merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Kalau saya tidak fokus. Terbayanglah seorang yang tidak fokus mendampingi anak-anak yang juga tidak fokus....heu...heu Apalah jadinya?


Comments (0)