Label: , ,

Hati anak yang bening, bisa menjadi pelajaran bagi Ayah dan Ibu.

Hanif, adalah anak yang riang, jarang menangis, jarang rewel, kooperatif. Ia senang berteman, dan jarang menyakiti teman. Satu hal saja yang membuat ibu berpikir...bagaimana jika ia sekolah kelak...karena tampak cuek sekali. Beberapa kali diajak mengenal angka dan huruf...tampak tak berminat, tampak sulit memahami, tampak sulit mengingat.

Tampak tak berminat, tampak sulit memahami, tampak sulit mengingat, disimpulkan lagi-lagi dari membandingkan. Membandingkan Hanif dengan...siapa lagi kalau bukan...Akmal.

Ya....Akmal sudah bisa membaca di TK A, sedangkan Hanif di usia 4 tahun dia belum hafal nama huruf pun.

Dengan pertimbangan, di sekitar rumah, lebih banyak TK Akademik, yang lebih konsentrasi pada mengajarkan calistung daripada kreativitas, plus melihat Hanif masih punya banyak teman di rumah, maka kami memutuskan untuk menunda masuknya Hanif ke sekolah. Tidak tega, membayangkan dia bingung ini huruf apa dan apa, di sekolah bersama gurunya, menatap bingung gurunya.

Setahun kemudian, di usia 5 tahun 3 bulan, Hanif masuk TK, masih dengan belum hafal huruf. Ibu masih deg-degan khawatir dia minder. Tapi sisi lain, yakin inilah saatnya dia sekolah, karena dia kan juga perlu sarana untuk sosialisasi di luar lingkungan rumahnya. Bertemu dengan dunia nyata, mungkin dengan sosok dewasa yang lebih tegas, atau teman yang lebih jail.

Euforia sekolah begitu terasa. Tak di duga, Hanif yang cuek ternyata lebih teratur, lebih terencana. Kok beda ya dengan ibunya yang cuek, tidak teratur dan tidak terencana (glek).

Satu poin asumsi yang ternyata salah:), ternyata tidak selalu anak yang tampilannya cuek jadi tidak terencana, atau semaunya.

Mempersiapkan perlengkapan sekolah sejak malam, walau perlengkapan sekolahnya hanya seragam sekolah, tak ada yang lain.

Suatu kali, Hanif ditanya: "sudah IQRO berapa?" oleh seorang sanak saudara.
Hanif menjawab dengan riang, semangat dan penuh percaya diri "IQRO 1!"
Ibupun senang mendengar jawabannya yang penuh percaya diri tadi.
Eh ternyata, sang penanya berkata: "loooooh kok baru IQRO 1, Doni (bukan nama sebenarnya) saja yang baru TK A sudah IQRO 2, terlambat sih ya sekolahnya....baru sekarang"
Hiks..kaget...iya ya....IQRO 1, untuk ibu-ibu zaman sekarang mah tampak tak ada harganya. Hanif tidak merespon. Sungguh saya khawatir, akan apa yang dia pikirkan. Tapi sekali lagi, inilah dunia nyata, yang mungkin tak seindah dunia rumah, dimana setiap semangat dihargai sebagai prestasi.

Beberapa hari kemudian, setiap kali pulang sekolah, Hanif bercerita kalau teman-temannya sudah IQRO 4 atau IQRO 2, dan ia masih IQRO 1. Kali lain bercerita kalau temannya sudah membaca buku cerita, dan ia masih belajar membaca. Saya meraba, ini cerita minder atau cerita saja. Setiap kali ia bercerita, saya selalu menyemangatinya. "Ngga apa-apa dek, yang penting kamu selalu semangat untuk belajar, pada akhirnya nanti akan sama kok, sama-sama bisa"
dan kakaknya menimpali "udah dek...ngga usah lihat oranglain"
Ternyata saya dan masnya sama-sama mengira Hanif ngeper, dan khawatir turun semangatnya.

Setelah itu, setiap pulang sekolah Hanif selalu minta belajar, baik itu IQRO maupun belajar membaca. Dia selalu semangat, riang. Kalau sedang jenuh, ia akan meminta untuk belajar langsung dari buku cerita saja, mengeja.

Dari ekspresi wajahnya, tampak dia menikmati sekali. Ternyata ketika teman-temannya lebih darinya, dia tidak gentar sedikitpun. Subhanallah....Alhamdulillah. Berpikir positif , kalau dia rajin belajar, dia juga akan sama dengan teman-temannya.

Asumsi yang salah lagi: ketika anak terbentur pada lingkungan yang unggul, bisa jadi anak minder. Ternyata tidak selalu demikian, bisa jadi membuat anak lebih terpacu untuk lebih baik, tergantung apakah ia terbiasa berpikir positif atau negatif.

Asumsi baru: bisa jadi yang minder mah ibunyaaaa!!!

Satu hal lain, ada yang unik. Hanif mencari hal yang unggul, yang tidak dimiliki teman-temannya, yaitu tidak pernah bolos sekolah. Walau ia merasa tidak enak badan, ia selalu berusaha untuk sekolah. Ia sering berkata: "Aku belum pernah bolos, kalo temanku A, B,C dah pernah. Meskipun sakit aku akan selalu berusaha sekolah!"

Suatu hari, kami mengabarkan kalau ada rencana ke bandung, di bulan ini. Respon pertama Hanif adalah bertanya:"memangnya senin dan selasa itu sedang libur?" (karena rencananya kami ke bandung hari sabtu-selasa). Ah tentu saja tidak libur, buat kami sih tak mengapalah tak libur juga, selama tidak sedang ujian. (ditambah embel-embel di otak kami: masih TK/ SD ini)

Sampai waktunya ke Bandung tiba, ternyata Hanif enggan untuk ikut. Ia menyatakan alasan, kalau tidak mau bolos sekolah.

Waaah..ternyata serius juga ya anak ini, kalau tidak mau bolos. Dieksplorasi alasannya, ia tidak mau ketinggalan pelajaran, "Kalau Aku ngga sekolah, IQROku jadi lambat"

Hiks ibu terharu...mengingat berbagai underestimate yang pernah diberikan padanya.

Berkoordinasilah saya pada Ayahnya, dan kami sepakat untuk mengikuti pemikirannya, yaitu pulang lebih awal supaya tidak bolos sekolah. "Hari minggu saja pulangnya" kata Ayah.

Langsunglah saya tawari, "Kalau pulang hari Minggu, gimana Dek, jadi kamu Seninnya sekolah ngga bolos. Hanif langsung mengangguk.

Tetapi yaaa setelah kami, orang dewasa ini berpikir, kok rasanya capek banget mondar mandir, sabtu minggu. Akhirnya kami malah berusaha membujuknya untuk mau pulang senin, konsekuensinya dia tidak masuk sekolah. Tapi dengan olah bahasa, supaya tidak meruntuhkan target prestasi Hanif "jadi anak yang tidak pernah bolos sekolah"

Beraaaat rasanya melakukan bujuk membujuk ini, karena terus terang saya sudah sangat respek pada alasannya. Tetapi dengan berbagai pertimbangan,keperluan kami di Bandung juga prioritas, maka akhirnya Ayahnya membujuknya begini....

"Hanif...tidak sekolah itu kan bukan berarti bolos. Ada tiga jenis, tidak masuk karena sakit, tidak masuk karena izin ada keperluan, tidak masuk karena bolos. Bolos itu artinya tidak sakit, tidak ada keperluan penting, tidak memberi kabar, tidak sekolah"

Jadi...kalau Hanif sekarang ke Bandung mau ada keperluan penting, dan izin pada Bu Guru, itu bukan bolos.....bla..bla...bla..."

"Ayah ibu bangga Hanif rajin sekolah..bla...bla..bla"

Jadi bagaimana?

Hanif berpikir...beraaat tampak di wajahnya...dan ia pun menggeleng.

Gubrak...

"Kenapa Dek? (mencoba meraba pikirannya), Adek ngga mau ketinggalan pelajaran ya?"

Hanif mengangguk

"Kalau buku-bukunya dibawa? Jadi nanti bisa belajar di sana.., mau?"

Mengangguk lagi....

Ooo itu alasan yang utama ternyata... tidak mau ketinggalan pelajaran. Baiklah....

--

"Asik..dua hari lagi kita ke Bandung..." Hanif bernyanyi-nyanyi dengan riang
Hanif ternyata senang ke Bandung, berarti sebelumnya dia rela untuk tidak pergi, supaya tetap bisa sekolah.

Memang beberapa kali, dia memang menunjukkan keteguhan hati untuk mencapai sesuatu, dan rela bersusah-susah....

Pelajaran kesekian kali untuk orangtuanya yang seringkali ciut melihat lingkungan yang lebih unggul. Cepat menyerah dan minderan:)

Catatan yang penting buat saya: Janganlah membandingkan kemampuan anak dengan siapapun, karena perkembangan setiap anak itu unik. Perkembangan anak bukanlah matematika, tidak ada rumus yang pasti, dan tak selalu terprediksi hasilnya.

Comments (0)