Setiap pagi, rumahnya Husna terlihat sibuk. Husna dan kakaknya_Ali tampak asyik bermain bersama teman-temannya Mereka bermain sambil disuapi makan oleh Bundanya. Sang bunda menyuapi dengan tergesa-gesa, maklum waktunya pergi ke kantor hampir tiba. Namun Sang Bunda ingin sebelum pergi ia telah menunaikan tugasnya sebagai ibu, menyuapi anaknya yang termasuk sulit makan.
Tak lama kemudian Ayah Bunda mereka tampak mempersiapkan diri pergi ke kantor. Ada ketergesaan yang berusaha mereka kendalikan. Ada hal yang rutin terjadi, dan perlu diantisipasi. Ya, setiap melihat Ayah Bundanya pergi, Husna selalu menangis.
Untuk mencegah hal tersebut, Bunda meminta Husna dan Ali bermain di rumah Bunda Hamzah. Ok! Berangkat....
Tak ada tangisan meraung-raung melihat sang bunda pergi karena Husna tak melihat Bundanya pergi. Strategi yang bagus. Tapi sampai kapan ya strategi ini dijalankan?
Bukankah seorang anak menangis ketika bundanya pergi hanya karena cemas kalau-kalau sang bunda tak kembali. Jika setiap pagi anak melihat Bunda pergi, dan setiap sore anak melihat Bunda pulang, lama-lama (perlu waktu memang) sang anak akan yakin jika Bunda pergi di pagi hari, nanti sore Bunda akan pulang. Ketika kepercayaan itu muncul, kecemasan berkurang, maka tangisan rutin di pagi hari sepertinya juga akan menghilang.
Ayah Bunda Husna telah pergi bekerja. Lalu bagaimana aktvitas mereka di rumah? Husna sering menangis. Menangis dengan keras, sekeras-kerasnya. Bu De (sebutan untuk pengasuh mereka) menggendong Husna dengan raut wajah yang tak ramah (mungkin cape). Ketika kakaknya_Ali berulah, Bu De langsung berteriak "Ali, ayo jangan nakal! Ali!
Bu De tampak repot mengurus Husna dan Ali (Hmmh seperti repotnya saya mengasuh anak-anak) Bahkan Bu De lebih repot lagi karena urusan rumah tangga ia pegang (kalau saya kan urusan rumah tangga di pegang asisten).
Terkadang karena keterbatasan, anak-anak ditinggal dengan pengasuh yang memiliki multi tugas. Selain mengasuh, menyuapi, menidurkan, memandikan, menengahi mereka kala bertengkar, pengasuh juga punya tugas membereskan rumah, mencuci, menyetrika. Wow...banyak sekali. Padahal seorang ibu FTM saja yang memang sejatinya punya tugas sebanyak itu, banyak yang tidak sanggup atau merasa perlu mendelegasikan tugas-tugas tersebut.
Kala Bunda bekerja, sepertinya akan lebih baik jika system supportnya dipersiapkan dengan benar. Di estimasi dengan tepat kekuatan asisten yang kita rekrut. Bisa juga dengan menganalogikannya pada diri kita. Jika kita saja terkadang terpancing sisi emosionalnya ketika anak-anak sedang berprilaku sulit, bagaimana dengan asisten kita. Jika kita saja merasa perlu untuk mendelegasikan sebagian tugas rumah tangga pada asisten, bagaimana dengan asisten kita, sanggupkah mereka mengurus segalanya.
Tak lama kemudian Ayah Bunda mereka tampak mempersiapkan diri pergi ke kantor. Ada ketergesaan yang berusaha mereka kendalikan. Ada hal yang rutin terjadi, dan perlu diantisipasi. Ya, setiap melihat Ayah Bundanya pergi, Husna selalu menangis.
Untuk mencegah hal tersebut, Bunda meminta Husna dan Ali bermain di rumah Bunda Hamzah. Ok! Berangkat....
Tak ada tangisan meraung-raung melihat sang bunda pergi karena Husna tak melihat Bundanya pergi. Strategi yang bagus. Tapi sampai kapan ya strategi ini dijalankan?
Bukankah seorang anak menangis ketika bundanya pergi hanya karena cemas kalau-kalau sang bunda tak kembali. Jika setiap pagi anak melihat Bunda pergi, dan setiap sore anak melihat Bunda pulang, lama-lama (perlu waktu memang) sang anak akan yakin jika Bunda pergi di pagi hari, nanti sore Bunda akan pulang. Ketika kepercayaan itu muncul, kecemasan berkurang, maka tangisan rutin di pagi hari sepertinya juga akan menghilang.
Ayah Bunda Husna telah pergi bekerja. Lalu bagaimana aktvitas mereka di rumah? Husna sering menangis. Menangis dengan keras, sekeras-kerasnya. Bu De (sebutan untuk pengasuh mereka) menggendong Husna dengan raut wajah yang tak ramah (mungkin cape). Ketika kakaknya_Ali berulah, Bu De langsung berteriak "Ali, ayo jangan nakal! Ali!
Bu De tampak repot mengurus Husna dan Ali (Hmmh seperti repotnya saya mengasuh anak-anak) Bahkan Bu De lebih repot lagi karena urusan rumah tangga ia pegang (kalau saya kan urusan rumah tangga di pegang asisten).
Terkadang karena keterbatasan, anak-anak ditinggal dengan pengasuh yang memiliki multi tugas. Selain mengasuh, menyuapi, menidurkan, memandikan, menengahi mereka kala bertengkar, pengasuh juga punya tugas membereskan rumah, mencuci, menyetrika. Wow...banyak sekali. Padahal seorang ibu FTM saja yang memang sejatinya punya tugas sebanyak itu, banyak yang tidak sanggup atau merasa perlu mendelegasikan tugas-tugas tersebut.
Kala Bunda bekerja, sepertinya akan lebih baik jika system supportnya dipersiapkan dengan benar. Di estimasi dengan tepat kekuatan asisten yang kita rekrut. Bisa juga dengan menganalogikannya pada diri kita. Jika kita saja terkadang terpancing sisi emosionalnya ketika anak-anak sedang berprilaku sulit, bagaimana dengan asisten kita. Jika kita saja merasa perlu untuk mendelegasikan sebagian tugas rumah tangga pada asisten, bagaimana dengan asisten kita, sanggupkah mereka mengurus segalanya.
Comments (0)
Post a Comment