Label:

Hari sabtu lalu, saya sebagai orangtua murid sebuah TKIT di depok, mendapat undangan untuk menghadiri pertemuan orangtua yang biasa dikenal sebagai kegiatan POMG. Tidak ada agenda yang terlalu serius memang, hanya pemberitahuan tentang aktivitas-aktivitas anak yang akan diselenggarakan, dan sebuah ceramah parenting mengenai dampak televisi pada perilaku anak.

Awalnya sebagai orangtua malas juga menghadiri acara tersebut. Inginnya sih jalan-jalan saja dengan suami dan anak-anak. Refreshing. Tapi dipikir-pikir, acara ini sebenarnya salah satu bentuk komitmen sekolah untuk menjalin komunikasi dengan orangtua. Sebagai orangtua harusnya menyambut komitmen ini,kan?

Tapi rasa malas itu begitu kuat, saya putuskan jalan-jalan saja dengan anak-anak. Baru saja kami sekeluarga keluar dari kompleks perumahan, tiba-tiba saja perasaan bersalah tidak mengikuti acara tersebut muncul. "hai….hai bukankah dirimu ingin melakukan advokasi kepada orangtua untuk tidak melepas tanggung jawab mendidik ke pihak sekolah, tapi kok...". Euh! Akhirnya memantapkan niat juga untuk memutar arah menjadi menuju ke sekolah.

Sampai di sana, acara sudah dimulai. Sedikit sekali orangtua yang hadir. Ceramah yang bernarasumberkan psikolog itu menjadi berjalan sangat lambat. Walau di coba untuk dibuat interaktif, orangtua tampaknya adem-adem saja.

Setelah acara selesai, saya kok merasa miris ya. Ke mana para orangtua? Dari total +/- 150 murid hanya 15 orang ibu yang datang, dan 1 orang ayah. Berarti 90% berhalangan hadir, Kalau berhalangan hadir misalnya karena sakit, atau harus menghadiri acara walimah, apakah sampai sebanyak itu ya persentasenya. Menandakan apa fenomena ini?

Dengan konsep Full Day School/ Boarding School, telah dibentuk one stop education di sekolah. Semua materi dapat dikatakan lengkap diberikan pada anak. Perkembangannya orangtua merasa cukup dengan memilih sekolah yang berkualitas (yang kadang dipilih hanya berdasarkan mahalnya), setelah itu menyerahkan semua tanggung jawab pendidikan pada pihak sekolah. Bahkan saat ini fenomena menunjukkan bahwa penyerahan tanggung jawab pendidikan tersebut dilakukan sejak dini, yaitu sejak masa emas perkembangan anak (0-5 th).

Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika orangtua menyadari bahwa sesungguhnya tanggungjawab pendidikan ada pada orangtua.

Rasululullah SAW bersabda: "Tiada seorang bayi pun yang lahir melainkan ia dilahirkan di atas fitrah. Lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Majusi, atau Nasrani" (HR Bukhari)

Imam Ghazali mengatakan: Anak merupakan amanah bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan mutiara yang masih polos tanpa ukiran dan gambar. Ia siap diukir dan cenderung pada apa saja yang mempengaruhinya. Jika ia dibiasakan dan diajarkan untuk berbuat kebaikan, ia akan tumbuh menjadi anak yang baik. Dengan begitu,kedua orangtuanya akan berbahagia di dunia dan akhirat. Demikian juga guru dan pendidiknya. Sedangkan apabila ia dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja seperti binatang ternak, maka ia akan sengsara dan binasa. Dosanyapun akan dipikul oleh orang yang bertanggungjawab untuk mengurusnya dan walinya.

Allah SWT telah memerintahkan orangtua untuk mendidik anak-anak mereka, mendorong untuk itu dan memikulkan tanggungjawab kepada mereka. Allah SWT berfirman:

"Hai orang beriman,peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu,s edangkan para penjaganya adalah malaikat yang kasar dan keras,serta tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (At Tahrim:6)

Oleh karenanya, orangtua lah yang seharusnya merencanakan dan menerapkan konsep pendidikan anaknya dari sejak dalam kandungan. Sekolah sebenarnya hanya berada dalam posisi sebagai mitra orangtua dalam mendidik anak. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka orangtua hanya akan memilih sekolah yang benar-benar sesuai dengan konsep pendidikan yang mereka rencanakan. Orangtua juga tidak akan berhenti berpikir dan berperan sebagai pendidik setelah anaknya masuk sekolah. Mereka akan terus memantau apakah pendidikan di sekolah sejalan dengan pendidikan di rumah, sehingga komunikasi intensif antara orangtua dan pihak sekolah akan terus dilakukan.

Pemahaman orangtua sebagai mitra saat ini semakin tergeser menjadi sekolah lah yang memiliki tanggung jawab penuh akan pendidikan anak Pemahaman orangtua sebagai penanggungjawab pendidikan anak telah semakin bergeser pada tanggung jawab mencari nafkah untuk biaya pendidikan. Konsentrasi orangtua sekarang lebih tersedot pada biaya pendidikan dari pada masalah perannya sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Pergi dini hari, pulang larut malam. Tak sempat berinteraksi dengan anak, apalagi menstimulasi/ mendidik anak. Banyak orangtua yang sudah tidak punya cukup energi dan kemampuan lagi untuk berpikir dan berperan langsung dalam proses pendidikan anak. Gayung bersambut, ketika semakin banyak orang yang memberikan penawaran one stop education dalam konsep full day school dan boarding school.

Keberhasilan sekolah-sekolah dalam mendidik anak ternyata juga memiliki dampak pada kepercayaan diri orangtua dalam mendidik anak. Sedikit saja ada masalah perkembangan anak, orangtua akan segera mencari pihak di luar dirinya untuk mendidik anak. Les-les dan kursus-kursus sangat menjamur saat ini, bahkan anak usia 2 th sudah masuk les membaca. Hal yang sangat tidak diperlukan oleh anak tersebut.

Lantas apa yang salah dengan fenomena tersebut? Bukankah hal yang sinergis jika orangtua yang mencari biaya pendidikan, sekolah yang mendidik anak? Jika relasi orangtua dan sekolah adalah demikian, maka akan ada yang hal yang hilang dalam proses pendidikan dan pengasuhan anak. Hal yang sangat penting dan akan sangat berguna bagi anak kelak, yaitu kualitas interaksi orangtua dan anak. Sangat mungkin antara anak dan orangtua tidak terbentuk relasi yang positif, tidak terbentuk ikatan batin dan kasih sayang antara orangtua dan anak. Anak akan menjadi kering emosinya, ia menjadi asing dengan yang namanya mengekspresikan cinta dan kasih sayang. Apakah hal ini tidak akan ia dapat di sekolah? Sangat sulit, atau katakanlah tidak ideal, karena pendekatan di sekolah adalah pendekatan klasikal. Adakah guru yang sempat mencium dan membelai anak satu persatu. Sebagian besar guru saat ini lebih berkonsentrasi pada masalah akademik dan pendekatan intelektual daripada pendekatan emosional. Bukan berarti guru tidak peduli, tapi memang sangat terbatas waktunya jika guru harus mendekati secara personal anak, satu persatu.

Hausnya anak terhadap kasih sayang orangtua, menyebabkan anak mencari-cari kasih sayang tersebut di lingkungan luar rumah. Jika saja lingkungan luar rumah tersebut steril dari hal-hal yang merusak anak, mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Tetapi saat ini bukankah kita para orangtua sangat tahu bagaimana kondisi lingkungan luar rumah saat ini. Banyak anak pecandu narkoba atau pelaku seks bebas yang diawali dari kehausan mereka akan kasih sayang. Terpenuhinya kebutuhan kasih sayang dari relasi dengan teman sebayanya menggiring mereka pada narkoba dan seks bebas tersebut.

So, marilah kita sebagai orangtua kembali memposisikan diri menjadi pendidik yang utama dan pertama bagi anak. Tidak perlu risau karena keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan masalah akademik misalnya, karena banyak "materi" pendidikan lain yang hanya orangtuanyalah yang dapat mengajarkannya, yang tidak kalah pentingnya dengan materi akademik. Satu lagi yang terpenting janganlah berhenti belajar menjadi orangtua! Karena kitalah guru yang utama bagi anak-anak kita. Tetap Semangat! :)

Comments (0)