Duh gubrags banget nih bulan ini, bulan dengan berbagai ujian. Anak-anak aja ada ujian akhir semester ya, apalagi kita yang udah deket-deket akhir kehidupan...
Ujian pertama: Komputer Ngehang + speedy mati
Sepele, terkesan ecek-ecek tapi ngenganggu banget soalnya komputer saat ini menjadi benda kesayangan. Karena dengannya aku bisa nulis, cari info, cari ilmu,cari teman dan tentu saja cari duit.He3! Kerusakannya jadi bikin aku BT banget. Eh udah gitu jejak kerusakannya diikuti oleh speedy, dah lengkap banget deh rasanya.
Hmmmh, dalam setiap ujian pasti ada pelajaran. Merenung...merenung, ya, akhir-akhir ini aku merasa sudah naik status jadi "addict" dengan yang namanya OL alias online. Ada waktu senggang langsung OL, chatting berlama-lama, browsing, ah sagala rupa sampai melebihi kuota waktu yang ditetapkan. Saking santainya OL, banyak yang terheran-heran, kok bisa OL berlama-lama. Akhirnya mungkin banyak yang terbengkalai, urusan anak, suami dan diri. Sadar...sadar...mohon diampuni atas segala kesalahan.
Menata diri lagi, menata waktu, membaca buku, eh kok jadi nikmat:) Setelah semua terasa nyaman kembali, mulai deh merajuk kepada misua tercinta untuk memperbaiki komputer, sedangkan masalah speedy aku selesaikan sendiri dengan mengontak 147. Urusan speedy langsung beres, petugas telkom langsung datang dan memperbaikinya. Tinggal misua nih, yang kurang semangat mengoprek-oprek, yah diriku pasrah sajalah. Sempet tergoda untuk membeli laptop baru saja, tapi ngitung-ngitung manfaat dan dalamnya dompet yang harus kugali...ah tidak deh karena prediksiku komputer masih bisa diperbaiki dengan budget yang jauuuh banget dari beli baru, kebutuhanku juga masih dipenuhi dengan komputer lawas ini, hik.
Sambil menikmati rutinitas yang lain. Setelah beberapa weekend terlewati begitu saja (padahal ngarep-ngarep kalo weekend beliau membereskan urusan komputer ini), akhirnya dia menemukan penyebabnya (dengan cepat) setelah ada keinginan mengoprek dengan serius. Pffh kenapa juga mesti menunda-nunda...ah sudah...sudah...maklum saja:)
Akhirnya komputerpun sudah prima kembali, dan ternyata untuk memulai kembali aktivitasku seperti semula perlu energi besar sekali, ditambah lagi alasannya karena ujian lain di bulan ini:(
Ujian kedua: asisten menyita pikiran
Asisten adalah sebutanku untuk pihak yang membantuku dalam urusan teknis rumah tangga. Setelah mengalami berbagai kesulitan ketika memiliki asisten yang menginap. Saya coba asisten yang pulang pergi. Usianya sudah cukup senior, sudah punya cucu. Sempet ragu-ragu di awal karena biasanya kalo sudah berkeluarga begitu, bermasalah di masalah finansial, dan buntutnya suka cash bon, tapi ya sudahlah coba saja dulu.
Awalnya jobdesknya hanya setrika saja, tapi karena ternyata diriku ngos-ngosan beberes dan mencuci (mungkin karena baru pindah), akhirnya kutawari penambahan jobdesk dan tentu saja penambahan salary. Jobdesknya jadi full, beres-beres, cuci,setrika. Dilakukan dari pagi sampai selesai, kalo dah selesai dia bisa langsung pulang. Awalnya dia santai, lama-lama dia terkesan buru-buru bayangkan dengan jobdesk demikian dia bisa selesaikan dalam 2 jam saja, gak ada ngelap-ngelap, atau nata2 apa. Ya akhirnya saya maklum sajalah, tapi dasar penyakit yang punya asisten, untuk turun ke lapangan rasanya males sekali. Jadi ada pikiran kalo dah bayar orang ngapain diriku susah. Akibatnya rumah lebih terlihat sering berantakannya daripada rapinya.
Tetangga-tetanggaku yang cukup perhatian pernah mengungkapkan keheranannya, kenapa saya mau-maunya gaji orang yang pekerjaannya, berdasarkan pengamatan para tetangga kurang kualified. Tapi saya pikir punya asisten cuman buat back up,jaga-jaga kalo aku sakit, atau anak-anak sakit, secara saya di depok pendatang, kalo ada apa-apa mau minta tolong ke siapa.
Tapi ternyata asistenku kali ini terlalu memanfaatkan "kebaikanku', lama-lama dia minta kesabaran lebih, mulai sering nggak datang,ada saja alasannya. Awalnya saya maklum, karena alasannya reasonable. Di sisi lain karena dia sering tidak datang, sayapun jadi sering turun lapangan. Ternyata kok rumah lebih kinclong ditangani sendiri dan ternyata kok tidak terlalu cape, masih sempet Ol, masih sempet nemenin anak, masih sempet packing-packing pesanan.
Sampai akhirnya masalah bertambah karena kebiasaannya cash bon jadi intensif, dan puncaknya adalah ketika di permintaannya yang terakhir ini, jumlahnya cukup besar bagi saya. Dengan kualitas kerja yang demikian dan dengan permintaan pinjaman uang yang demikian besar, saya jadi berpikir untuk memberhentikannya. Tapi bingung mau rasanya kok tidak manusiawi,lagi susah gini masa menghilangkan pekerjaan oranglain. Konsul dulu deh ke teman-teman yang saya anggap paham Islam dengan bagus, ya ikhtiar aja. Dari masukan yang ada ya apa boleh buat dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada akhitnya diputuskanlah untuk memberhentikan asisten ini, dengan disertai pemberian gaji dan pemberian bantuan, karena nggak tega aja. Alhamdulillah, ternyata reaksinya biasa-biasa aja, nggak ada wajah kaget,shock, atau sedih. Mungkin kata bapakku dia juga dah pengen berhenti kerja. Iya juga ya, duh ngapain atuh aku kemaren pusing-pusing, secara dia juga mungkin nggak betah. Ya, dia suka cerita kalo pengen kerja di tempat yang gajinya lebih tinggi dan bisa dapet pinjaman uang. He3 dia nyesel kali ya punya majikan kere. Padahal salarynya dah di atas standar para tetanggaku, kerja juga cuman dua jam, yah namanya manusia ya.
Alhamdulilllah nikmat juga ternyata mengurus pekerjaan rumah tangga ini, apalagi disertai ilmu yang cukup setelah membaca salah satu buku Yusuf Qurdowi tentang tugas-tugas istri dan ibu. Ya selama hati ikhlas, ternyata tugas-tugas ini bisa dikerjakan dengan santai saja tanpa beban dan tanpa stress. Apalagi ditambah suami sangat membantu. Duh, Ayah dirimu tambah mature saja. Di saat gubrakan ketiga terjadi, dirimu benar-benar luar biasa. I L.v. y.o lah... (sensor ah)
Ujian ketiga, Hanif Masuk Rumah Sakit
Ketika saya memutuskan untuk memberhentikan asisten,sebenarnya Hanif dan saya sudah ada gejala akan sakit. Suhu badan Hanif meningkat, dan saya merasa pusing dan tidak enak badan. Dua hari panas tinggi. Tapi bismillah saja, karena meneruskan assisten ini rasanya sudah tidak memungkinkan.
Seperti biasa awalnya aku hanya memberi madu + habbatussauda. Biasanya kalo flu-flu biasa ditangani dengan cara begitu, hanif dah bisa sembuh. Tapi kali ini Hanif tampak kesusahan sekali,lemes, tak semangat. Wah feeling niy bukan sakit biasa. Karena panas banget sampe 39 dan hanif dah mulai ngigau, saya beri parasetamol, besoknya suhu badan dah ok. Dah lega, berarti panasnya cuman 1 1/2 hari. Tapi kok hanif tetep lesu dan sakit di bagian perut, jangan-jangan tipes, tapi malamnya suhu normal, cuman hanif seperti gelisah.
Subuhnya, hanif muntah-muntah semua yang masuk dikeluarkan lagi. Karena muntah terus-terusan kita memutuskan untuk membawanya ke UGD. Masalahnya UGD mana ya? Karena kita baru pindah ke sini, mau ke Hermina, rasanya terlalu jauh, apalagi kondisi Hanif yang muntah-muntah. Ada feeling, Hanif akan diminta di rawat, soalnya ada tetangga juga muntah-muntah lagi dirawat. Mempertimbangkan berbagai kondisi, termasuk tidak adanya asisten, yang otomatis harus dekat dari rumah biar kalo mondar mandir RS - rumah mudah, kami pilih RS Swasta X terdekat. Di UGD kami dilayani dengan baik,walau terkesan lambat, tapi nggak terlalu masalah. Benar feeling saya, hanif diminta rawat inap. Walau hanif tidak panas, ada indikasi dehidrasi, saya nurut saja daripada ambil resiko. Sayangnya waktu itu karena saya juga sakit, nggak bisa terlalu konsentrasi, hanya pilih kelas saja, lalu selanjutnya suami yang urus, tidak terpikir untuk pindah rumah sakit, untuk pilih dokterpun tidak terpikir. Bener-bener kondisi saya sedang tidak fit, low bat.
Proses pasang infus, tenyata berjalan mulus, Hanif nggak nangis sama sekali, luar biasa anak ini. Mature...Karena proses pasang infus nggak masalah, saya dah sreg aja deh sama RS ini.
Lagi mikir-mikir gitu, lagi sendirian saja nunggu hanif, saya disuruh ke lab, ngurus pemeriksaan darah hanif, saya heran, bukannya dah ngasih jaminan ke rumah sakit dengan jumlah yang tidak sedikit, biasanya semua dah All in, jadi kita bisa konsentrasi ke anak. Sempet bertanya, tapi diyakinkan suster, kalo saya harus urus dulu. Sampe lab, saya baru nyadar nggak bawa uang sepeserpun, ya, saya berangkat buru-buru, dan terbiasa dengan sistem asuransi yang bikin nggak kepikir mesti bawa uang ke rumah sakit. Tanya lagi deh, apa nggak termasuk uang yang dah saya simpen di rumah sakit,dijawab tidak, haduh, bingung...mana suami dah pulang...mana hanif ditinggal di UGD sendirian. Telp suami minta balik lagi...suami yakin kalo dah include uang jaminan, akhirnya saya tanya kasir. Ternyata kata kasir, ya bu, dah include. Haaaa rasanya pengen....dezig...dezig. Segera deh ke lab, nunjukkin kwitansi yang dah dicap kasir. "Oh, bisa ya bu" Heuuh, saya cepet-cepet balik ke UGD, pffh syukurlah Hanif, dia anak yang sabar, nggak ngeluh ditinggal ibunya.
Lammma sekali menunggu ruang disiapkan, membandingkan dengan kesigapan suster di Hermina waktu Hanif rawat inap di sana, jauhlah, tapi lagi-lagi saya tidak mempermasalahkan, mungkin karena saking ruwetnya saya memikirkan manajemen rumah tangga kala kondisinya seperti ini, plus badan yang makin berat aja terasa tidak enaknya, membuat saya pasrah.
Akhirnya kamar siap, dan Hanif saya gendong dengan memegang infusannya, dan dengan atribut bawaan ke rumah sakit seadanya tapi lumayan ribet, dibantu seorang perawat pria. Lumayan cape...sampe ruang rawat saya surprise karena suasananya berbeda banget dengan Hermina, lebih rame, terlihat banyak orang berbaju putih, yang akhirnya saya tahu mereka dokter coas. Saya baru tahu kalo di RS Swasta ada dokter koas seperti ini. Terus terang rada trauma dengan dokter coas. Pernah punya pengalaman buruk waktu Akmal DB di bandung, di rumah sakit negeri di sana, ditangani oleh sekelompok dokter coas, pasien bagaikan kelinci percobaan. Berusaha mendelete pengalaman buruk itu. Kondisi Hanif membaik, secara sudah tidak dehidrasi. Berharap bisa cepet pulang.
Ternyata menjelang malam, Hanif susah makan, suhu badannya naik. Orang yang masuk ke ruang rawat berganti-ganti, bukan hanya suster, tapi juga dokter coas. Jadwal pemberian obat panas yang terakhir jam berapa, selalu ditanyakan kepada saya. Saya cukup heran, bukannya mereka yang harusnya tahu, kan ada catatannya. Saya mulai stress dan panik, ganjil dengan pelayanan di RS ini. Pemberian sanmol bisa 3 jam sekali, tanpa selang-seling dengan obat penurun panas lainnya. Saya awam tentang kesehatan tapi tidak lugu dan awam banget, tapi hal ini malah bikin saya was-was. Urine diambil, tanpa kita tahu itu keputusan siapa. Pengalaman menemani anak di RS Hermina dan Bunda, membuat layanan RS ini terasa ganjil sekali, kalo di Hermina atau Bunda, semua decison tindakan kita tahu itu adalah keputusan dokter, hasil konsultasi by phone.
Sempet terpikir untuk pindah rumah sakit, tapi akhirnya saya putuskan untuk menunggu visit dokter yang ternyata tak datang-datang. Ternyata di rumah sakit ini, visit hanya satu, dokter spesialis, tidak ada visit dokter jaga. Hal ini bikin kesel juga, soalnya panas hanif belum ada perbaikan. Menjelang sore, Alhamdulillah panas hanif saya amati ada kecenderungan turun, tapi entah kenapa suster terus saja menjejali obat penurun panas, padahal suhu sudah 37,5.
Dokter datang jam 8 malam,sungguh penantian yang panjang kao anak lagi panas begini. Nggak kebayang kalo misalnya sakit penyakit yang dah jelas membahayakan jiwa, duh jangan dirawat di sini deh. Dokter datang dengan didampingi sekelompok dokter coas. Pemandangan seperti ini pernah bikin Hanif nangis, waktu pemeriksaan pertama di rawat inap. Hanif yang biasanya nggak rewel kalo diperiksa dokter, kaget melihat dokter datang kaya pasukan perang, apalagi ditambah Hanif dipaksa dibaringkan untuk diperiksa, pemeriksaan tampak terburu-buru, tidak ada komunikasi. Di pemeriksaan kedua ini Hanif sudah kami siapkan, ia sudah tenang,walau dokter datang berkelompok, dokter memeriksa dan dokter tidak bilang apa-apa, kecuali kita tanya. Setelah kita tanya barulah kita tahu kalo dari urine ada infeksi, berarti infeksi kemih, Hanif boleh pulang setelah kondisi suhu badan stabil
Karena kurus dengan BB jauh dibawah normal, dokter menduga kuat Hanif kena TB, dan ia minta Hanif di test mantoux sebelum pulang, saya mengiyakan saja, walau sebenarnya dalam hati keberatan kalo Hanif di screening dalam kondisi kurang fit di sini, dalam pikiran saya yang awam, takutnya hasilnya nggak valid.
Alhamdulillah Hanif pulang. O,ya hikmahnya dari episode Hanif masuk rumah sakit, plus sakitnya saya, plus tidak adanya asistem adalah Ayah menjadi sangat matang, dan mandiri. Ayah jadi bisa mencuci, menstrika dan menanak nasi. Tidak mengeluh dengan pekerjaan rumah tanggga, dan sangat Helpfull....wuiii layak dapat Award: Suami dan Ayah teladan lah pokoknya, Alhamdulillah kami bisa melewati ini semua tanpa asisten dan tanpa merepotkan keluarga terdekat.
Gubrakan keempat: Berikhtiar Mencari Diagnosis yang Tepat.
Tiga hari setelah test mantoux, saya dan hanif kembali datang ke dokter SpA X ini. Saya tenang saja karena Hanif dah dua kali test mantoux dengan hasil negatif, karena tak ada bentolan atau kemerahan di lengannya, dan kali inipun demikian. Tapi ternyata dokter ini punya cara membaca mantoux yang berbeda. Ia arsir lengan hanif di buletan bekas mantoux, dengan menggunakan ballpoint dan menekan lengan hanif. Hanif kesakitan, tapi saya nggak bisa menolak, sambil mikir, ni dokter lagi apa. Setelah selesai mengarsir, dokter bilang, ini positif bu. Wah, saya langsung bengong. Ooo, selanjutnya dokter mengatakan,untuk mengambil foto paru dan test darah. Saya hanya mengiyakan, tapi lalu saya teringat kalo saya mungkin tidak membawa cukup uang,dan juga tidak membawa kartu debet dan bertanya apa bisa rotgen dan test darah hari sabtu saja. Dokter bilang ok, gak masalah, sambil bilang "nanti sabtu kartunya bawa ya bu (maksudnya kartu asuransi,padahal mah saya nggak pake kartu), soalnya saya mau kasih obat yang bagus, yang mahal, sambil menunjukkan sebuah
brosur, nanti saya jelaskan, begitu katanya. Saya mulai termangu: mahal? Walaupun pengobatan ini diganti oleh kantor, tapi saya nggak mau kalo obat asal mahal, semua harus reasonable.
Sampe rumah, setelah ada waktu saya browsing tentang TB, dan pengetahuan pun bertambah, ternyata saking sulitnya diagnosa TB, banyak yang diagnosanya salah. So, ambil diagnosa TB harus hati-hati, nggak bisa sembarangan. Kontak ke sepupu yang berprofesi dokter, dan menurutnya cara memeriksa mantoux seperti SpA tadi adalah hasil modifikasi beliau saja, dan bisa jadi hasilnya mis, disarankan second opinion. Akhirnya hati mantap untuk second opinion, tapi kemana. Alhamdulillah silaturahmi dengan para tetangga dipermudah dengan adanya milist, dan dari sana ternyata saya dapet info kalo dokter yang saya percayai, dr.Alan Tumbelaka,SpA, ternyata rumahnya dan buka praktek di klinik tidak jauh dari rumah saya. Hanya jadwal prakteknya yang pas dengan saya saat ini adalah jadwal praktek di Hermina, ya sudah nggak apa-apa, kami pun menuju ke sana.
Sampai di Hermina, penanganan suster memang terasa berbeda ya, sigap dan profesional. Hal yang sepele juga seperti timbangan pengaruhnya signifikan juga, ternyata hasilnya selisih satu kilo lebih banyak dibanding di RS swasta X itu, untuk anak yang bermasalah berat badannya hasil beda sekilo lebih banyak tentu saja sangat menyenangkan.
Masuk ke ruang periksa dr Alan. Setelah mendengarkan maksud kami, dokter menyatakan bahwa cara periksa seperti yang dilakukan SpA X, adalah salah, tidak benar. Glek. Andai....Hanif meneruskan pemeriksaan di sana. Lalu foto rontgen pun dinyatakan paru-parunya baik-baik saja. LEDnya tinggi, tapi kalo LED tidak bisa menyatakan ada TB. Kesimpulan sementara Hanif bukan TB. Duuuh kok bisa beda? Hanya ada benjolan pembengkakan kelenjar di leher sebelah kanan, kenapa bisa bengkak? Nah untuk jaga-jaga supaya diagnosa tidak meleset, dokter memutuskan untuk melengkapi data kami dan akan mendiskusikan data tersebut ke rekan-rekan dokter di RSCM. Pffh lega deh, bertemu dengan dokter yang hati-hati dalam mendiagnosa. Karena TB memang bukan hanya penyakitnya yang tidak sepele, pengobatannya pun demikian, perlu jangka waktu lama. Apapun hasilnya kalo sudah dengan prosedur yang lebih hati-hati, Insyaa Allah hati ini lebih mantap, mudah-mudahan hasil terbaik yang kami peroleh.
Begitu deh ujian-ujian di bulan ini, bikin gubraggs banget, tapi mudah-mudahan bisa kita dilewati dengan baik.